Founder

Cukup membingungkan, tentu kaget, menanggapi kabar ini: berangkat ke Kebumen.

Tiba-tiba saja, hari itu, Pimred mengabarkan sebuah hal, perihal project haul di suatu pondok pesantren di Kebumen yang kebetulan masih dimiliki seorang alumni. Hanya sebatas itu. Untuk ngapainnya, nggak begitu jelas: “penting, budal’o!” katanya tegas.

Menerawang untuk apa dan bagaimana, perihal acara haul. Diutus berdua membawa label ini cukup berspekulasi kata kenapa: untuk megang alat, kenapa nggak Si Bakwan karena bidangnya? Untuk tenaga, kenapa nggak Si Said karena pendekar silat? Untuk finansial, kenapa nggak Si Abidzar karena anak DPR? Untuk nulis pun, kenapa nggak Si Rohman karena jelas ia koordinator literasi? Probabilitas value yang muncul: mungkin karena gua yang tukang begadang? Itu poin yang berusaha gua tekankan dan husnudzoni.

Sedangkan, untuk partner, Kang Haidar, jelas SOP-nya sebagai top player editor.

Dengan perbekalan seadanya, gua bangun positivity sepenuhnya: diniati belajar, jalin silaturahmi, tambah pengalaman, bangun relasi networking, Kebumen adalah pencapaian jejak langlah baru yang sepertinya menyenangkan.

Kereta Malabar jurusan Kediri-Kebumen berangkat dengan kecepatan yang entah berapa.

Di kereta, ada kejadian cukup lucu dan langka, mungkin juga menyebalkan. Bagaimana perasaanya ketika melihat seorang lelaki nolep berideologi anti perempuan yang lebih mencintai kabel HDMI, harus melawan kodrat takdir dengan kenyataannya ia sebangku kereta dengan 2 orang perempuan sekaligus selama perjalanan dengan bergiliran?

Gua cuma bisa menahan ketawa dalam hati ketika melihat orang yang bisa-bisanya berkeringat di dalam gerbong kereta yang full AC, ditambah dingin sikap kakak introvert berhoodie coklat susu dan kakak muslimah berhijab bermasker putih. Ia hanya membolak balik scroll dan WA yang sepenuhnya nggak ada chat masuk. Haha, selamat menikmati perjalanan sampai 5 jam ke depan!

Gua yang duduk di baris kiri dalam lokal 7A-7B, sebangku dengan seorang lelaki yang kayaknya seumuran mahasiswa semester akhir yang nggak gua coba pastikan karena takutnya akan berkelanjutan perbincangan selama perjalanan, gua malas, ini momennya: menikmati kesunyian, membaca buku, dan sesekali melihat keluar jendela.

Untuk lucu dan langka udah diperuntukan untuk Kang Haidar. Perihal yang mengesalkan, kok tiba-tiba gua jadi rajin batuk di saat yang sama gua juga sedang rajin baca buku. Padahal di sebelum naik kereta fine-fine aja. Untungnya tuh abang-abang, di tengah perjalanan tertidur pulas sampai turunnya gua di Kebumen: nggak begitu sungkan untuk berbatuk ria disela membaca 2 buku pegangan sebagai solusi tanpa hp.

Mobil berlabel Pondok Pesantren Quantum Qolbu udah terparkir bersama dengan 2 orang yang menunggu, bersalaman, masuk, lalu basa-basi mengalir aja di tengah malam yang semakin melarut.

Sesampainya di pondok, kami disambut beliau: Gus Nahdlo, seorang putra kiai, sarjana hukum, alumni pondok, seseorang yang namanya sering disebut sebagai percontohan jurnalistik, dan tentunya Sang Founder!

Di sebuah pondok pesantren di daerah Tresnorejo, Petanahan, Kebumen itu membawakan sebuah malam yang menyentuh. Berbincang hangat di tengah dingin, seraya makan bareng satu nampan besar.

Sejujurnya, Gus Nahdlo itu terpaut jarak 6 tahun dengan jenjang usia gua yang cukup disyukuri untuk ada celah pemantasan status kakak kelas. Meskipun toh, gua tetap memanggilnya “gus”.

Setelah wejangan panjang, lama, lagi ternikmati yang hanya sebagai konsumsi pribadi. Gua serasa menciut di hadapan pro player dan founder. Begitu beruntung berkesempatan bertemu dengan sosok legenda yang sebelumnya hanya gua kenal nama dan kiprahnya: sekarang malah di depan mata!

Malam itu, 2 orang tamu yang agak terkesan mengganggu jam istirahat seorang gus hingga melek tengah malam, dipaksa disudahi untuk beranjak, diantar istirahat ke kamar gus-nya: eksekutif room. Tentunya nggak mungkin sekasur, meskipun diperbolehi, gua dan Kang Haidar lebih memilih gelar karpet berbantal berkemul selimut: maklum, kulit terasa kaget dipeluk udara AC. Mungkin asing.

Hari-hari selepas itu, gua dan Kang Haidar udah mulai melaksanakan tugas bantu-bantu untuk suksesnya acara Haul dan Haflah Khotmil Qur’an. Disclaimer, Pondok Pesantren Quantum Qolbu itu berbasis Salaf Qur’ani. Pondoknya para penghafal Qur’an.

Dengan kenyataannya baru 3 tahun perintisan berdirinya pondok itu, dengan santri yang hampir mencapai 300, udah kehitung hebat dan sukses. Meskipun ada beberapa hal yang krisis efisiensi yang tentunya demi relevansi, seperti masih membaurnya interaksi santri putra dan putri. Mereka bersatu padu untuk suksesnya pelaksanaan acara: meski double job, antara menjadi panitia dan peserta. Semangat mereka sungguh hebat.

