Khalayak
Sungguh anugerah tiada tara, begitu beruntung kiranya sekotak kamar yang sederhana pojok parkiran sepeda didatangi seorang doktor, pakar hukum, akademisi strata S3 yang berkeliling dunia dengan beasiswa, staf DPR RI, dan kabarnya digadang akan menjad ketua PWNU Sumatera Selatan: ia, Dr. Heriyono Tardjono.
Mungkin ada
pertanyaan, kenapa ia bisa datang ke kamar ini? Pertama, karena beliau itu
lulusan pondok ini. Kedua, karena beliau pernah ada project dengan kami untuk
dijadikan sebagai salah satu narasumber untuk mengisi rubrik majalah yang tulisannya
telah terbit dengan judul, “Dr. Heriyono: Pakar Hukum yang Bermula Dari
Kegabutan.”
Alasan
selanjutnya mungkin karena khalayak kamar ini cukup asyik untuk diajak
nostalgia dan yang cukup masuk wawasan, atau seenggaknya bisa nyambung obrolan
jika diajak ngobrol dengan seorang santri lulusan 21 tahun yang lalu.
Sehabis maghrib
datangnya Pak Heri, langsung disambut dengan kehangatan masyarakat kamar, lengkap dengan suguhan makanan minuman yang tak kalah
hangat: masih mengepul. Memang benar-benar jum’at barokah.
“Suatu saat
nanti, ada masa di mana kalian begitu rindu dengan pondok pesantren dan sangat
ingin kembali ke pondok pesantren.” Ucap beliau mengawali perihal
kedatangannya.
“Karena memang al
hawa ma nawa, adanya kerinduan karena sebab adanya perpisahan.” Lanjut
beliau.
Para manusia
akademisi yang berstatus mahasiswa dari berbagai jenjang semester itu, tetap
bersarung dan menunjukkan kesantriannya lengkap dengan rona wajah pribumi khalayak
bersahaja yang tentu sangat berbeda aura wajah tamunya yang berkaca mata: judge
stereotip trend orang cerdas. Cukup menunduk
yang memang karena ta’zhim atau juga karena insecure dengan perihal
kemaksimalan makna akademisi dan mahasiswa: di depan seorang doktor.
Meskipun apa
jadinya jika seorang doktor datang ke pondok dengan segala luasnya pengetahuan
terutama di bidang akademisi, tetap, cerita adalah obat yang paling menenangkan
untuk bernostalgia. Hanya pembicaraan ringan yang tentunya nggak lepas decak
kagum di setiap hati kami, atau segelintir yang menampakkannya lewat binar mata.
Dan gua? Jangan
ditanya, ini ladang tulisan! Haha.
Untuk memecah
ketercanggungan sekat paut usia mondok, apalagi bagi yang belum kenal, sebagai
tamu, beliau yang malah lebih interaktif. Para santri akademisi dengan wajah
yang kelihatannya masih butuh makan malam yang padahal udah makan sore itu, ditanya satu
per satu oleh beliau, perihal nama dan asal. Semuanya: mulai dari Banjarmasin, Palembang, Lampung, Brebes,
Wonogiri, Blitar, Mojokerto, dan tentunya Bekasi.
Hebatnya dari
semua wilayah-wilayah itu, beliau pasti masuk membahas tentang wilayah yang
dimaksud. Entah dengan sejarahnya, tokohnya, kultur sosial, hingga isu terkini
yang kesemuanya dapat anggukan dari orang yang terkait karena setuju. Atau
mungkin karena nggak dapat berkata-kata untuk menimpali wawasan yang anehnya
kita sendiri selaku orang wilayah itu malah nggak tau!
“Wah, kamu Jati
Asihnya, mana? Saya itu di Jati Warna!” Timpal beliau saat menanyai seorang
santri sholeh, ganteng, keren, cerdas, rajin, baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung itu yang pokoknya masya Allah deh: asal Bekasi.
Usut punya usut
ternyata doktor yang lahir pada tanggal 23 Desember 1985 ini kelahiran dan tumbuh
di Bekasi!
Masa kecilnya di daerah Kranji yang gua sangat tau
daerah itu. Untuk daerah Jati Asih-Jati Warna, dari kata “Jati”-nya aja dirasa
nggak perlu ditanya perihal jarak kedua daerah tersebut.
Lalu beliau
menyebutkan nama-nama tokoh, orang-orang sukses di Bekasi yang kebetulan alumni
pondok ini. Meski daerahnya familiar, anehnya, tokohnya nggak. Gua malah nggak kenal nggak tau.
Meski dirasa
beliau bisa saja mengulik wilayah-wilayah khalayak, tapi nanti temanya bukan
nostalgia: malah 3 SKS matkul Geografi!
Cerita mengalir
ke perihal sejarah kamar ini yang kata beliau dulunya itu adalah kebun
belimbing. Tentu, kami nggak tau soal itu.
“Dulu kamar
ini, lengkap dengan sederet bangunannya adalah kebun belimbing. Sampai di ujung
belakang sana, baru ada gedung sekolah.”
Interaksi
khalayak terjalin.
Pak Heri juga
memberi wejangan, atau mungkin berkonsep yang ditukilnya dari sebuah tokoh
dalam sebuah buku dengan berbahasa inggris yang tentunya nggak cepat gua
tangkap, sekalipun ketangkap itu samar dan entah bagaimana penulisannya yang
intinya seperti ini,
“Kekuasaan
(kewenangan) itu cenderung mengarah pada kehancuran. Keabsolutan kekuasaan
(kewenangan) sejalan dengan keabsolutan kehancuran.”
