Safari
Kabar ini udah gua dengar sebelum-sebelumnya.
Sebuah kabar gembira tentang kedatangan seorang ahli baca, penulis hebat,
football player, aktivis ngaji, singa diskusi, ahli tirakat, bucin akut, guru
dan panutan, teman belajar terbaik: Kang Ahmad Nahrowi, S.H.
Secara karena beliau telah usainya pendidikan akademis, formal-non formal,
segala hal yang udah dicapai dan maksimal, ia mencari tantangan baru di Jakarta
dengan beasiswa dan pengalaman jurnalistiknya. Sungguh hal yang sangat amat
menjadi tolak ukur murid, penulis-penulis kentang kayak gua.
Tapi, katanya juga, ia ke sini hanya untuk mengantarkan seorang santri baru
yang mau mondok di pondok ini. Meskipun tentunya ia akan tetap menginap dan
bermalam, lalu hal-hal baru lagi segar akan segera kami dapatkan darinya.
Hingga, di suatu pagi, saat terbukanya mata seseorang dari bobo gantengnya,
sosok itu menjadi hal yang pertama kali dilihatnya. Ia merekah senyum,
bersalaman dengan nyawa yang belum terkumpul sempurna. Sedikit ngantuk dan
sempoyongan, nggak ngaruh!
Di pagi itu, ramai riuh suasana kamar menjadi berbeda dari pagi-pagi
sebelumnya.
Kuliah, pulang. Lengkap dengan segala pemikiran dan tugas-tugas baru.
“Bang, orang rumah lu tuh!” Unjuknya di sesaat baru menaruh buku di rak,
melepas kemaja, pada seorang wajah asing yang gua tebak ia adalah santri baru
yang dimaksud.
“Masa, iya?” Tanya gua menimpali yang langsung gua arahkan pandang pada
orang yang dimaksud, “Orang mana, Bang?” Gua mencoba menyapa pada santri baru
tersebut.
“Jakarta.” Jawabnya datar, atau mungkin kikuk.
Basa-basi tipis terjadi saat itu.
“Gua nitip, ya! Nanti ajak mutar-mutar pondok induk, sekalian jangan lupa
ziaroh ke makam yai sepuh.” Perintah shifu yang gua tanggapi, “Hah!”
cukup kaget: kok secepat ini konsekuesi pemaksaan akrab?
Ada sedikit besit terkait kenapa harus gua dari sekian banyaknya masyarakat
kamar yang tentunya nggak kalah asyik, mungkin bukan perihal gua yang PGMI
karena terkesan lebih ramah anak: kayaknya emang karena sesama kultur Jabodetabek
aja. Walaupun akhirnya, gua iyain juga.
“Iya, Kang. Tapi gua mandi dulu, sekalian sholat dzuhur.”
Lalu, jubar-jubar mandi, dingklak-dingkluk sholat. Sat set sat set!
Hingga, safari rekreasi wisata berkeliling pondok besar induk akan dipandu
oleh guide berpengalaman dan terpercaya ini!
Melihat penampilannya: baju koko putih dengan kopeh baru yang dipaksa lusuh
karena lama naik bis, dipakai tidur, atau dipakai nangis, cukup mengingatkan
gua dulu ketika awal mondok yang nggak kenal siapa-siapa. Bedanya dia langsung
dilepas tanpa ditemani orang tua dan nggak memilih unit yang memiliki sekolah
formal.
“Kenapa nggak pilih sekalian yang ada sekolahnya?” Tanya gua cukup heran
saat ia yang memilih menjadi santri ndalem yang fokus ngaji tanpa sekolah
formal.
“Ekonomi, Bang.”
Gua terdiam sesaat. Mungkin cukup keliru untuk pertanyaan yang baru sangat
awal ini. Mungkin merasa bersalah dan menambah ketercanggungan. Untungnya Sang
Guide adalah seorang berpengalaman dan terpercaya! Cukup bisa diatasi.