Dan ini nih, mengingat Kang Haidar cukup masuk andil dengan basic editingnya untuk acara ini yang serta merta jelas kinerjanya: apa yang dikerjakan, partner, dan segala fasilitas penunjang. Lah gua sebagai penulis, apa yang mau ditulis? Sepenting itu untuk mendatangkan penulis amatiran jauh-jauh dari Jawa Timur dengan rela membayarkan tiket keretanya untuk andil acara ini?

“Gus, ada kerjaan apa buat saya?” Tanya gua mencari andil. Jangankan partner ataupun fasilitas penunjang, kinerja aja gua nggak tau mau ngapain?! Ini 7 hari loh!

“Kamu bantu-bantu menempel stiker buat piala-piala di kantor.”

“Siap!”

Sesampainya di kantor yang dimaksud, ternyata isinya perempuan semua! Kakak-kakak penghafal Qur’an yang terdengar aneh dari aksen bicaranya dengan diksi, “kepriwe mbok?”, “aja kaya kuwe!”, “enyong kencot!”

Sejujurnya, gua, serasa, masuk warteg: cukup merinding.

Tapi, entah, tenggorokan menarik batuk-batuk yang berkepanjangan yang padahal gua nggak minum es atau mengkonsumsi hal manis lainnya. Lantas, hal manis apa yang membuat gua terbatuk-batuk? Yang pasti, nggak seperti yang kalian pikirkan! Haha.

Kala itu, mungkin ada hampir 50 piala yang stikernya gua guntingin terlebih dahulu, lalu menempelkannya di wajah piala tersebut. Sekilas gua melihat kategori juara-juara dari satu sampai tiga itu. Khotimin Juz Amma, Surotssab’ah, 5 Juz, 10 Juz, 15 Juz, 30 Juz, dan juara-juara kelas.

Gua menerka, gimana rasanya ketika piala-piala tersebut ditujukan untuk gua. Bagaimana perasaan dan pengekspresian wajah yang harus gua tampilkan? Bagaimana lagi perihal tanggapan bangganya orang tua atas jaminan surga kelak?

Gua yang cuma berkesempatan megang untuk menempel stiker aja udah nggak karuan, apalagi mereka. Semoga dapat baiknya.

Dan hari-hari selanjutnya cukup bersyukur untuk sekedar ada kegiatan gerak untuk andil meski dari hal-hal yang nggak disuruh, dari hal-hal yang gua ikut-ikut nimbrung menyibuk dengan orang-orang sibuk.

Hari pertama di hari selasa menempel stiker piala.

Hari rabu membuat kotakan snack.

Hari kamis menata bangku.

Hari jum’at kepanitiaan.

Hari sabtu kepanitiaan.

Hari minggu kepanitiaan.

Mungkin itu tugas inti yang cukup andil dan menyita banyak waktu. Secara pesertanya banyak, dan tamu undangan lebih banyak, proyeksinya sampai 3000 hadirin!

Meski hanya perihal membuat kotakan snack atau menata bangku, cukup kerasa untuk saraf-saraf yang mengencang. Dan untuk kepanitiaan, seperti tim lapangan untuk mengatur dan menyambut tamu undangan, wali santri, ataupun jama’ah. Kadang juga disuruh angkat-angkat, urusan panggung, hingga apapun yang dibutuhkan acara.

Untuk acaranya sendiri, ada 3 prosesi: mahakarya di malam jum’at, serangkaian haul di hari jum’at, dan puncak haflah khotmil Qur’an di hari minggu.

Mahakarya sendiri adalah acara yang mewadahi pentas seni santri, mulai dari pesembahan tarian opening, tarian Putri Kandita mengenai sejarah Nyi Roro Kidul, drama Fir’aun dan Keimanan Siti Masyithoh, pidato bahasa arab dan inggris, hingga seni musik.

Yang cukup menarik perhatian, selain kesemuanya, adalah perihal pidato bahasa inggris yang dibawakan oleh seorang anak 1 Tsanawiyah yang sangat lancar, percaya diri, lantang, dan tanpa teks. Gua yang terpukau plongo nggak paham, pokoknya tuh pidato perihal pembahasan Al-Qur’an.

Mungkin juga perihal drama Fir’aun dan Siti Masyithoh yang dibakar hidup-hidup beserta sekeluarga hanya karena mampertahankan keimanannya. Bukan hanya perihal busana, wardrobe, hingga tata letak panggung bervideotron. Tapi dari skill mereka memerankan pertokoh, sangat membangun dan berhasil membawa suasana.

“Emang, nggak diragukan lagi perihal perempuan dan drama: jagonya!” Batin gua nyeletuk.

Acara ditutup dengan ucapan terima kasih dan pemberian penghormatan dari para konseptor dan inisiator Mahakarya kepada dewan masyayikh.

Lalu, di hari jum’at ba’da dzuhur, adalah serangkaian haul yang kesemua acara diisi oleh para dewan guru, termasuk yang menjadi MC. Hingga, di acara inti mauizhotul hasanah disampaikan oleh KH. Achmad Chalwani, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Berjan.

Entah kenapa naluri insting keluar tanpa sadar. Nggak mengenal tempat dan keadaan, gua malah nyari kertas dan pena untuk duduk anteng menyimak apa yang disampaikan oleh beliau, dikira acara pondok sendiri. Dengan hal itu, tentu harus menanggung resiko gua yang tetap panitia lapangan ketika acara: gua harus tetap mondar-mandir kepanitiaan, tulisan itu nggak sepenuhnya sempurna tertulis dengan tenang.

Tapi, ada satu hal yang gua dengar, catat, dan mengena.

