Malu

Adakah hal yang mampu membuat kita begitu malu? Merasa gagal jadi manusia?

Bagaimana rasanya kita yang  begitu puas dan buas dalam menginjak-injak seseorang, tapi malah ia yang mengobati sepenuh cinta? Bagaimana rasanya menjadi tokoh dalam pribahasa, “Air susu dibalas air tuba”?

Tapi ini bukan soal orang, manusia.

Merupakan hal yang menyesakkan dengan suatu tamparan yang begitu keras: dengan memandang diri yang penuh lemah, masih bersemangat dalam larangan dan lalai dalam perintah, Allah malah membalas dengan kebaikan penuh nikmat kasih sayangnya.

Tak hanya berpikir dan berperasaan, ego diri kita tercaci maki dengan status diri: nggak sadar, begitu hinanya.

Di suatu jum’at yang terasa berbeda, meski bingung penuh paradoks perihal penyematan diksi istimewa di dalamnya. Seorang lelaki berkepala batu memilih melabrak jam malam dengan bercumbu sebuah novel sampai lembar akhir di 460 halaman itu, sampai larut dan puas. Nggak hanya itu, hingga, ia berselingkuh dengan buku lain. Bukan untuk membaca, tapi menulis. Bagaimana perasaan buku selingkuhan itu saat si lelaki malah menulis, bercerita buku lain dalam percumbuan selama 460 halaman?

Apa yang dipikirkan lelaki itu dengan mengoleksi tulisan, cerita-ceritanya setiap kali selesai bercumbu dengan suatu buku? Mungkin bangga, atau itu bentuk caranya menghargai bacaan agar cintanya terasa abadi? Entahlah.

Hingganya ia harus mengecap ulahnya itu dengan penyesalan, di hari itu juga. Bukan perihal buku, bacaan atau tulisan, apalagi percumbuannya. Tapi, perihal nasib UTS matkul matematikanya yang terbengkalai. Jangan harap remedi dengan segala pengekspresian dosen berwajah rumus hipotesis-hipotesis itu: apa yang kau dapat? Apa yang kau paham? Remedi adalah bentuk pemakluman paling manusiawi untuk mahasiswa planga-plongo pikiran eror yang dipaksa menghitung huruf.

Matematika macam apa ini? Mungkin ini kali kedua ia menghitung huruf, setelah jauh di kelas 2 SD yang dipaksa menerka menghitung jumlah abjad.

Ia sholat jum’at dengan penuh penyesalan, terik siang, dan lapar perut.

Perihal lapar perut ini, sesungguhnya, jum’at ini terasa menyedihkan. Selain perihal UTS matematika otoriter yang penuh bias-bias itu: permasalahan lain memberi kebuntuan untuk lapar ini.

Mungkin karena terlalu bernafsu –atau bersemangat, atau menolong– untuk memboyong banyak bidadari dari surga bernama Gramedia itu: gua merasa yakin untuk bisa merasa kenyang dengan buku-buku. Dan nyatanya, lapar adalah lapar. Brubuk-brubuk asam lambung bernada, “kok begini otak hasil didikan buku-buku?”

Dengan sisa keping-keping uang yang tersisa, mode militer diaktifkan: entah perihal manage, atau debit dalam kosakata bendahara, dan tentunya porsi menu lauk!

Hingga, ketegasan sikap diuji dalam persimpangan dan opsi makan soto di tengah siang dan kenyang, atau ngaji dengan penuh kelemas lunglaian.

“Lah, bukannya libur? Gus Reza mau ziaroh ke Baghdad, kan?” Tanya gua nggak percaya, karena memang di jum’at lalu gua dengar dengan seksama, bahwa beliau mengumumkan langsung di akhir pengajian, mau ziaroh ke Baghdad: makam Syekh Abdul Qodir al-Jilani.

“Diundur minggu depan, sekarang tetap ngaji.”Ucap peserta tetap, yang gua tanggapi dengan “oh” bermakna, “pasti pengajian ini akan sepi, karena yang lain mikirnya hari ini libur. Belum lagi soal jum’at besoknya yang libur, pasti beliau tancap gas buat mengisi mengganti jadwal libur dengan pengajian yang lama dan panjang. Harus dengan posisi apa gua yang megang kitab dengan hitech yang bergetar menahan lapar? Lipat kaki? Sandar tiang? Duduk nelungkup, atau malah rebahan tak peduli malu? Meskipun gua nggak yakin, bahwa Gus Reza mengisi pengajian ini dengan membosankan.”