Yang mungkin
sederhana pemahamannya adalah bahwa semakin tinggi pangkat, semakin besar
godaan yang mengarah pada keburukan. Mungkin kita menyebutnya dengan zona
nyaman. Meskipun tentu ada preventif dan solusi
untuk kita tetap teguh pada prinsip dalam kekuasaan dan kewenangan.
Interaksi
khalayak terjalin.
Lalu beliau
juga membahas tentang pondok, cerita-cerita yang begitu lekat, terutama perihal
waktu beliau mondok dulu dengan segala kesehariannya.
“Futuhnya
santri pondok ini, anehnya, ketika mereka sudah pulang ke rumah!”
Beliau
menerangkan bahwasnya begitu lumrah melihat seorang santri ketika di pondok itu
biasa-biasa saja, belajarnya sedikit, tidur dan makannya banyak. Tapi, ketika
sudah di rumah malah menjadi orang-orang besar yang dibarengi dengan
contoh-contoh nyata teman seperjuangan beliau yang ada jadi
rektor, dosen, dokter, hakim, staf menteri, kiai, dan profesi hebat lainnya.
Interaksi
khalayak terjalin. Kali ini dengan senyuman anggukan yang bernada setuju, atau
mungkin terwakili. Cukup lapang.
Juga beliau cerita perihal KH. Halimi Turmudzi yang sangat
lekat di pondok ini terutama di kampus tercinta.
“Saya pernah
ada cerita spiritual dengan beliau.” Tutur Pak Heri mengakui.
“Dulu saya
sempat sowan ke KH. Halimi Turmudzi. Karena beliau sering kali tinggal di
kampus, saya langsung ke sana. Kamar beliau berada di ruang kantor dosen lama,
dekat pohon jambu. Karena sebagaimana lazimnya santri ketika sowan, tentu saya
nggak berani untuk mengetuk pintu. Hanya menunggu saja. Tidak di depan pintu,
tetapi di masjid.
Cukup gampang
mengetahui bahwa beliau itu ada atau tidak, tinggal melihat sendal beliau yang
terletak di depan kantor. Berketepatan sendal beliau ada di sana. Sambil
menunggu, saya berkata dalam hati, jika beliau itu berkenan untuk disowani
pasti akan ditunjukkan jalannya. Saya tetap diam, menunggu jauh di masjid.
Tiba-tiba saja,
pintu kantor itu dibuka oleh beliau. Hanya dibuka, tanpa beliau keluar. Saya kaget namun masih ngeyel bahwa itu kebetulan. Dan tidak lama pintu kembali ditutup.
Lalu, beberapa saat kemudian pintu itu kembali di buka dengan beliau yang
keluar menengok kanan kiri, karena nggak ada orang, lalu kembali masuk dan
menutup pintu. Sontak saya lebih kaget. Hingga saya kembali berkata dalam hati,
jika hal itu kembali terjadi maka sudah pasti bahwa beliau itu wali!
Tidak lama
setelah itu, pintu kembali dibuka, beliau keluar, menghadap masjid, dan
memanggil saya “rene, lek!” masya Allah.”
Sontak kami
tertawa mengiringi tawa beliau yang bernada terkesan takjub.
“KH. Halimi
Turmudzi itu adalah kiai yang jenazahnya itu disholati oleh Habib Umar bin
Hafidz saat multaqa di Aula Muktamar.” Lanjut Pak Heri.
Tak ayal jika
beliau itu adalah orang yang pertama kali dimakamkan di belakang masjid
Al-Hasan yang bahkan tanahnya itu diwakafkan untuk beliau. Juga namanya dijadikan komisariat kampus tercinta.
Hingga
cerita-cerita ajaib seperti itu pun berlanjut. Seperti bagaimana Yai Imam bisa
menghilang yang awalnya dilihat sedang ada di aula, saat mengalihkan pandangan
dan kembali melihat, bahwa beliau sudah ada di rumah.
“Santri dulu
itu masih sering kali melihat dan mengalami kejadian para Yai yang seperti
itu.” jelas Pak Heri.
Interaksi
khalayak terjalin.
Di akhir-akhir,
Pak Heri malah membahas kematian. Mungkin cukup gelap dan pahit. Walaupun kiranya
nggak begitu masalah dengan kenyataannya dibarengi dan dilanjut dengan pembahasan nikah setelahnya yang tentu
cukup terang dan manis.
Yang ini gua
nggak mau cerita lah. Cukup bisa dibayangkan bagaimana pola pikir seorang pakar S3 yang sebegitu luas dan dalam pemahamannya, meski membahas 2 hal tersebut.
Nggak hanya
perihal kematian dan pernikahan, sejatinya pemikiran dan cara beliau
mengatakannya sungguh amat hebat dan selalu berhasil mendapatkan decak kagum
karena memang apa yang beliau sampaikan itu adalah hal-hal yang jarang sekali
kami dengar.
Malam nostalgia
itu ditutup dengan makan bersama dengan kenyataannya beliau yang ngerowot dan
tentunya lebar nampan itu berisi nasi jagung dengan ‘lauk yang tidak
memberatkan seorang santri dan juga tidak merendahkan seorang doktor.’
“Kamu sini,
ikut makan!” Ajak beliau ke gua, tepat pada nampan yang sudah dikelilingi
khalayak dengan tatapan mereka yang mengatakan, “Lah, lu kan nggak
ngerowot, Bat!”
Eits, ingat:
diniatin tabarukan!
Gua cuci
tangan, lalu ikut nyelip di antara khalayak yang sejatinya pun nggak semuanya perowot penjagung.
Kebayang nggak
sih lu, gimana rasanya makan satu nampan bareng doktor?
Tapi, ingat!
Yang digaris bawahi bukan satu nampannya, tapi bareng doktornya!
Apapun itu semoga
berkah, semoga berkah.
Aamiin🤍
BalasHapus