“Ilmu itu diberikan kepada kaum muda. Masa muda adalah masa diberikannya ilmu!” Ucap beliau menggebu-gebu menyatir hadist Nabi. Lalu penjelasan dan korelasi ilmu dengan santri selaku kaum muda.

Di awal kedatangan Yai Chalwani, gua sempat mendendam karena nggak bisa bersalaman dengan beliau sebab pengawalan ketat. Di akhir perpulangan, gua harus dapat!

Dan terbukti, masya Allahnya beliau yang berbaju putih bersurban hijau bergaris merah dan kuning itu gua lihat begitu dekat, menerobos orang-orang, menjulur tangan yang sepenuhnya masih memegang pulpen dan kertas yang nggak tercatat lengkap, gua bisa meraih tangan beliau dan bersalaman: gua krenteg do’a yang baik-baik.

Begitu juga saat hari minggu di acara puncak, menjadi hal yang sangat berdebar. Bagaimana rundown yang nggak sepenuhnya berjalan semestinya dengan berhalangnya Gus Reza sebagai tamu undangan inti untuk mengisi mauizhotul hasanah, acara tetap berjalan selaras menjunjung porsi kualitasnya dengan menghadirkan: Cak Mad dan Ning Sheila!

Seketika jiwa kesantrian gua lebih, tambah bergejolak, tentu desir: begitu lekat.

Sontak sedatangnya beliau langsung mendapat antusias dari hadirin. Terutama dari para ukhti lover-lovers Ning Sheila yang menunggu dengan militan. Gua yang sebagai penerima tamu, menjadi kesempatan besar untuk melihat lebih dekat dan bersalaman dengan Cak Mad. Tawajuh itu memberikan spirit tersendiri. Eh, bapak ngapak yang ikut berpanitia ria samping gua malah menyikapi lain.

“Ning Sheila, koyok wong Palestina, yo!” Ucapan itu dibalut dengan tawanya.

Keterkaguman gua dengan Ning Sheila yang hanya menunduk sepanjang jalan, seketika buyar oleh asumsi di luar dugaan itu.

Cak Mad, sebagai sosok yang sering kali, di selewat ndalemnya, dari pintu, gua lihat di setiap sore dengan beliau yang sedang menyimak hafalan Al-Qur’an para hafidz-hafidz.

Dan Ning Sheila, selain dalam konten-konten isu keperempuanan, sesekali gua hanya menunduk di lewatnya beliau sepulang berangkat mengajar dengan menaiki sepeda listrik berwarna kuning.

Dirasa sangat tepat jika pada acara pondok Qur’ani seperti ini mengundang sosok yang sangat Qur’ani pula.

Ning Sheila berkesempatan membaca do’a untuk para khotimin-khotimat, sedangkan Cak Mad yang memberikan mauizhotul hasanah. Lagi-lagi, santri berkepala batu ini masih sempat-sempatnya mencari celah menyimak mauizoh itu, untuk bermain pulpen di atas kertas. Dan tentu saja bisa dipastikan, catatan itu akan bernasib morat-marit ditabrak status panitia yang di 1 jam pertama dibukanya acara, ribuan bangku telah terisi penuh oleh tamu undangan dan jama’ah: membludak.

Cukup beruntung dengan beberapa hal yang tercatat, seperti 3 kewajiban orang tua kepada anak yang hanya mampu gua tulis 2, yaitu dengan memberi nama yang baik dan mengajarinya Al-Qur’an.

“Nafsu itu condong kepada hal-hal yang enak!” Juga menjadi salah satu ucapan beliau yang tertulis, sangat mengena.

Untuk bersalaman, sedatangnya beliau dan pulangnya, gua dapat bersalaman. Tentu hanya pada Cak Mad, Ning Sheila hanya berjalan menuduk dengan sesekali membalas salam kaum hawa.

Acara yang sangat hebat, sangat berkesan dan bermanfaat.

Selain perihal acara, tentunya banyak orang yang gua temui. Karakteristik yang berbeda menimbulkan kesan dan momennya tersendiri untuk dikenang dalam rihlah ini.

Pertama, sebutlah Kang Sotak. Karena ialah orang yang pertama gua temui di stasiun dan kenal. Sebenarnya namanya adalah Rizky Priyatno. Tapi, dunia pesantren selalu punya caranya tersendiri untuk membuat seseorang menjadi akrab. Termasuk dengan laqob-laqob nyeleneh.

Sebelum di Pondok Quantum Qolbu, ia adalah alumni pondok ini. Bagian Departeman Kesehatan. Orang yang humble, kocak, dan selalu bisa membangun suasana. Dalam kepanitiaan, ia orang yang sangat sigap dan profesional. Hingga, hebatnya, kelas asuhan anak didiknya menjadi kelas diniyah terbaik se-Pondok Quantum Qolbu. Gua belajar banyak darinya.

Kedua, Kang Hasan. Selain Kang Sotak, ia orang kedua yang menyambut kedatangan gua dan Kang Haidar di stasiun: menyetir. Ia orang Surabaya dan masih menjadi keluarga pesantren di Jombang: ia Gus. Meskipun begitu, logat aksen etanan ke-Surabayaannya seketika hilang, terkubur, berganti dengan ngapak-ngapak Kebumen yang cukup lucu untuk orang sepertinya. Ia juga khotimin 5 juz.

Gua sempat berpartner perihal mencari dan membentuk bambu-bambu, membuat bendera-bendera acara. Hingga, jalan-jalan ke kota, di segar pagi, mengembalikan alat perstreamingan itu.

Ada hari senggang di hari sabtu untuk persiapan dan pemantapan di puncak acara. Mulai dari tempat, rundown, hingga para peserta yang akan menampilkan hafalan-hafalannya. Hari sabtu ini pula yang mungkin menjadi puncak kesan terbaik gua.

