Harum
Sepulangnya, melepas sepatu dan kemeja, merebah berbantal memegang beberapa berkas dengan bertelungkup: membaca sekilas, lalu menaruhnya pada tumpuk kertas yang sepenuhnya berantakan. Ia malah meraih novel.
“Diminum dulu jeruk hangatnya, Bang!” Sedatang perempuan berwajah teduh itu
membawa segelas besar jeruk peras manis hangat.
“Makasih.” Senyumnya, kecupnya, sebelum teguk tipis gelas yang sedikit
masih mengepulkan uap aromatik.
Lelaki itu kembali melanjut novel.
Perempuan itu malah mulai memijat.
Mereka mengobrol seputar, “ada kesibukan apa di kantor?”, “kenapa rapat
koordinasi dengan klien diundur?”, “bagaimana dengan rancangan insight proyeksi
bulan ini?” atau hanya sekedar berkeluh, “mengapa jalanan begitu macet?”
Obrolan ringan itu terasa menenangkan dengan kenyamanan pada betis,
pinggang, punggung, lengan, leher. Untuk kepala: lelaki itu malah menutup novel
yang tentu hilang konsen untuk membaca sambil mengobrol, atau mungkin karena ia
memang lebih mencintai obrolan itu dan orang yang diajaknya mengobrol.
Kepala itu bersandar berbantal paha kanan perempuan itu yang terduduk
bersila.
“Kamu pasti capek? Mau mandi dulu atau makan dulu? Kebetulan aku baru masak
ikan mujair goreng kering, cumi rawit basah, tumis kangkung, sayur bayam
jagung, lalap rebus mentimun, dan sambal limau.” Senyum perempuan itu dengan
tangan lembut yang membelai rambut seseorang di paha kanannya: manja sekali
lelaki itu!
“Kalaupun besok aku digoda untuk pergi berlibur ke Swiss secara gratis, aku
lebih memilih di rumah, mengantarmu ke pasar, menemanimu memasak, dan kita
makan bersama hingga berlomba: tentang sendawa siapa yang paling imut?”
Tak lagi membelai, rambut itu kini diacak-acak gemas, mungkin kesal.
“Jangan gitu, tetaplah memilih untuk berlibur ke Swiss, aku ikut, nanti
kita masak dan makan bersama di sana!”
Mengacak-acak rambut itu berbalas.
“Terima kasih, kamu membuat aku merasa menjadi lelaki paling bahagia di
muka bumi!”
Kecup itu terulang, kini cukup lama.
Komentar
Posting Komentar