Pena
Karena kamu seorang penulis, aku memberimu sebuah pena.
“Ini pena apa? Pena hitam dengan tinta berwarna putih? Keras di sisi lain
empuk, mungkin empuk yang mengeras. Belum lagi dengan bentuk dan segala
aksesorisnya: pena yang aneh!”
Aku hanya tersenyum.
“Apa yang telah diberikan buku-buku sastra terhadapmu?” Kalimatku di ujung
senyum yang menggelak karena tak tahan.
Bukan maksud bodoh, kepolosan tanda kesucian: aku mencintai itu.
“Itu pena yang luar biasa! Kamu boleh mencobanya, atau mungkin kita.”
Sebab pena itu, hingga, menjadikanmu tak pernah berhenti menulis.
“Sebegitu yakin kamu yang tak butuh rehat, jeda? Tak pegal, kah?”
“Aku suka geli!” Ucapmu percaya diri.
Aku tak mengenal diri, lagi, selalu: tak perlu kujelaskan ia menyukai atau
tidak.
Aku gila.
Ia tergila-gila.
Komentar
Posting Komentar