Sekuatnya gua begadang karena tidur yang cukup di hari sebelumnya, pagi itu gua melek dengan penuh keterbingungan. 2 buku yang sengaja gua bawa untuk mengisi ketersendirian sepi jiwa, nyatanya tamat lebih awal.

Pagi-pagi itu, Kang Hasan mondar-mandir begitu gelisah, atau mungkin malah sudah menyibuk sepagi itu. Mengobrolnya ia dengan beberapa orang, lalu mengahadap gua.

“Mas, ikut saya, yuk balikin kamera!”

“Ayo.”

Gua yang nggak ada keberatan karena memang nggak ada kegiatan, tidur nggak ngantuk, baca bukunya tamat, sarapan belum matang. Hal lain yang mengalasi, karena ini kesempatan gua untuk keluar pondok, menikmati suasana Kebumen di pagi hari.

Dengan motor scoopy, kamera HD streaming dan beberapa kabel siap gua pangku dengan Kang Hasan yang menyetir. Ternyata daerah yang bergeografi dekat laut itu, merupakan lumbung padi dengan sawah yang bertebar sejauh mata memandang berhiasi tinggi pohon kelapa yang menjulang.

Di sepanjang perjalanan, pembahasan menjadi lebih mendalam antara gua dan Kang Hasan. Seenggaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang saling memperkenalkan latar belakang: mulai dari daerah rumah, kepesantrenan, bangku kuliah, hingga sejarah-sejarah dari daerah sekitar.

“Sebenarnya Pondok Pesantren Quantum Qolbu ada hubungan apa dengan Pondok Darussa’adah dan Pondok Mifathul Ulum?” Tanya gua yang membingung perihal 2 nama pondok itu yang kerap kali disebut saat acara haul.

“Pondok itu masih ada kaitan keluarga, tepatnya dari jalur keluarga ibu nyai.” Jawab Kang Hasan mengawali sejarah yang memanjang.

Lalu, lajur motor kami melewati 2 pondok itu, membuat gua bisa melihat dan menyaksikan dengan jelas suasana pondok yang berada di tengah sawah itu.

“Sempat ada anggapan, bahwa belum afdhol santri, belum bisa dikatakan mondok kalau belum pernah mondok di Miftahul Ulum.”

“Kok gitu?”

“Karena Pondok Miftahul Ulum itu pusatnya ilmu nahwu shorof.”

Obrolan masih sesekali terajut hingga sampainya kami di tempat yang dituju, tempat yang katanya berada di kota, di kota yang nggak sampai taraf ekspetasi gua yang mungkin ternyata masih terkesan “kedaerahan” untuk sebuah kota.

Nggak ada yang begitu mencolok perihal kultur sosial budaya dari daerah yang gua lewati, begitu pun dari ramainya pasar Dorowati untuk sekedar menerka makanan atau hal apa yang menjadi ikonik dan khas Kebumen?

Sosok selanjutnya, yaitu Mbah Alfin, atau mungkin Kang Alfin. Perihal mbah, itu adalah sematan orang sepondok, termasuk dari Gus Nahdlo, Kang Haidar, hingga penghuni pondok santri putra-putri. Gua yang baru kenal, nggak mau terlihat sok akrab dengan ikut-ikutan panggil semat “mbah” itu. Kata “kang” dirasa udah cukup normatif, untuk orang yang lebih tua.

Kang Alfin itu bagian media yang tentunya menjadi partner langsung dengan Kang Haidar. Bagi gua, Kang Alfin hanya sebatas teman ngobrol dan berkesempatan ikut circle menjadi 3 serangkai untuk urusan tim prasmanan.

“Kang, gua ngefans sama rambutnya!” Aku gua perihal rambut gondrongnya Kang Alfin yang terlihat gagah.

“Ah, rambut kusut begini.” Katanya.

Mungkin ada satu kesan yang membuat gua terlihat, menjadi pembuktian bahwa gua benar-benar anak media. Untuk sebuah malam di sebelum acara puncak di pagi harinya, ada 170 nama khotimin yang belum diedit, membuat vidio: sama sekali.

Merangkai vidio perorang, memasukan keterangan alamat dan orang tua, suara narasi, hingga pentransisian dan efek. 170 untuk dihadap 2 orang, sangat nggak mungkin untuk waktu semalaman sampai mepetnya pagi.

Kang Haidar sontak minta tolong, atau mungkin merekrut, atau mungkin memberi kesempatan bagi gua untuk menunjukkan jati diri, dengan dapat bagian peserta khotimin 5 Juz, sebagai kelompok yang paling banyak: Kang Haidar bagian 10 juz, 15 juz, dan 30 juz. Sedangkan Kang Alfin bagian Juz Amma dan Surotussab’ah.

Segala software tingkat tinggi untuk para pro player, yang awalnya hanya bisa geleng-geleng karena terlihat cukup membingungkan dengan banyaknya tools, itu diajarkan ke gua. Dengan the power of mepet, segala per-adobe-an itu nyatanya nggak sehoror yang gua pikirkan. Merupakan suatu pencapaian baru untuk adobe premiere pro dan adobe after effects.

Sampai paginya, acara puncak pada haflah para khotimin itu, lancar alhamdulillah. Gua cukup merasa keren pada saat video khotimin 5 juz hasil usaha gua ditampilkan di videotron.

Tanpa diduga, ternyata Kang Alfin adalah hafidz 15 juz! Masya Allah.

Gua juga sempat mengenal sebuah kakek-kakek pengabdi masjid, namanya Mbah Suwono. Dengan kenyataan air pondok itu cukup asin karena dekatnya jarak pondok pada pesisir laut, anehnya masjid itu airnya tawar. Dan tentu aja menjadi pelarian seorang lelaki yang masih culture shock akan asin itu, untuk pelarian mandi, sholat, atau sekedar ngadem dari kipas-kipas masjid itu.