“Tapi, umuran lu itu sepantaran, apa?” Lanjut gua mencoba membangun
interaksi yang sempat runtuh. Dan perihal sapaan lu gua, nggak usah kaget: this
is cultural preservation!
“Kelas satu SMP, Bang. Gua baru lulus SD.”
Dengan segala stereotip orang perihal konsep psikologi perkembangan dan
klinis yang mengatakan bahwa kebanyakan orang pada saat ini mengalami
penyusutan ukuran badan yang terkesan lebih kecil dan lebih kecil dari tahun ke
tahun. Tapi terkadang, nggak menafikan untuk memunculkan ketercengangan bahwa
ada bocil-bocil yang umurnya jauh, tapi tinggi badannya dekat: serasa
sepantaran dengan kita.
Nah ini, salah satunya. Iki, namanya.
Di awal safari ini, jalan tiba-tiba dihadapi dengan rombongan mbak-mbak
penghafal Qur’an yang masya Allah itu, sedang berjalan beriringan berangkat
diniyah. Jalan pintas tembusan harus kami tempuh.
Rute beralih untuk menyusuri jalan besar depan, satu dua langkah, seraya
memaparkan setiap tempat yang dilalui.
“Itu toko kitab. Lu kalau udah daftar dan jadwal kitabnya udah keluar,
nanti beli kitabnya bisa di sini.” Runtut Sang Guide percaya diri.
“Iya, Bang.”
Jalan, jalan, jalan, bertapak-tapak langkah. Sampai harus melewat jalan
sempit makam yang ternyata di tengah siang udah dipenuhi para pencari ilmu
dengan tipis tebal kitabnya yang tergenggam.
“Sendalnya dibawa aja, ditaruh di rak dalam biar lebih aman. Biasanya di
rak luar suka hilang!”
Ia tetap ber-iya ria. Meski kali ini muncul senyum itu.
Hingga, bakat tersembunyi mengenai teknik dan startegi menaruh sendal itu
harus gua ajarkan. Ia cukup terkesan, gua mengangguk bangga dalam hati. Haha.
Nggak ada sepi perihal makam yai sepuh. Apalagi ini jam pulang diniyah.
Meski dirasa ramai, gua memberanikan diri untuk maju dan memilih tempat paling
depan: pas di sisi pagar pembatas. Karena memang sebelumnya, gua penganut
santri barisan belakang. Selain karena lebih sepi, tenang, dan nggak terlalu
dilihat orang untuk beranjak kembali. Dan tentunya bisa sandaran di tembok!
Simpuh, bacaan lugas tahlil santri senior itu diiringi lirih suara santri
baru yang matanya ke mana-mana mencoba adaptasi sekeliling.
“Lu udah makan?” Tanya gua di warung makan legend dekat makam, selepas
selesainya ziaroh. Meskipun kenyataannya gua nggak begitu lapar karena memang
bukan jam makan, hanya berniat mengenalkan warung legend itu. Tapi, seenggaknya
kali ini gua bisa menganut bunyi hadits,
“makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang.”: sesekali.
“Udah, Bang. Tadi udah makan.” Jawabnya yang terlihat linglung, meski tetap
dengan pandangan menyapu sekitar.
Akhirnya, karena udah terlanjur masuk warung, mau nggak mau menu andalan
harus dipilih untuk usaha membangkitkan selera makan yang biasanya berhasil:
ikan tongkol goreng kering + sambal sachet, kalau bisa yang kemiri.
Melewati jalan lorong kamar santri induk yang kedap cahaya, berbelok
berkelok, melewati jalan lain untuk sampai ke ujung utara pondok.
“Di sini tuh ada pondok pusat, ada pondok cabang. Pondok pusat disebut
induk, pondok cabang disebut unit. Makanya kalau niat mondok ke pondok besar
ini, harus tau mau ke pondok mana.”
Iya hanya mengangguk paham.
Maka dari itu, setiap melewati banyak pondok-pondok unit atau induk, gua
jelasin sekilas ke Iki perihal background pondok itu.
