Lepas
Kalau mau ngikutin sedih, banyak hal yang dapat dijadikan bahan untuk sedih: lalu, berlarut-larut sendu yang berkepanjangan.
Masih dalam
keraguan untuk sebuah tulisan yang masih tertulis, tersimpan rapih saat kejadian
itu, kali ini malah tersambut kabar yang memutuskan putus. Bukan cukup, mungkin
teramat-amat sedih untuk mencoba menulis narasi selarut malam ini, mencoba
mencari lindung untuk dibawa ke mana retak perasaan?
Di sini, semoga
cukup membantu: meredakan.
Teruntuk 2
orang kakak kelas yang sangat berarti dalam perkembangan pengetahuan dan
kepribadian diri, tulisan ini mencoba menghantar kepergian dengan sedih dan
terima kasih yang menetap:
Berpayung
Mendung
Belum genap
satu minggu atas tulisan ini untuk kejadian itu. Mungkin kaget, mungkin nggak
percaya, tentu menyayangkan. Bagaimana nggak, potongan diri yang terpotong!
Gua nggak
mempersalahkan masalah itu, bukan berarti acuh ataupun membenarkan. Salah ya tetap
salah. Cuma kebanyakan, orang-orang yang nggak terikat judge benar atau salah,
bahkan yang benar sekalipun, bisa menjadi salah karena salahnya mereka
menanggapi hal yang salah: suatu kesalahan.
Di luar itu,
pertama, kalau emang keluarga, nggak mungkin sampai mencoret, membuang anggota
keluarga.
Kedua, kalau
emang perusahaan, kita realistis kinerja aja. Dari dulu juga udah keteteran. Tertatih-tertatih soal personil dan alat. Arti labrak struktural
dan double job, apa? Dengan statement ini, berarti kan tanda berani. Berani menanggung
resiko. Tetap kuat atau malah hancur.
Ketiga, meski visi, “Bukan
organisasi yang butuh kita, tapi kita yang butuh organsasi!” secara tersirat,
bukan berarti mementingkan ego dan nggak mikir panjang. Organisasi itu wadah,
orang itu isinya. Nggak mungkin bisa dinamakan wadah kalau tanpa isi. Jikapun ada,
untuk apa wadah tanpa isi? Gunanya ada wadah buat apa kalau nggak buat diisi?
Kita tetap butuh orang, orang tetap
butuh skill. Bisa-bisa saja belum untuk skill dan karena kita juga menganut sirat
lain yang berbunyi, ”Organisasi lebih membutuhkan minat dan semangat yang lebih,
dibanding dengan skill lebih tapi minat dan semangat yang kurang!” dengan
begitu, mudah, to the point aja: lu pilih orang itu atau organisasi?
Gua tau itu penyakit.
Tapi gimana? Orang-orang terlalu
dungu dengan oligarki.
Keempat, selain
soal menonjol skill dan kepribadian, di masa krisis, organisasi malah
dijerumuskan ke apatis dan kritis. Kita tau, kita dahaga hangat dan tercekat
dingin, saat ada yang peduli meski hanya relawan, begitu mudahnya untuk
berburu-buru menjadikannya sampah. Siapa yang kotor? Siapa yang busuk?
Kelima, ini
sudut pandang pribadi gua untuk output diri sendiri. Dari sekian, baru orang
ini yang mendapat pengakuan. Gua akui, ia masuk di segala hal. Ia yang paling bagus alur bicaranya. Semua sub-bab: spiritual,
otomotif, pembangunan, politik, kuliner, akademis, sosial, motivasi dan mental
health, bisnis, sportaiment, hingga perasmaraan sekalipun. Setiap segala sesuatu hal yang dijadikan bahan
obrolan selalu terkesan renyah. Bagitu juga untuk obrolan-obrolan yang menuntut
pikir: proker atau kajian-kajian filsafat sekalipun.
Untuk cerita, ia gudang segalanya. Pengalaman
apapun seolah telah ia cicipi dengan penuh dan dalam. Bagi gua, ia adalah
tempat berteduh.
Punya skill professional, bagus
dalam sosial, kaya akan inovasi dan kreasi, ucapan maupun pemikiran, juga nggak
kalah soal ibadah, nyatanya orang sepertinya tetap dirubung takdir. Dan manusia
nggak kuasa soal itu.
Meski bagaimana pun, dengan hidup
yang seharusnya tetap berjalan, kita tetap manusiawi. Ada yang hilang dari diri, pergi, meski tetap
berjalan, ia menempuh jalan yang baru. Jalan lain. Bukan jalan kita, jalan yang
dahulu sama-sama.
Gua cuma mau
bilang, makasih kang. Makasih atas pertemuan yang sangat berharga ini. Gua belajar
banyak dari lu. Yang udah-udah, ya udah. Manusia emang nggak terlepas dari
salah dan lupa. Kita sama-sama jadiin pelajaran.
Tentu juga
untuk maaf. Yang sadar ataupun nggak, yang sengaja ataupun nggak. Maaf gua yang
masih kekanak-kanakan, belum hebat untuk proker, masih kalah untuk mikir, masih
jauh untuk pengalaman.
Maaf juga kalau
tiba-tiba mau mandi handuknya hilang dan kembali dalam keadaan basah karena gua
pakai dengan nggak bilang-bilang, juga nggak digantung lagi. Haha. Maaf ya,
Kang! Tenang, gua udah beli handuk, kok.
Gua nggak
pantas larut-larut dengan lu yang mencoba kelihatan tegar. Ya, sedih nggak
mengubah segalanya. Cukup, secukupnya.
Nggak ada
ucapan selamat jalan, Kang. Nyatanya antara lu dan gua masih sama-sama jalan. Cuma
beda jalan aja. Jangan pernah khawatir untuk rintang di perjalanan. Hidup akan
selalu adil, sangat bisa berterima kasih. Orang baik, pasti akan dikelilingi
segala hal baik.
Dan jika, suatu
saat, kita lelah berjalan, entah di tapak langkah yang ke berapa, coba kita
berhenti dan menepi. Entah lu yang nyamperin gua atau gua yang nyamperin lu,
nggak begitu masalah. Nggak begitu
penting. Yang penting, bagaimana kita
bisa kembali bertemu dan menghilang asing. Meski tetap kembali di jalan
masing-masing.
Nggak ada narasi penutup.
Nggak ada closing.
Kita tak akan
pernah berakhir!
Komentar
Posting Komentar