Di suatu ashar, serehatnya dari kepanitiaan, gua mandi, berniat melanjut sholat ashar meski sepenuhnya belum masuk waktu ashar.

“10 menit lumayan nunggu adzan sambil ngadem!” Batin gua saat itu, saat masjid sepenuhnya masih sepi.

Lalu datanglah sosok kakek itu, seorang kakek yang gua perhatiin nggak pernah absen sedari subuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya’nya sholat jama’ah masjid itu. Ia ikut terduduk, sepertinya juga menunggu ashar.

“Santri mriki?” Tanyanya dengan suara santun, memecah keheningan.

“Mboten, Pak. Saya dari Kediri. Nderek hurmat haul mawon.”

“Oh. Asalnya pundi?”

“Bekasi.”

Ia terdiam sejenak, seperti menarik sesuatu dalam ingatannya untuk menerawang jauh ke belakang.

“Saya dulu juga pernah di Bekasi, waktu masih muda. Selepas SMA saya pernah kerja di Cikarang sebagai kontraktor proyek.” Ceritanya penuh gebu, termasuk berubah bahasanya menjadi Indonesia. Sampai panjangnya cerita itu, gua hanya bisa berlapang dada: kembali menemukan sisi diri gua dari sebatas kata “Bekasi”.

"Udah masuk ashar, silahkan adzan!" Ia tersenyum seraya menunjukan arah pengeras suara.

Gua membalas senyum itu, sebelum irama merdu yang bertalu-talu: haha.

Sehat selalu buat Mbah Suwono!

Entah kenapa, di manapun tempat dan bagaimanapun keadaannya, gua selalu punya chemistry dengan bocil-bocil kematian!

“Kamu siapa namanya?” Tanya gua pada seorang bocil yang sedang memperhatikan tukang lighting.

“Ali.”

“Kelas berapa?”

“Kelas 5.”

“Udah hafal berapa juz, Qur’annya?”

“Baru Juz Amma’.”

“Juz Amma? Serius? Keren banget dong!” Coba lanjutin, Kalla saya’lamuun…” Tiba-tiba aja gua menghafidz Qur’an RCTI.

“Summa kalla saya’lamuun.”

Haha, berarti dia benar-benar hafal!

Begitu juga dengan Zaka dan 3 serangkai pecicilan: Jessica, Kayla, dan Nisa. Melihat mereka di suatu pojok pohon-pohon bambu kala hampir maghrib, membuat gua penasaran.

Dengan sepenuhnya nyeker, gua menghampiri mereka.

“Lagi, apa?”

“Lagi mancing, Kang!” Ucap Kayla yang bisa-bisanya terduduk sabar di tepi sungai kecil.

“Awas kamu jatuh, emang ada ikannya?”

“Ada.”

Aku boleh ikutan, nggak?

“Boleh.”

Kayla memberikan pancingannya ke gua, lalu berjongkok ria di samping Zaka yang sepertinya nggak kenal keram. Sambil mengobrol dan menikmati riuh aliran sungai itu, beberapa pasang mata terlihat heran melihat gua dengan circle pemancing itu: “kok bisa seakrab itu?” mungkin.

Sampai datangnya maghrib, gua tetap nggak dapat seekor ikan pun. Memang intuisi sangat diperlukan dalam memancing: dan gua paling nggak bisa untuk soal kegabutan yang berkepanjangan seperti itu!

Juga tentang Kang Ulum. Ia seorang mahasiswa semester akhir di sebuah kampus di Wonosobo, teman dari Gus Yabnal, -adik dari Gus Nahdlo. Karena statusnya adalah orang bawaannya Gus Yabnal, sebagaimana gua yang dibawa Gus Nahdlo, kesamaan nasib itu cukup mudah untuk akrab. Hingga membawa gua dan Kang Ulum menjadi relationship goals, di setiap kesempatan. Seperti menaiki-menurunkan bangku dan mimbar ke panggung.

Ia seorang gamers yang sangat menyukai baca komik online dari hp-nya yang seolah nggak rela dilepas barang sejenak. Usut punya usut, ternyata ia juga seorang Gus!

Aaah, banyak sekali gus-gus yang nggak terduga di pondok itu! Sebagaimana juga seorang Gus lainnya yang gua kira udah umuran kerja, ternyata masih kelas 11 SMA.

“Muka saya kelihatan tua ya, Mas?” Tanya-nya di awal pembicaraan.

“Nggak kok, karena badannya aja yang kelihatan besar tinggi.” Jawab gua mencari alasan yang logis: karena memang badannya besar tinggi, meskipun perihal wajah itu nggak sepenuhnya salah.

Kemudian, sosok berikutnya, tentunya Arif Nur Hidayat. Nggak gua panggil kang, karena ternyata ia adik kelas satu tahun di bawah gua. Cuma bedanya ia nggak lanjut kuliah. Hanya fokus mondok.

Cukup membagongkan untuk kesan pertama pertemuan: bisa-bisanya gua disangka orang Thailand!

“Mas, sampean kok mirip orang Thailand! Mirip Arm Rayong, joki motor.” Ucapnya tanpa beban, dengan pengekspresian wajah yang menerka kemiripan itu.

“Sawadikhaaaap, ling teng leang!” Jawab gua meng-Thailand asal dengan aksen yang meyakinkan: puas lu?

Ia malah ngakak dan bodohnya, ia semakin mantap kalau gua orang Thailand!

Sebelumnya, hal yang nggak habis pikir, kok bisanya ia nyecroll sampai ke joki dan Thailand! Emang nggak ada konten kreator lain. Atau seenggaknya, kan Indonesia masih banyak joki, juga joki-joki yang ngonten. Kenapa harus jauh-jauh ke Thailand?