“Di sini tuh juga ada 2 masjid, jadi kalau jum’atan enak. Tinggal pilih. Ya,
walaupun nanti lu akan tau sendiri gimana sensasinya.”
Sampai ke masjid hijau itu, hingga Aula Muktamar, dan gedung An-Nahdhoh
yang megah itu.
“Enaknya pondok induk itu nanti kamarnya sesuai dengan asal, jadi bisa
lebih akrab orang-orangnya. Kamar Jabodetabek nanti di depan sana!”
Ia mencerna.
Sebisa mungkin rute jalan yang dilewati adalah jalan yang lain. Jika
berangkatnya lewat depan, berarti nanti pulangnya lewat belakang. Biar ia bisa
tau dengan langsung.
“Lu tau kenapa jalan ini banyak genangan airnya padahal jalan lain itu
nggak?” Tanya gua tepat saat suruh agar hati-hati untuk sarung yang kotor
ketika lewat jalan di depan kamar Pekalongan.
“Karena hujan?” Ia menebak.
“Bukan, kalau hujan harusnya semua jalan rata ada genangannya. Tapi, karena
tetesan mandi santri yang biasanya kalau mandi tuh basah-basahan terus jalan
sampai kamar. Karena saking banyaknya orang, tetesan air dari sarung mandinya sampai
menggenang di sepanjang jalan ini.” Raut wajahnya aneh, antara kagum, kaget,
atau bahkan bingung.
Meski sejatinya mulut gua pegal untuk terus nyerocos sepanjang jalan di
terik siang begini, hal yang lebih mengalasi adalah nggak teganya gua melihat
Si Iki yang kelihatannya haus banget sampai pucat mukanya kayak anak SD yang
nggak sarapan waktu mau upacara bendera di hari senin.
“Lu nggak mau jajan apa-apa, gitu?”
“Nggak ah, Bang.”
Hingga, sampainya di pertanyaan inti, “lu bawa duit?!”
“Nggak, Bang.”
Tuh kan!
“Yah, gimana sih, safari jalan-jalan pondok besar ini tuh rugi kalau nggak
jajan. Soalnya kulinernya enak-enak!” Ucap gua mencoba menghilang raut rasa
bersalah dari wajahnya, juga dengan kejujuran gua yang seorang pemerhati
kuliner yang untuk lingkup pondok besar adalah wahana.
Akhirnya ia gua ajak beli es degan dan sempol jumbo!
“Makasih, Bang!”
“Iya.”
Sambil menikmati es degan dan sempol jumbo, gua dan Iki lewat Dempul. Nah,
mungkin ini adalah momen yang tepat untuk preventif dini. Mungkin hanya sekilas
dan inti.
“Dulu pondok besar ini, adalah hutan dan pemukiman para penjahat. Nggak
mengecualikan, banyak ditinggali makhluk gaib. Lalu, para yai sepuh sempat
bertarung dengan jin-jinnya.” Gua mengawali, dengan sesekali kunyahan kecil.
“Bertarung, Bang?” Tanya-nya kaget.
“Iya, bertarung. Dulu jinnya bukan main-main. Di sini itu dulu adalah
kerajaannya jin. Dan jinnya kalah. Akhirnya raja jni dan yai sepuh bikin
kesepakatan, bahwa jin-jin nggak bakal ganggu santri asalkan santri nggak
ganggu jin. Makanya jin Dempul nggak bakal masuk area pesantren asalkan santri
nggak masuk area Dempul.” Ucap gua sekenanya, dan spill sekilas cerita santri
ngeyel yang ‘kenapa-kenapa’ karena memberanikan diri untuk masuk ke area Dempul
sana.
Setelah dari ujung utara, sampainya safari guide dengan kliennya di ujung
selatan yang berada di pondok ini: gedung sekolah, kamar santri ndalem, dan kandang-kandang
perternakan berbagai hewan.
Safari ini berakhir, mereka kembali ke kamar: kliennya langsung tidur, Sang
Guide berubah menjadi penulis.
Lalu, menulis tulisan ini.
Tulisan yang kalian baca.
Komentar
Posting Komentar