Virus
Lu pernah nggak, atau bahkan akan, ketemu orang yang bikin lu nyeletuk dalam hati, ”Kok ada ya orang kayak gini?!”
Bukan kagum,
tapi orang yang bikin lu kesal: sampai nggak habis pikir.
Nggak tercapai
baiknya ekspetasi sosial, tentu nggak bisa dipungkiri. Karena sejatinya, kita
nggak ada kuasa atas sifat dan sikap orang yang berbeda-beda, terhadap kita.
Sekalipun kita sudah berlaku baik dan menyenangkan yang bukan berarti, nggak
selalu mendapatkan hal serupa: diperlakukan baik dan menyenangkan.
Hingga, gua
pernah ketemu seseorang: akademisi, suka baca buku, berwawasan luas, dan
sarjana S1 Psikologi. Tentunya seorang akademisi sarjana S1 Psikologi yang suka
membaca buku hingga membuatnya berwawasan luas itu banyak! Dengan begitu, nggak
usahlah berepot pikiran dan berlebih perasaan untuk memerka dan menebak siapa
orangnya. Cukup baca, jika ada hal yang sekiranya dapat dijadikan pelajaran,
boleh lu ambil!
Entah mengapa,
sejujurnya dan seharusnya, gua sangat amat setuju dengan apa yang dikatakan Tan
Malaka:
”Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam
kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”
Sudah sangat
jelas, bukan?
Bagaimana
pendidikan sangat berpengaruh pada hal esensialis dan fundamentalis, pada
umbilikus jiwa. Sedari pikiran, perasaan, hingga tekad yang tentunya akan
menghasilkan gerakan dan tindakan. Dan tentunya, mempertajam, memperkukuh, dan
memperhalus, bukanlah sembarang diksi yang dipakai Tan Malaka dalam
berpendapat. Yang pasti, kebaikan meliputi makna diksi itu.
Dari sekian hal
yang kurang berkenan di hati ini, lebih nggak berkenan lagi rasanya jika gua
harus memaparkan dan mengeluarkan segala unek-unek diri perihal perangai buruk
orang yang terkesan aib: terkesan penggibah yang handal!
Nggak keluar
konteks, hal yang bikin gua nggak habis pikir hingga kesalnya, ”Kenapa kok ia
paling nggak bisa menjaga, atau seenggaknya mengerti perasaan orang? Betapa
nggak peka, bahwasanya hal yang ia lakukan itu sangat menyinggung perasaan
orang? Padahal ia juga seorang Psikolog dan Sarjana?!”
Ternyata nggak
selamanya pendidikan dan cerdas itu selalu dapat dialokasikan dengan baik dan
berdampak baik. Atau mungkin
dengan berdalih kebaikan itu relatif. Tapi bukankah pendapat mayoritas bisa dipegang untuk
ketetapan suatu hal?
Tanpa gua
koar-koar berunek-unek kekesalan tentang apa yang gua rasa terhadap orang itu,
khalayak kanan kiri malah lebih dulu membuka ruang diskusi tentang watak dan
pengalamannya dengan orang itu, meski entah dengan solusi: kekesalan itu tetap.
Bagaimana perihal ucapan dan
tindakan, adalah hal yang paling menonjol. Dal hal luar, adalah cermin dari hal
dalam. Dan gua nggak
mau cerita persisnya. Yang pasti, suatu hal buruk dan menyebalkan terasa lebih
sempit dan menyesakkan dalam tempat yang bernama pondok pesantren.
Dan cakupan
psikologi itu banyak, kan?! Psikologi Klinis, Psikologi Sosial, Psikologi
Perkembangan, Psikologi Kognitif, Psikologi Kesehatan, Psikologi Pendidikan,
Psikologi Forensik, bahkan juga Psikologi Komunikasi.
Masa harus
diingatkan lagi pengantar Studi Psikologi sama mahasiswa semester 4?
Label framming,
nggak menjamin!
Persetan untuk
segala validasi dan pretensi!
Komentar
Posting Komentar