Mungkin

Ingin sekali dan sesekali, mengajakmu untuk duduk di sini. Mungkin kamu akan dilarang habis-habisan oleh orang tuamu, atau bahkan dicap nakal jika itu terjadi. Bukan bermaksud melawan, tapi bukannya bahagia kadang perlu dipetik dengan mencoba dan berani?

Dengan ini, mari kuajakmu mencoba dan berani!

Mungkin tak ada satupun lampu dari 8 tiang yang bisa kita dapatkan, tapi bukan berarti harus bergelap-gelap gulita. Cahaya masih berbaik hati untuk pecah cercahnya, hinggap temaram, meski tak benderang.

Mungkin kita tak banyak bicara di awal. Aku tau, kita cukup kaku untuk memulai. Tapi setelah itu, kuyakin sudah, bentur kata tak menafikan untuk siapa yang berucap dan siapa yang mendengar.

Di bawah langit malam, di atas jembatan kayu, cukup menariknya kita yang membahas hal-hal sekitar dengan mengalir. Mungkin banyak pertanyaan saat itu: kenapa air sungai besar itu beriak di tengah arus, menghitung jumlah bintang, mencari awan, menerka maksud rombongan pengendara motor itu yang bermain mesin dengan mengangkat handphone tinggi-tinggi.

“Mungkin touring!” Terkaku.

“Bukannya ini baru jam 11 malam? Bukannya hal itu meresahkan?” Tanyamu bertubi.

“Bukannya resah itu hebat?” Akhirku.

Kamu sedikit kesal, meskipun sepenuhnya setuju.

Mungkin di suatu detik kita akan termenung. Sejujurnya aku belum bisa bermain gitar bagai lainnya. Tapi kita bisa mencuri nada petikan gitar kakak timur ramai di belakang untuk lirik yang kita nyanyikan lirih. Lalu syadu, lalu kita tertawa.

Mungkin juga, gigi kita akan berhenti mengunyah karena pegal. Atau perutnya saja yang sudah kenyang. Atau, paling, lidah yang sudah tak berselera. Martabak yang berusaha untuk tetap menghangat itu, akhirnya mendingin. Tepat menyisa meski dihidang 2 orang. Mungkin ia sakit hati, tak mampu membanding hangat. Hingga, terbukti: siapa, apa yang abadi?

Atau mungkin, kita harus menepi, berhenti. Aku tau, semakin larut, dingin semakin tak kenal takut. Aku yang ciut, kamu yang kenapa-kenapa. Meski sejujurnya hoodie lusuhku sudah kamu kenakan, hingga kamu bilang, ”Aku nggak apa-apa, kok!” Mungkin karena cintanya kamu kepadaku.

Tapi ajakku untuk pulang, tersimpan makna, bahwa aku lebih cinta kepadamu. Aku tau rona kebohongan yang kamu usaha tutup-tutupi: senyummu membeku.

Mungkin aku akan tetap membiarkan hoodie lusuhku untuk kamu pakai di sepanjang perjalanan. Mungkin juga, kali ini, aku akan mengantar kamu sampai depan rumah, depan pintu, hingga depan amarah orang tuamu. Tak apa, itu memang seharusnya. Hal yang tak pernah terpikirkan. Jika kenyataan ini ditambah dengan kabar: kamu sakit.

Mungkin itu lebih menyesakkan.

Mungkin aku akan mengucapkan maaf banyak-banyak penuh tunduk pada orang tuamu. Meski tak sepenuhnya sesal.

Mungkin juga aku akan mengucapkan maaf padamu yang sempat mengintip di balik tirai jendela kamarmu. Ucapan selamat istirahat dan terima kasih tetap kuucapkan lengkap dengan aku sangat menyayangimu.

Meski pernyataan jujur, begitu kusesali jika sampai tidak.

"Aku tak pernah berniat mengatakan jelek, kamu lebih cantik dari bulan purnama!”

Mungkin kamu dengar.

Atau tidak, mungkin kamu paham.

Mungkin aku harus menghabisi beberapa kunyahan dari omelan mamahmu, sebelum kembali pulang.

Mungkin aku tak langsung tidur.

Mungkin aku akan lebih dulu menulisnya.

Mungkin ini tulisannya.

Mungkin ini mungkinkah?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa