Wasit

Aktif dan intuitif Madrasah Qiro’atil Qur’an bagi santri yang telah menginjak status mahasiswa adalah sebuah perjuangan. Butuh effort lebih untuk segala konsekuensi yang dihadapi. Beberapa pertimbangan harus dipikir matang dan cepat, tepat.

Selain MQQ berada di jam subuh yang dingin sepi penuh kantuk. Mahasiswa yang masih tetap ngotot untuk bernyali menjadi siswa MQQ, adalah sebuah keberanian yang berarti. Karena udah bisa dipastikan, ia adalah orang yang dipertanyakan kompetensi dan konsistensi selama ini: udah nggak banyak teman sebaya. Nggak banyak karena teman sebaya udah lebih dulu lulus, atau mungkin yang belum lulus malah memilih putus madrasah yang nggak ada paksaan untuk mahasiswa mengikuti MQQ.

Sebenarnya banyak hal yang menuntut mahasiswa untuk mundur, putus, lepas dan terbebas dari Madrasah Qiro’atil Qur’an.

Pertama, karena jam subuh, dan kamar mahasiswa bukan termasuk zona yang terkena patroli dibangunkan subuh petugas.

Kedua, minim teman sebaya, dan mau nggak mau harus larut interaksi dengan bocil-bocil Mts dan MA yang nggak asik.

Ketiga, materi MQQ itu sulit. Belum lagi hafalan dan setorannya. Di kelas baca atau kelas hafalan, nggak naik kelas itu hal yang lumrah.

Besar dan kuat tekad, menghapus segala gengsi, malas, dan kantuk-mengantuk. Waktu terbagi, fokus dan pikiran terbagi: gua tertantang untuk ini!

Tapi satu hal sederhana dan nggak muluk-muluk, adalah gua yang entah kenapa bisa begitu merasa puas ketika lancar dan lolosnya setelah setor hafalan. Tenang itu, senang itu, melarut dengan nuansa pagi yang membangkitkan aura positif. Belum lagi perihal lomba-melomba, tentang siapa yang hafalan dan setorannya paling jauh.

وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

“Lalu terobosan seperti apa yang ada lakukan untuk menanggapi hal ini?” Tanya salah seorang wartawan koran kusam yang belum makan siang pada kami, mahasiswa keras kepala yang tetap ngotot meng-MQQ: mungkin ia tertarik.

Dengan 3 isu yang memberatkan, atau mungkin malah tantangan, kita bahas poin satu aja terlebih dahulu: bagaimana caranya bangun subuh bagi masyarakat yang iqomusholah bertendensi pada kesadaran individual?

Bagi gua, ada 2 opsi mengenai hal ini: bisa memilih untuk begadang semalaman suntuk sampai subuh yang tentu harus pintar-pintar memilih kegiatan apa yang tepat untuk mengisi jam-jam begadang itu. Kelebihannya, berangkat MQQ udah pasti, dan banyak progres untuk kegiatan ekstra di jam begadang itu. Kekurangannya, ya seberapa kuat mata ini untuk mencaci maki ngantuk yang bisa saja bersekutu dengan seporsi nasi penyet, beberapa potong gorengan, dan es teh dalam dinner-dinner yang dirindukan?

Tapi, jika schedule jam pagi sampai sore udah rusak, jangan diterka bagaimana mengantuk melampiaskan amarahnya di jam malam: ia menuntut hak manusiawi!

Dengan itu, opsi kedua dan satu-satunya adalah, ”eh, nanti subuh bangunin gua, ya?” -pada sosok cerah wajah layar laptop.

”Iya.”

Kelebihannya, tentu kita bisa tidur, istirahat, dan menjaga fokus pada saat setor hafalan nanti. Dan kekurangannya, ya begitu.

”Yah, gimana sih, kok gua nggak dibangunin?!” Ceracau Bang Ganteng yang bangun tidur bukannya baca do’a alhamdulillahil ladzi ahyana ba'da ma amatana wailaihin nusyur.

Sensasinya tuh, kebayang nggak sih bangun tidur malah disuruh meneguk penyesalan? Jika kayak gini kenyataannya, bagaimana mau memulai hari yang indah, wahai buku self improvement?  Ah elah.

”Lah kok marah-marah? Nggak dibangunin atau lu yang nggak bisa dibangunin?!” Tesis itu dibantah dengan cepat dan menusuk oleh anti tesis yang nggak mementingkan sintesa.

Dari kalimat itu gua belajar.

Terkadang dalam memandang sesuatu, kita dengan begitu cepat menyimpulkan. Meski dengan pertimbangan pikiran dan perasaan pribadi. Kita memandang masalah hanya dengan solusi. Dan bodohnya, lagi-lagi, hanya kita yang berhak untuk solusi tersebut. Kita yang menyusun, kita juga yang memutuskan.

Penyebab, alasan, dan alur terjadinya masalah itu jarang sekali kita bahas. Atau mungkin, jarangnya hal tersebut untuk dijadikan komposisi pertimbangan solusi.

Belum lagi perihal peran orang lain. Jika masalah itu terikat dan terkait dengan orang lain, ajak mereka dalam andil peran menyusun dan memutuskan solusinya. Buka forum diskusi, jalin komunikasi!

Sedari hal yang kita anggap bahwa orang itu buruk karena nggak amanah untuk membangunkan subuh, nggak sengaja dengan kelupaan atau malah sengaja agar kita nggak MQQ: banyak cara bagi setan untuk menghasud dengan segala kemungkinan-kemungkinan prasangka.

Dengan itu, peran komunikasi ini berperan. Kita ngomong, mengutarakan, bertanya: memastikan prasangka itu.

Dan ternyata, itu salah kita. Bukan nggak dibangunin, memang kita yang susah dibangunin.

Terkadang ego yang disiram amarah, malah menimbulkan prasangka-prasangka buruk yang belum tentu benar. Tentu kita puas, karena ego itu terlampiaskan. Tapi, seberapa capek pikiran dan perasaan untuk beban kebenciaan yang harus ditanggung itu?

Jangan egois!

Kalau ada apa-apa, bisa kita bicarakan terlebih dahulu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar