Genus

Di ruang keluarga, sebuah keluarga yang sangat keluarga sekali: waktu luang atau mungkin meluangkan waktu.

Harusnya gimana?” Tanya Gendis, anakku.

“Tentu ayah dan ibu berharap yang terbaik untukmu.”

Sebelumnya, ini bukan rapat intern atau sidang penghakiman keluarga. Ini hanya sekedar kumpul hangat biasa. Hanya, ini sedang masuk fase pembahasan asmaranya Gendis: haha.

Seperti biasa, istriku tak banyak bicara, meski sepenuhnya menyimak dan bisa diandalkan ketika sedang dimintai pendapat.

Tapi, kalau bisa, pasanganmu itu, nanti, dari family dinosaurus, meski entah apa genusnya. Jangan yang satu family, apalagi family bunga, apalagi harus sedetail genus melati seperti ibumu.” Lanjutku, lagi.

Istriku mengerjap, meski sepenuhnya tenang. Gendis yang malah gusar tanda tak nyaman atau mungkin ada yang mengganjal jernih pikirnya: menggelitik critical thinking-nya.

“Aku tau ayah, dunia ini luas. Aku pun menyayangkan pengetahuan dan pengalaman, meskipun yang namanya cinta tak memandang dekat atau jauh untuk tumbuh dan mekar.”

Lihat anakku! Kami harus bersiap, atau mungkin menerka, ke mana arah retorikanya.

“Tapi, kenapa harus dinosaurus?! Lanjutnya, menekan.

Aku, juga istriku, tersenyum. Gendis mengokohkan argumennya dengan ekspresif.

“Karena kamu bunga, Gendis.” Jawabku tenang, tanpa menyertakan tanda seru menekan.

“Ih, ayah... Kenapa dalam pembahasan cinta kali ini, ayah begitu stagnan akan pola pikir, dari sekian pemahaman dan solusi. Maksudku, kalau aku bunga, kenapa harus bersanding dengan dinosaurus? Apa salahnya jika dengan sesama family bunga yang tentu serasi akan sifat sikap dan rasa lebih nyaman: satu pemahaman?” Diksi itu, nada, pemahaman, dan tentu ekspresinya: hampir sempurna dengan bahasa tubuhnya.

Senyumku lebih lembut, lalu memandang istriku. Ia balas memandang, ia balas senyumku. Memberi isyarat agar aku saja yang tetap menjawab, dengan pemahaman yang menyesuaikan porsi dan mengena. Agar tensi hangat ini tak berubah naik menjadi panas. Aku mengangguk.

“Karena ayah yakin dengan penuh, bahwa bunga tidak akan melawan dinosaurus, dan dinosaurus tidak akan memakan bunga.”

Ia mengerjap, mencerna.

“Dan yang harus digarisbawahi dan ditekankan, untuk dinosaurus, ayah tak pernah mengatakan ‘harus’.”

Tak hanya mengerjap dan mencerna, kini ia terlonjak.

Berarti untuk comprehension competition kali ini dimenangkan siapa? Durasi literasimu menjelaskan!” Sergahku menyelidik, sepenuhnya menahan senyum.

Tanpa aba-aba dan sepenuhnya spontan chemistry of a married couple, aku dan istriku tergelak: telak. Tak tahan.

“Ih, ayaaah! Awas aja, mulai detik ini, aku menyatakan berani pada buku-buku Aristoteles!”

Dalam gelak yang mereda, peluk menjadi obat yang ampuh untuk usaha padam resah dan gelisah hati. Lalu, membasahinya dengan sejuk status orang tua dan anaknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mekar

Kepompong

Terminal