Masa

Saat ini, cukup senang atau mungkin antusias dengan kenyataan yang berlaku, terhimpit di antara masa lalu dan masa datang: meski dalam koridor pertemanan yang hangat.

Masa lalu.

Sebulan terakhir, teman gua haji! Iya, haji. Mengesampingkan segala huru-haranya butuh berpuluh tahun dan menjulang anggaran untuk bisa menunaikan ibadah ke tanah suci itu, nyatanya Pandu, adalah nama yang sulit dimengerti dan diterima akal sehat. Secara memang, dalam circle kami, ia adalah pemuncak tahta tertinggi dalam soal kategori orang terkonyol seantero!

Kabar itu tentu mengguncang damai dan permai pondok ini. Dengan begitu, tentu juga, tetap kami do’akan yang terbaik.

“Du, gua nitip do’a!”

“Nitip kurma!”

“Nitip nama di story background ka’bah!”

“Nitip hajar aswad!”

Mungkin yang tarakhir rada berlebihan. Tapi, riuh itu: sangat riuh.

Bahkan sampai sebulan lebih, sampai ia datang kembali ke pondok. Riuh itu tetap. Pembahasan yang dituntut tentu adalah cerita bagaimana ketika di sana.

“Ka’bah segede apa, Du?”

“Seramai apa?”

“Ketemu cewek turki, nggak?”

“Ada unta, nggak?” Dan lainnya.

Dari semua pertanyaan dan pembahasan, gua sepenuhnya menyimak. Meski sesekali tergelitik antusias, gua malah teringat nenek gua yang selalu excetid ketika dipancing pembahasan haji: ia akan bercerita panjang lebar, selama pijatan gua pun panjang lebar.

“Du, waktu di makam nabi, gimana?” Ini pertanyaan inti, sangat amat mengganjal di hati. Entah apa yang gua ganjalkan.

Ia cerita, gua sepenuhnya khidmat.

“Boleh tahlilan?” Pertanyaan itu spontann membuka gerbang pembahasan usil dan lelucon receh, seperti tentang tentara patroli ka’bah yang tempramen.

Hingga, malam itu adalah sebuah keharusan. Sebutlah, malam keakraban. Teman-teman tongkrongan, nggak memandang cendekiawan atau proletar, komedian adalah bakat terpendam dari pribumi yang budiman. Bersyukur bisa kenal mereka.

Kami kumpul-kumpul, membahas apapun. Untuk penting nggak penting, justru bisa menyempatkan datang dan ngobrol adalah hal terpenting!

Hal yang bikin istimewa dan berbeda, konsumsi forum ini sangat arab sekali: kardus-kardus itu, apa hukumnya mabuk kurma, Pak Haji?

Gelap dan dingin malam, nggak bisa membungkam kami!

Sampai, mungkin ini perlu disampaikan.

Hingga di kemarin, saat pra bathsu aliyah, kenapa pembahasannya bisa pas tentang bab haji? Lebih dari itu, lucunya, Pandu juga ikut berangkat musyawarah! Pembahasan bathsu jlimet tentang bab haji itu nggak akan berkutik di hadapan Pak Haji. Haha.

Fasal tentang sunah-sunah haji dari kitab Fathul Qarib, poin kelima dari qouluhu ركعتا الطواف. Sholat 2 rokaat setelah thowaf. Hingga, pembahasan semakin mendalam dan jilmet, bermula dari sedaksi ولا يفوتان إلا بالموت, kitab-kitab tebal itu malah dijadikan alat untuk menyerang argumen satu dengan argumen lainnya. Mencari siapa yang paling masuk akal dan relevan.

Gua menengok usil ke Pandu, memanggilnya perlahan.

“Hah?” Ia bersiap.

Angkat suara, Du. Biar cepat selesai. Langsung rumusin, Mushohih! Gimana sih nih, Pak Haji!”

Ia cengar-cengir. Gua tergelak.

Jangankan menjawab, bahkan ia memilih pojok untuk tempat duduknya. Entah, berangkat ke tanah suci telah menjadikannya lebih pendiam dan normatif. Sejauh itu status haji mengubahmu, Nak? Haha.

Semoga bisa nyusul kayak lu, Ji. Aamiin.

Masa depan.

Ini nih. Entah kenapa, kali ini, Ahmad malah membawa kabar yang nggak biasa. Jauh dari keluh kesah dan keprihatinan: ia akan menikah!

Wah!

Tentu pembahasan ini menjadi topik hangat bagi para monster rawa yang Budiman. Keluarga besar Iksanda bersuka cita. Grup chat jadi ramai.

Secara ia yang telah memilih jalan lain, mendahului kami. Setahunnya di rumah, story-nya begitu membuat shock. Triple shock: shick, shack, shock. Bucin sekali Si Sepuh itu!

Dengan kenyataannya ia yang lebih tua dari kami berdelapan, para monster rawa, mungkin trobosan ini menjadi pembuktian integritas dirinya.

Bulan kemarin, lamaran udah digelar. Dan agustus nanti adalah resepsinya. Calonnya, seorang perempuan dekat rumah yang baru lulus SMA tahun ini. Dari story yang ia upload, cukup cantik. Dan gua nggak mau berurusan lebih akan perempuan itu. Mau dikata, apa?

Objek kami tentu Ahmad. Bukan hanya tentang mulut gua, tapi apa jadinya jika 7 mulut beracun bersatu? Nggak seperti yang dipikirkan, kami larut dalam nostalgia yang berkesan. Tentu, penuh goda.

Selebihnya, adalah tentang hadiah pernikahan dan kenyataan Ahmad yang di Kalimantan. Tantu Ahmad nggak boleh tau. Tentu lu juga nggak boleh tau: emang lu siapa?

Haha.

Buat yang ini, buat harap do’a bisa nyusul, entahlah.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mekar

Kepompong

Terminal