Kamus

“Jika kamu tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka kamu harus menanggung perihnya kebodohan!”

Pernah mendengar kalimat di atas? Sebuah kalimat yang diucapkan oleh Imam Syafi’I itu serasa selaras dan mendukung sebaris kalimat yang gua temu di catatan lama:

“Tidak ada kata tenang dalam kamus kebodohan!”

Nggak mau berpanjang kata, cukup tersadarkan dari suatu hal yang gua ambil pelajaran: tentu, dari kalimat itu.

**

Di suatu halaqah, di waktu subuh, di Madrasah Qiro’atil Qur’an.

Terlihat beberapa orang anak yang terhimpun dalam sebuah lokal di serambi mushola, dengan kemeja yang berbeda, peci putih itu serupa.

Kelas itu, kategori bil ghaib: kelas penghafal, bukan pembaca.

Tidur meleknya, melalar nggaknya, nggak menjadi jaminan untuk dingin subuh yang gemulai menyapa kantung-kantung mata yang telah melek sejak dini hari.

Hingga, ketekunan dan keyakinan itu dibuktikan dengan datangnya Sang Assatidz.

Duduk di atas sorban yang digelar.

Mengucap salam.

Absen.

Bersiap, menyimak setoran.

Di kelas yang sama, nyatanya batas akhir setoran itu berbeda. Ekspresi muka-muka itu pun berbeda.

Bagi mereka yang sudah memiliki kesiapan hafalan, tinggal disetor dan disimak.

Bagi mereka yang nggak memiliki kesiapan hafalan, jangankan siap disetor dan disimak, hafalan yang mau disetor dan disimak aja nggak siap!

Sebagaimana kalimat di awal: mereka perih mendapatkan kenyataan setoran tertinggal jauh, mereka gusar dibayang-bayangi tinggal kelas.

Kebodohan itu menjadikan perih.

Kebodohan itu menjadikan gusar.

“Nggak setoran itu bukannya tanda malas karena nggak hafalan? Itu malas, bukan bodoh!” Ucap seorang pembaca yang penuh dengan critical thinking, kritis meski sporadis.

Hingga,

“Malas mana yang nggak bodoh? Bukannya malas adalah tanda kebodohan?”

رَبِّ هَبْ لِيْ حُكْمًا وَّاَلْحِقْنِيْ بِالصّٰلِحِيْنَۙ

(Ibrahim berdoa,) “Wahai Tuhanku, berikanlah kepadaku hukum (ilmu dan hikmah) dan pertemukanlah aku dengan orang-orang saleh.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mekar

Kepompong

Terminal