Tapi, dengan begitu, Arif adalah orang yang paling dekat dengan gua. Begitu akrab, hingga obrolan apapun terkesan renyah.

Buat project, ia orang sibuk. Jadi, setiap hal gerak yang gua minta untuk mengisi kegabutan, ia selalu punya solusi.

Seperti saat itu, saat selepasnya gua pulang dari kota bersama Kang Hasan. Ba’da dzuhurnya, Arif terlihat mondar-mandir mencari tas dengan berbagai kertas yang tertumpuk.

“Ke mana, Rif? Info gawean!” Ucap gua yang cukup memberhentikan grusuhnya sejenak.

“Yuh, melu aku!”

Tanpa ba-bi-bu, gua iyain aja. Kirain masih dalam lingkup pondok, yang aslinya gua mau mandi, sarapan, dengan cukup capek duduk lama di motor selepas ke kota bareng Kang Hasan: ia malah mengambil 2 helm.

“Kayaknya bakal jauh, nih!” Batin gua spontan.

Tas yang udah ketemu dan sepenuhnya terisi kertas-kertas yang entah apa itu gua handle dengan menimbang ia yang menyetir motor. Ujug-ujug tiba-tiba moro-moro, “Rif, sekalian bayar DP booking hotel beliau!” Kang Sotak memberi perintah, untuk mempersiapkan administrasi hotel yang akan dipakai transit Cak Mad dan Ning Sheila.

“Aqna aja tuh, Mas, yang orang kota. Inyong ora paham!”

Gua yang dikorbanin.

Kadang gini nih. Orang menjadi mudah terkena stigma karena stereotip yang nggak sepenuhnya bisa dimutlakan. Hanya karena gua yang terkena stigma “orang kota” nggak semua stereotip orang kota melekat sama gua. Termasuk perhotelan ini. Ngapain juga gua ngehotel? Bukannya harta yang paling berharga adalah keluarga? Bukannya rumah adalah istana keluarga? Sejujurnya, baru itu gua bersinggungan dengan perhotelan.

Tapi, apa masalah dan susahnya untuk afirmasi, konfirmasi, dan konsolidasi? Itu bagian jiwa jurnalis!

Bismillah majreha, ngeng ngeng ngeng!

“Eh, Rif, helmnya tukeran apa!” Konsolidasi ini ternyata lebih awal, perihal gua yang dapat helm yang CRF dengan motor yang beat: kontradiktif yang sangat degradatif.

“Orang ganteng mah pake apa aja tetap ganteng!” Ucapnya ringan.

Bisa-bisanya gua tanpa perlawanan: aaah!

Tujuan pertama ialah tukang foto copy. Ada beberapa berkas yang harus di foto copy, diprint. Kayaknya sih proposal. Anehnya tuh, selama gua bareng Arif, seperti sihir, ia bisa akrab dengan semua orang yang ia temui.

Perjalanan berlanjut, ke kota, begitu jauh, melihat Kebumen secara untuh dengan modernisasi yang lebih realistis. Melihat sekitar, melewat masjid agung dan alun-alun, menikmati perjalanan, adalah hal kecil yang sangat gua sukai selain beraksara dan hujan.

Sampai pada sebuah bangunan tinggi besar menjulang gagah bernama “Hotel Trio”. Mengambil jalur kiri, menaiki basement, menekan tombol parkir, dan memasuki sebuah mall yang terhubung satu bangunan dengan hotel itu.

Kenapa semua mall, di Bekasi atau di Kebumen ini, memiliki aroma yang sama? Aroma yang begitu khas.

Mutar-muter berkeliling, menaiki eskalator, menunjuk sebuah bioskop.

“Biasanya aku lek nonton bioskop neng kene!” Akunya kayak orang keren.

“Film sekarang bagus-bagus loh! Apalagi yang horor.” Gua mencoba antusias.

“Mau nonton, tah?” Tawarnya.

“Ah, nonton bioskop kok sama cowok! Apalagi cowoknya modelan kayak lu, merusak mood estetika naluri perfilman.”

Ia hanya tertawa, meski malah ngakak dan di mall seramai ini. “Kok gua nyesel ya ikut nih orang? Malu-maluin banget!”

Dan yang lebih malu-maluin lagi, apa coba? Ternyata ia nggak tau lewat mana arah masuk ke hotel! Berarti, sedari tadi mondar-mandir mall, ngapain?

Kirain gua dengan ia yang lebih paham Kebumen, ditambah pengakuan pernah nonton bioskop di mall ini dan menjadi panitia inti acara, udah sempat tau di arah mana lokasi hotel. Ah, taulah Rif!

“Aku durung tau neng hotel kene!” Cerocosnya yang gua jawab “bodo!” dalam hati.

Akhirnya nanya orang mall dan dapat jawaban.

Seluk beluk, balik lagi ke lantai bawah, hingga ketemu jalan lobby masuk ke hotel. 2 orang lelaki bersarung berkemeja berkopeah, cukup lusuh debu panas jalan, terlihat aneh bagi petugas hotel. Naik lift, menuju meja resepsionis dan berafirmasi berkonfirmasi berkonsolidasi mengutarakan maksud.

Pembayaran DP untuk kamar executive room, menandatangani bukti pembayaran, dan disuruh menunggu untuk pemprosesan showing room. Gua menunggu di gazebo berlantai kayu, berjendela kaca, menghadap view Kebumen dari ketinggian. Si Arif malah fota-foto.

“Ig sampean opo toh?”

Gua yang nggak ada kepikiran apa-apa, memberikan username itu.

“Wis tak follow, wis tak tag!”

