Gelas

Mungkin gua mencoba memahami kejadian ini, berusaha berpikir dan menerkanya dalam tulisan: menulis.

Semenjak acara kamar dengan 1000 tusuk sate itu, gua jadi teringat, dan ingin kembali dekat dengan sosok orang yang udah lama nggak dekat: Kang Alwi Ardani.

Secara saat masih satu kamar, Kang Alwi adalah orang yang cukup spesial dan berharga dalam perkembangan gua saat ini. Orang yang berperan atas gua yang memilih jalan ini.

Di saat orang memasang wajah hitam gelap, Kang Alwi malah memasang wajah putih terang yang bahkan memutihkan terang wajah gua. Cukup disingkir dan tersingkir saat memilih menjadi minoritas dari khalayak, membelot jalur dari jalan utama dan inti.

Hidup di sebuah kamar cendekiawan kitab, dengan berbagai forum dan eksistensi, gua malah membuka novel di saat yang sama khalayak sibuk membuka kitab. Warna putih kertas bacaan gua di atas kuning bacaan mayoritas.

Bukannya anti kitab kuning dan ngaji. Kegiatan ya tetap kegiatan, forum ya tetap forum. Hanya aja, cemilan kami berbeda. Mereka tetap mengunyah gurih kitab kuning, gua mencoba mengunyah gurih yang lain: di setiap waktu senggang, dengan berbagai buku fiksi-non fiksi.

Termasuk saat gua mulai sibuk menahan meluap hasrat gebu menulis, tepat di bagian cerpen dan puisi. Hanya Kang Alwi yang rela mendekat dan mendukung. Ia tampak antusias, ia memberikan banyak masukan dan harapan. Hingga sampainya gua di titik tuju, dunia kejurnalistikan.

Di acara kemarin, kami sempat bertemu sebagai tamu undangan, menjadi para alumni di hadapan wajah-wajah baru yang tampak mencoba betah dan larut. Tapi, sayangnya Kang Alwi sedang ramai asik dengan circle alumni yang ‘lebih sepuh’, jadi cukup minim obrolan kala itu.

Dan jalan baru yang terpikirkan, gua mencoba mencari username instagram Kang Alwi. Mungkin saja jalinan ini bisa lebih dekat dan terawat.

Tapi, sayangnya, nggak ketemu.

Semua username yang mengarah pada namanya pun, telah gua buka dan stalking, ternyata tetap nggak ketemu. Ya, apa boleh buat untuk tetap bisa menjalin hubungan, meski hanya komunikasi dengan Kang Alwi yang berdomisili di luar pondok. Seadanya.

Bukan menyerah, gua menjeda usaha dengan melanjut waktu.

Sampai di esok harinya, malam hari selepas madin, gua yang mulai mengulur jadwal pulang akhir-akhir ini, terlihat masih cukup manusiawi dengan kemeja dan kopeah putih, totebag terisi, dan menenteng belit kembung sajadah dan sorban.

Gua ketemu Kang Alwi yang sepertinya baru keluar kelas, mengajar.

Gua menyapa, berniat salaman.

“Lungguh sek, lungguh sek!” Ia malah menyuruh gua duduk, dengan ekspresi wajah yang khas: teduh dan bersahaja.

“Ada apa, Kang?”

“Ada nomer yang bisa saya hubungi, nggak? WA atau FB atau IG?” Tanya-nya yang kembali konsen untuk berusaha berbahasa Indonesia yang baik dan benar, seenggaknya di setiap kami berhadapan dan berbincang.

“IG aja, Kang.” Bermaksud jujur, karena hanya instagram jalur yang logis.

“Apa namanya?”

Gua mulai mengeja per huruf, memastikan username itu terketik tepat di hp-nya.

Akun gua keluar.

“Ini saya follow, ya. Nanti kalau ada info apa-apa, saya kabari. Jangan lupa difollback!”

Tiba-tiba aja.

Kali ini, usaha gua untuk login instagram, dirasa menambah alasan yang lebih bermanfaat. Lebih bijak. Menjadi bijak karena berinteraksi dengan orang bijak.

Segala hal baiknya, semoga baik.

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mekar

Kepompong

Terminal