Dengan bismillah yang penuh, gua memilih ikut ngaji. Makan bisa nanti. Sekalipun nanti harus mati karena saking laparnya, tapi gua mati dalam keadaan sehabis ngaji! Makannya nanti bisa di surga. Begitulah pikiran orang pecinta buku garis keras yang sedang kelaparan: antara revolusioner atau stasioner.

“Yakin masuk surga, Bang?” Sangkal panitia surga.

“Lah, kok pakai tanya? Makanya ngaji!”

Semakin mantap niat ngaji kali ini.

Wudhu, benerin sarung, pakai kemeja pakai kopeah, ambil kitab ambil pena, pakai minyak wangi, ngaca dikit: caw!

Sesampainya di mushola, benar aja: sungguh sepi, atau mungkin masih sepi. Nimbrung dengan para peserta tetap, sepatah dua kata, dan cekikikan yang penuh.

Hingga, datangnya beliau dengan jumlah peserta yang lumayan, meski dirasa masih sepi. Gua bersiap di tempat biasa, cuma lebih merapat ke tiang, jaga-jaga jika terjadi sesuatu.

Pengajian dibacakan, memaknai, penjelasan, dan sedikit coret-coret keterangan seraya seling humor segar beliau yang disambut tawa santri yang sepenuhnya belum makan siang.

Dan, ini nih!

Hal yang bikin mantap dan bahagia ngaji, serasa menjawab semua persoalan diri. Tiba-tiba! Pembahasan itu tanpa sengaja menyapa dan memeluk segala keresahan dan kegundah gulanaan ini.

Di redaksi kitab itu, bertepat sekali menjelaskan perihal rezeki. Mulai dari konsep rezeki, potensi rezeki, dan keberkahan rezeki yang nggak melulu perihal pekerjaan yang keren: menurut kita. Lalu beliau terapkan ke kehidupan sehari-hari, santri dan kepesantrenan, hingga berumah tangga kelak. Konsep menabung pun begitu benderang di bayang pikir.

“Siap menafkahimu, Dik!”

Haha.

Tanpa diduga, setelah penguatan kabar libur dari beliau, pengajian kali ini terasa singkat dari sebelum-sebelumnya. Astaghfirullah, gua udah su'udzon.

Tutup dan taruh kitab, merebah dan merentang sendi-sendi kaku, dan perkataan ini lepas aja tanpa konsep dan prepare, “Eh, Pit. Info!” dengan sedikit memainkan alis pada orang di samping gua.

Cukup terkejut itu wajar, yang penting dia paham.

“Minjam berapa?”

Ini perlu disclaimer, pertama nggak mungkin orang yang suka nabung kok suka ngutang. Kedua, hal ini disebabkan dari pengursasan tabungan dan ketidakyakinan pada hitungan sisa keping-keping korban hasrat konsumtif dalam konsumerisme yang terdorong jiwa aktivis literasi. Ketiga, gua malu nelpon orang tua. Keempat, transaksi ini masih dalam koridor koperasi pembendaharaan angkatan yang sebenarnya uang yang gua pinjam itu adalah uang gua, hal ini mungkin nggak terlalu menjadikan gua merasa bersalah jika dikaitkan tentang pinjam meminjang: terutama uang.

Anehnya tuh bandahara malah iya setuju lepas tanpa raut masam rentenir, yang padahal di setiap ada yang minjam uang, meski dengan segala persiapan dan spekulasi alasan yang matang, susahnya minta ampun. Meskipun, sekali lagi, itu adalah uang kita. Itu kenapa, anak-anak berat, malas, dan susah kalau disuruh bayar. Ya, walaupun tetap nggak bisa sepenuhnya dibenarkan.

Gua yang niatnya iseng cek ombak, cuma umpan cacing kok malah dapat tuna: gua siasati, ini sebab barokah ngaji. Rezeki anak sholeh!

Dengan segala keleha-lehaan diri yang dirasa berlebih, dengan nggak memaksimalkan segala hal, sedari hari-hari sebelum ujian, perihal hablu minallah-hablu minannas: Allah malah memberi segala kemudahan dan kelancaran. Hal-hal yang terjadi hari ini, nyamannya dalam ruang membaca buku-buku keren, hingga kenyataan gua yang selamat dari kartu merah, dari belajar ala kadar menghadapi ujian yang rekap nilanya baru keluar. Alhamdulillah.

Intinya?

Secinta itu Allah pada hambanya.

Lalu, syukur seperti apa yang kita berikan untuk cinta-Nya itu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dosa

Dompet