Apa lagi nih bocah, cukup mengganggu nuansa ketentraman pemandangan itu. Gua yang udah puasa medsos 6 hari, mencoba minjam hp-nya Arif untuk login, sekalian pengen tau apa yang ditag.

Cukup menarik, hingga follback dan repostnya.

Showing room diantar oleh petugas hotel yang lain, di lantai 2, bernomer 236, sebuah kamar minimalis yang sangat nyaman jika diperuntukan untuk 2 orang. Apalagi posisi kasur besar yang bersebelahan dengan jendela itu langsung menembus taman asri penuh pepohonan dan bunga-bunga. Arif kembali fota-foto, tapi kini untuk laporan ke Kang Sotak. Tapi untuk meminta kartu visit akses hotel, nggak semerta-merta diberikan sampai batas pelunasan dan waktu check in.

Sekembalinya dari showing, gua dan Arif nggak langsung kembali ke pondok. Masih harus ke pusat grosir untuk membeli name tag panitia, pesan banner, dan menyerahkan pengajuan proposal ke sebuah rumah makan besar yang gua nggak tau ada hubungan apa antara pemilik rumah makan itu dengan pondok.

“Rif, lu nggak capek? Nongkrong dulu enak nih kayaknya!” Tawar gua dengan bobot tas yang meringan, nafas yang memberat.

Dari hal perjalanan pengendaraan, ternyata Arif lebih rada-rada nggak masuk akal untuk status pengendaraan motor itu: kencang banget. Kayaknya ia yang lebih tepat semat “joki”. Atau mungkin karena memang terobsesi akan Rayong, joki Thailand itu.

Hingga sampainya di pertokoan sebuah SPBU asri yang menyediakan bangku-bangkunya yang nyaman. 2 teh kotak besar menghapus dahaga 2 laki-laki penyusur jalan.

“Cobain deh!” Arif menawarkan sebuah rokok asing dengan wajah yang meyakinkan. Gua coba, hanya tentang asap hambar dengan tarikan yang ringan. Nggak lebih baik dari wajahnya yang persuatif.

Chief adalah kebanggaan segala bangsa!

Sepuasnya di sana, tersadarkan dengan waktu dzuhur yang semakin menipis. Gua dan Arif pulang, dengan pengalaman perjalanan yang cukup berkesan.

Mungkin satu lagi, perihal anak manusia yang bernama Arif tapi nggak ada arif-arifnya sama sekali.

Waktu itu, di suatu malam sampai menunggu jam jadwal pemberangkatan Kebumen-Kediri, gua yang tergelepak lelah sehabis acara puncak, tertidur selepas maghrib dan bangun di jam 11 malam, di sebuah sofa empuk tamu undangan.

“Kok lapar, ya?!” Ucap brubuk perut yang udah gua translate.

Untuk makan, hanya prasmanan ndalem yang tentu sungkan karena pasti banyak beliau-beliau di ruang tamu. Atau juga, di aula yang selalu dikerubung santri panitia dengan segala tugasnya, bersatu padu santri putra dan putri.

Di tengah keterbingungan itu, Si Arif malah mondar-mandir: kebetulan!

“Rif, makan yuk!”

“Lapar tah?”

“Iya. Tapi, lu ikut makan juga ya?!”

“Yawes ayo.”

Sesampainya di aula, melewati beberapa santri yang nampak aneh dengan gua berwajah lugu triplek bangun tidur, langsung menghadap prasmanan yang sepertinya masakan sedari sore.

“Yah, lauknya udah habis, Mas.” Ucap Arif yang nggak sepenuhnya sesal.

Gua yang malah bingung.

“Mending masak aja, yuk!”

Gua meng-iya aja.

Ke dapur itu, terlihat berbagai macam bahan dan bumbu yang cukup lengkap. Hanya menemukan telur dan tempe yang bisa dipakai untuk lauk.

“Aku duwe mie, koyok’e.”

Entah kenapa, Arif selalu menggunakan diksi “Aku” dibanding “Inyong” saat bareng gua. Mungkin ia mulai sadar akan ketergelian kuping gua untuk diksi itu. Sedangkan untuk tawaran mie, gua nggak ada masalah, juga tanpa keberatan.

Arif beranjak, hingga sekembalinya dengan 3 bungkus mie kuah rasa soto. 2 chef dadakan itu membagi tugas: Arif yang bagian mie dan gua yang meracik telur untuk baluran tempe mendoan.

Asap tipis yang menyeruak, memberikan aroma yang meyakinkan: sedaaap!

Sematangnya masakan mengugah itu, mengambil wadah, nampan untuk nasi di Aula dan makan di sana. Semangkuk mie dengan beberapa potong tempe mendoan berlumur dadar telur ala-ala itu juga gua antar semangkuk ke Kang Alfin yang terlihat begitu lapar nggak sempat memikirkan makan.

“Inyong melu, yoh?!” Ucap seorang panitia senior, atau mungkin sepuh.

Saat makan intimnya 3 orang panitia yang telah habis masa tugasnya itu, datanglah sosok berkerudung itu.

“Rak popo, wes toh!” Arif begitunya.

Perempuan mbak-mbak itu, terlihat melirik gua, mencoba menangkap ekspresi apa yang akan gua berikan.

“Nggak apa-apa tah, Mas?” Maksudnya, takut gua risih dengannya yang mencoba ikut makan di lingkar nampan besar.

Buat risih, nggak mungkin juga gua menolak mengusirnya tanda ketidaknyamanan itu atau mungkin sampai nggak ramahnya: mau nggak mau, gua iyain aja.

Nampan besar berisi lauk-lauk berselera itu, -berselera karena rasa atau mungkin lapar ini-, nyatanya nggak ada mimik aneh saat suapan-suapan lepas penuh lahap mereka. Alhamdulillah, sukses berarti!

