Ssst
Harap tenang sedang ada ujian!
Dalam masa ujian seperti ini, bukan saat yang tepat untuk menjelajahi
segala waktu luang. Semua hal yang dirasa baik-baik aja di hari biasa, saat
ujian, terasa begitu asing. Ya, apalagi ini adalah ujian madrasah diniyah!
Dengan segala pertimbangan, seperti akan mendapat sanksi untuk yang nilai 4
ke bawah dari 10 soal yang diujikan, dari pertanyaan dan jawaban berbahasa
arab: hal yang cukup mengkhawatirkan adalah perihal ujian ini yang langsung
dikoreksi oleh beliau, mustahiq. Dengan begitu cukup mudah bagi beliau untuk
melihat kesungguhan dan perkembangan anak didiknya selama satu semester,
lengkap dengan segala ekspresi untuk baik buruknya nilai anak didiknya: kami.
Hal lain, mungkin, karena ujian ini adalah puncak perjuangan. Sedari muhafazhoh
hafalan dengan segala waktu yang menekan otak untuk hafalan dan lisan yang
terus merapal, lalu tam-taman atau koreksian kitab yang dirasa mustahil jika
ada santri yang nggak memiliki tembelan dengan catatan makna kitab full klinis
murni dari hanya jam pelajaran di kelas. Kedua tahap itu tentu memiliki
ritmenya masing-masing dalam mengguncang jantung, ketenangan hati, dan akal
sehat: tentu jam tidur, entah dengan selera makan.
Di masa ujian seperti ini, mungkin menjadi masa dengan makna santri dan
kepesantrenan yang terasa begitu kental. Bagaimana nggak, dari ujung ke ujung,
atas bawah, kanan kiri, tua muda, segar pucat, semuanya membuka kitab. Meskipun
tetap nggak mengalahkan kegiatan yang lain. Seenggaknya, waktu luang dicerabut
untuk itu. Waktu luang yang padat.
Sedari realita kacamata gua pribadi, usaha para santri dapat dilihat dari
metode belajarnya yang menimbulkan hierarki tersendiri.
Pertama atau tingkat paling bawah adalah santri yang nggak buka kitab sama
sekali. Dalam hal ini bisa bermakna dua: menjadi luar biasa karena mungkin ia udah
belajar nggak hanya sedari ujian hingga ia mampu hafal dan paham, tapi hal ini
dirasa mustahil. Dan kemungkinan terbesar dan mutlak, ya memang malas nggak
belajar sampai menunggu fokus pada ujian.
“Tapi, kan pondok ini sibuk banget, full kegiatan dari bangun tidur sampai
tidur lagi. Nggak ada waktu luang!” Sangkalnya, mungkin.
Gua jadi teringat ucapan beliau, “Di pondok ini memang nggak ada waktu
luang, tapi luangkanlah waktu!”
Emang hanya ia yang santri? Emang hanya ia yang mondok di sini? Nyatanya yang
lain aman-aman aja. Emang benar, orang gagal itu butuh banyak alasan.
Kedua, tingkatan orang yang belajar sekedar buka kitab. Biasanya modelan
santri seperti ini, ia ikut belajar. Tapi, paham nggaknya, ya terserah: yang
penting buka kitab!
Ketiga, orang yang belajar buka kitab, dibaca, entah paham atau nggak, jika
insting mengatakan bahwa ada suatu redaksi materi kitab yang sekiranya akan
keluar nanti di soal, ia akan garisi tandai. Paham nggaknya, dihafal nggaknya,
entah.
Keempat, orang yang memilih salah satu dari keduanya: dihafal atau dipaham.
Jika dihafal, redaksi yang sekiranya keluar dan sudah ia garisi tandai, maka
akan ia hafalkan mati-matian. Banyak redaksi itu dipaksa muat di otak. Meskipun
kadang kali berdampak pada wajah yang stress karena udah banyak yang dihafal,
ternyata nggak ada yang keluar di soal. Lalu untuk yang dipaham, biasanya ia
akan membaca semua redaksi dari batas awal materi yang diujikan sampai akhir,
lalu dipahami sungguh-sungguh. Tapi efek sampingnya ialah: ujian itu tekstual,
kalimatnya harus sesuai dengan apa yang ada di kitab, apalagi pelajaran hadits.
Sedangkan pemahamannya, adalah kontekstual.
Kelima dan berada di tingkat teratas adalah mereka yang mampu untuk
menghafal dan memahami. Untuk mencapai orang golongan tingkat atas, harus juga
mempunyai backup yang juga atas: usaha yang keras dan IQ yang tinggi. Kebanyakan
sih seperti itu.
Meskipun sejatinya setiap orang punya cara belajarnya sendiri-sendiri yang
tentu untuk kebaikan diri sendiri, mayoritas memang digolongkan seperti itu.
Dan gua? Dengan memandang segala kelemahan diri dibanding yang lain, tentu
harus punya usaha yang besar untuk mengejar ketertinggalan. Harus mengeluarkan
tenaga lebih untuk berlari, mengejar kesetaraan. Mungkin paham dan hafal tetap
gua usahakan. Meskipun kadang pemahaman dikalahkan kadarnya dengan usaha menghafal.
