Obat

Perihal benci, gua nggak punya, nggak mau berteori.

Atau juga perihal rasa sakit.

Tapi, seenggaknya, bagaimana jika kita malah dibenci obat itu sendiri, disaat benar-benar, tiada lebih atau kurang, kita sedang butuh dan sakit?

“Ah, kamu hanya datang pas butuh!” Ucap obat, tetap dengan memalingkan muka.

Bagaimana?

Bisa aja mengikuti ego untuk hal buruk dan dendam benci: dengki.

Merasa dimanfaati.

Merasa dikhianati.

Bukan itu, akal sehat dan nurani, tentu menyanggah, “apa salahnya bermanfaat?”, “apa yang diharap dari perbuatan baik kita?”

Setiap hal itu pasti berbalas. Jika nggak berbalas dengan jelas perihal baik dan buruk, seenggaknya arti diam dan netral juga adalah opsi. Patut diterima dan dicerna.

Sudahlah.

Akhirnya lelaki ringkih ini kembali meneguk overthinking, tanpa ada catatan aturan: mungkin 2 kali sehari, mungkin 3 kali, atau malah sepuasnya.

Diminum sebelum atau sesudah makan, udah nggaklah penting.

“Berlebih obat, bukannya juga tidak baik?” Prasangka baiknya, hampir, di ujung sekarat.

Masih sempat-sempatnya.

“Obat nggak salah.”

Mati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa