Wahana

Dalam perjalanannya, manusia hanya dituntut akan proses. Untuk hasil yang didapat, tentu sesuai dengan proses yang diusahakan. Tentu diliputi takdir dan nggak mudah.

Sebagai manusia yang mudah terobsesi dengan makanan baru dan aneh, selain keterpukauan dengan toko buku dan deret judul-judulnya, kuliner adalah hal yang mendarah daging. Kuliah dan status mahasiswa memberi kesempatan akan menambah wawasan perkulineran. Nggak mengenal mood, finansial cukup andil pengaruh.

Tapi, pernah nggak sih lu merasa risih perihal ini? Risih hati atas kelemahan diri yang nggak ada mampu untuk melibatkan berbagi kebaikan pada pedagang-pedagang. Meskipun uang yang didapat dari hasil keringat sendiri itu lebih berkah dan manis, apa tanggapan lu yang melihat seorang kakek penjual balon di tengah terik siang lampu merah?  Atau penjual kerupuk, bahkan penjual olahan keong sawah dengan sepeda tuanya? Sepedanya bersandar di tembok, penjual itu bersandar di keibaan manusia.

Gua nggak mau bahas panjang hal kesedihan itu.

Di tengah malam di atas onthel, sepulangnya dari salah satu warung penyetan lamongan, realita memaksa humanisme harus dan tetap muncul di hari yang kian gelap dan sepi peraduan itu.

Semula dari kebingungan tentang banyaknya kuliner jam malam tapi hanya beberapa jenis menu yang ramai? Sekalipun yang ramai itu, sebut seperti penyetan lamongan, kenapa nggak semuanya penyetan lamongan itu ramai? Padahal menjual dagangan yang sama, di tempat yang sama, dan waktu yang sama: kenapa hasilnya bisa berbeda.

Juga menyoroti perihal perbedaan, antara pedagang sate yang berkios dan pedagang sate yang berkeliling.

Bukannya membandingi, tapi kalau bisa, dahulukan membeli mereka yang berdagang secara berkeliling. Kalau belum cocok dengan harga atau rasanya, berusahalah mencari yang cocok dengan harga atau rasanya.

Meskipun sama-sama berdagang, peluang itu berbeda. Kios lebih diuntungkan dengan adanya makan di tempat atau seenggaknya memberi tempat yang nyaman untuk menunggu makanan yang dibungkus. Tapi, bagi mereka yang berkeliling?

”Lah, kan yang berkios juga kena uang sewa?!” Protes mereka yang salah paham.

Tapi kan akan berbalas dan setimpal dengan feedback pendapatan: setara dan masih dalam kesemestian. Sedangkan, bagi mereka yang berdagang dengan berkeliling, besar usaha mereka kadang nggak setimpal dengan hasilnya. Seenggaknya perihal peluang. Bukan maksud tak pintar tak ingin, tapi tentunya semua orang memiliki garis takdir tersendiri dalam memberi kesempatan. Termasuk modal.

Selain itu, untuk perihal sekelumit hal eksternal dan eksoteris, tenaga yang dikeluarkan dan pandang mata yang lebih luas dalam menjangkau realita di luar dan yang ditemui, sudah cukup memberikan nada tutur batin yang berbeda. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan bapak tukang sate dengan wajah campuran debu dan keringat sedari mengayuh sepeda berkeliling saat melihat tukang sate lainnya dalam kios dan ramai?

”Apakah Allah membedakan rezeki hanya karena kios dan berkeliling, sedangkan kami sama-sama tukang sate?” Mungkin suara batinnya mengadu yang ke sekian pada larut malam, di pinggir trotoar saat rehat.

Belum lagi perihal keadaan keluarga, wajah-wajah dan harapan mereka, lalu juga do’a-do’anya. Siapa yang tau dan mampu mendengar?

Gua hanya berusaha mendengarkan pengakuan hati, lalu berusaha tidur nyenyak dalam harapan-harapan baik di malam ini: di kemudian.

Aamiin.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dosa

Dompet