Meskipun menghafal harus dengan cara ditulis tangan terlebih dahulu.
Dengan segala macam usaha dari berbagai ujian, metode seperti ini cukup
berpotensi. Ya, minimal nggak masuk kategori orang yang mendapat kartu merah
dan disanksi karena nilai di bawah rata-rata.
Tapi, dalam sebuah effort proses, nggak mengecualikan perihal cobaan
hambatan. Dengan kenyataan hadirnya novel trilogi-nya Leila S. Chudori yang bergenre
sejarah perjuangan itu, nggak semerta-merta dapat gua ceritain excetidnya
karena takut tulisan ini jadi berbelok membahas novel. Juga tentunya perihal
persoalan inti untuk gebu hasrat yang nggak bisa dipendam meski telah diobati
dengan perjanjian diri, “pokoknya sehari baca satu bab aja ya, Bat! Habis itu
belajar!”
Seperti sambal, semakin dibaca, malahnya semakin nggak bisa diberhenti:
untuk terus membaca dan menjadi pembaca. Apalagi, untuk buku filsafatnya Dr.
Fahruddin Faiz yang mengisi asupan non fiksi: memang kayaknya salah, atau
mungkin kurang tepat untuk membeli buku baru di masa ujian seperti ini!
Dengan begitu, tentu sehabis pulang kuliah, makan, mandi, sholat dzuhur,
gelar selimut, tumpuk bantal, ambil buku di rak, dan jeng jeng jeng: Fabiayyi
ala irobbikuma tukadziban?!
Udah bisa dipastikan, sebagaimana kata Pak Heri, bahwa kewenangan itu cenderung
mengarah pada kehancuran, tentu hal ini menghancurkan usaha belajar gua dalam menghadapi
ujian. Meskipun sejatinya, sejauh apa hal buruk yang didapat dari baca buku? Tapi
bukan berarti menyerah dan berdiam diri dalam kesenangan zona nyaman. Jika metode
A dirasa hilang efektivitas, maka cari solusi untuk metode lain yang dikira
lebih relevan.
Dengan usaha ala kadar menggarisi menandai materi yang sedikit dengan
membaca berbab-bab novel yang banyak, nggak ada cara lain: gua harus merapat ke
cendekiawan!
Karena masih ada ketercukupan waktu dari kesempatan karena banyaknya
santri, ujian ini pasti dibagi menjadi 2 jam: khisoh awal dan khisoh tsani yang
masing-masing berdurasi 1 jam, masih cukup luang dari sehabis maghrib sampai
jam 20. 45 WIB.
Gua menghampiri kamar ahlu kitab, belajar bareng di sana. Walaupun kenyataannya,
lebih pas “ngajarin gua”.
Untungnya hari itu, hanya satu pelajaran: tafsir.
Salah satu pembuktian manfaat bahwa lingkungan itu berpengaruh, punya dan
dikelilingi oleh teman yang berhasrat belajar tinggi, cukup mengntungkan. Batas
materi, surat al-Waqi’ah dan al-Mulk.
“Lu tunggu sini dulu, Bat. Mau kopi atau teh?” Tawarnya ketika gua datang
cengar-cengir minta, atau mungkin ‘belajar bareng’.
“Ah, ngerepotin tuan rumah.”
“Halah!”
Ia masuk, nggak lama, kembali dengan segelas teh manis hangat dan kitab.
Belajar itu dimulai!
Di sinilah timbul keterbingungan gua di saat-saat mencuri fokus lain untuk
sekedar berpikir, “kok bisa ya, baginya, materi kitab jadi terasa begitu ramah
dan mudah dipahami? Padahal sebelumnya, saat gua buka kitab, tuh materi kok
serasa nggak mau akrab dan asing. Tapi baginya, semua materi terasa menjadi logis.”
Ia membaca, ia menjelaskan.
Gua menggarisi menandai, gua sesekali bertanya perihal yang kurang dipaham.
Sampai pada suatu ayat yang udah gua ancam akan, harus masuk tulisan jika
gua benar-benar ingin menulisnya: entah kapan, entah di mana, mungkin sekarang
dan di sini.
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْ
Yang memiliki tafsiran:
أي سهلة للمشي فيها
Artikan dan pahami sendiri!
Bukan hanya ini, sesekali, dalam beberapa hal penuh
sadar, ada beberapa ayat Al-Qur’an yang membuat gua terobsesi lebih. Bahkan,
pada suatu waktu, membuat tadarus harus terjeda, untuk mengambil pulpen, lalu
menyimpannya di kertas dan sebisa mungkin di hati: sangat amat mengena. Aaah,
gua pengen memperpanjang pembahasan ini! Semoga di lain waktu.
Hingga, waktu itu datang. Pergantian waktu ujian,
khisoh awal ke khisoh tsani. Para santri itu bersiap, berdo’a, dan tawakal pada
hasil.
Semoga memuaskan.
Semoga hasil tidak mengkhianati usaha!
Semoga keridhoan tidak mengkhianati belajar!
Selamat ujian, teruslah belajar!
Komentar
Posting Komentar