3 orang itu tampak asyik dan akrab pada penilaian seorang santri Kediri yang sepenuhnya menahan gemetar familiar makan berhadapan dengan sosok feminimitas.

Secukupnya, gua akhiri dengan cepat. Cukup berkesan perihal masak-makan, sebelum pulangnya.

Disclaimer, walaupun kayak gitu, Arif adalah seorang khatimin 5 juz!

Perihal kuliner, juga merupakan hal yang wajib terbahas. Bagaimana dengan privilege sebagai tamu undangan gus’e, makan di ndalem dan prasmanan yang memiliki kualitas nggak gemen-gemen: bintang lima!

Mulai dari gurame asam manis, ayam lodho, nasi kebuli, rendang daging, pecel full sayur, sop bakso, oseng pare, terong balado, penyet tempe, olahan telur berbagai bumbu, hingga semur jengkol! So delicious.

Dan kerupuk-kerupuk berbagai varian, mulai dari rempeyek, rambak, opak, warna-warni, hingga kerupuk putih kaleng legend!

Untuk porsi nasi, ini nggak bisa dijelaskan: nggak perlu.

Juga perihal snack-snack kue kering atau basah yang pasti selalu sisa nggak termakan, menjadi selubung alasan untuk semangat bersih-bersih lokasi dan menata kursi selepas acara, hingga mulai memulung: haha.

Belum soal snack jajanan khas masakan hand made Kebumen, sesederhana, jelly cup adalah definisi kebahagiaan selera tersendiri.

Belum lagi soal hidangan suguhan di meja VIP beliau-beliau yang dirasa cukup kaget kok bisa sisa dan banyak, nggak seperti di pondok Kediri, meski hanya sebatas air, selalu menjadi rebutan tanpa jeda. Dengan niat penuh tulus membantu merapihkan, terselip mubadzir dan barokah, lidah gua penuh rasa.

Kemudian, tentunya yang menjadi sorotan adalah Gus Nahdlo. Bagaimana beliau yang sangat memuliakan tamu dengan segala penyesuaian usia dan kalangan. Menjadi orang yang sangat sigap, jiwa jurnalis dan keorganisasiaannya nggak perlu diragukan lagi: mulai dari mengkonsep acara, mengurus kebutuhan eksternal seperti panggung dan perangkat lainnya, menemani dan mengarahkan gladi setiap penampilan seluruh santri, mengisi suara narasi vidio khotimin, menyambut tamu, pemegang mic, hingga nggak segan untuk hanya sekedar ikut merapihkan dan menata sendal tamu undangan di halaman ndalem.

“Gus, serius?!” Takjub gua dalam hati.

Dan hal yang paling gua suka penuh panutan adalah perihal komunikasi beliau. Bukan hanya perihal luasnya pengetahuan yang mempengaruhi isi bicara, tapi juga cara beliau mengutarakan pembicaraan itu: cara beliau berbicara yang sepenuhnya gua percaya mengena penghayatan di setiap tema pembahasan. Beliau, arti cerdas itu!

Seperti di malam sehabis momen masak-masak makan-makan bareng Arif, dan sehampir menunggu jadwal kereta di jam 3 itu, di bestcamp panitia: Gus Nahdlo, Kang Haidar, dan gua larut dalam obrolan yang hangat dan penuh kekeluargaan.

Perihal kepesantrenan, keorganisasian, sosial, akademisi, self improvement, hingga isu-isu terkini, dibahas tuntas tanpa sisa: meski dengan pembawaan penuh candaan. Gua menyukai selera humor beliau!

“Santri putri mana, Bat, yang membuat kamu terpana?” Tanya Gus Nahdlo yang nggak tau kenapa di setiap ngobrol sama gua, melepas segala ke-ngapakan-nya untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar di sebaris pertanyaan yang mengejutkan: langsung dari gus’e!

Kang Haidar dengan segala jiwa sosialisnya yang memukul rata tanpa pandang bulu untuk interaksi ramah dan asyiknya ke semua orang, termasuk santri putri yang kebetulan ia kenal dalam lingkup kepanitiaan ini, mulai menyebutkan nama-nama asing.

“Tasya?!” Gus Nahdlo cukup terkejut untuk suatu nama yang ditawarkan Kang Haidar, yang entah siapa dan yang mana orangnya.

“Mboten, Gus. Masih masa khidmah, jangan diganggu!” Pembelaan dalam argumentasi gua yang disambut gelak Kang Haidar dan Gus Nahdlo, lengkap dengan pukulan bantal guling kusam itu.

“Kulo mboten mundut santri panjenengan, Gus. Insya Allah, sampun enten. Pandunganipun mawon, Gus!” Lanjut gua dengan sungkem bernada bercanda, tapi perihal maksud, apalagi hati: nggak boleh ada besit buruk, terutama di hadapan seorang gus.

“Iyo wes iyo, karepmu! Asal lek wes waktune.”

Udah dapat do’anya, nih? Haha.

Mungkin terlalu intim dan internal untuk segala wejangan penuh gizi dari beliau yang sudi kiranya hanya untuk konsumsi pribadi yang mengubah dan mencerahkan pola pikir dan arus perasaan gua.

Mungkin hanya bisa berbagi beberapa.

“Nggak ada solidaritas dalam keburukan. Jika ada keburukan dengan mengatasnamakan solidaritas, itu bukan solidaritas!”

“Saya itu menilai orang, hanya menyukai dalam 2 aspek: nggak neko-neko dan manut!”

Tanpa terasa, udah hampir 7 hari gua di sana yang tentunya sangat sulit untuk menjelaskan semua kenang dan pengalaman, tingkah laku serta ucapan-ucapan penuh kesan. Hingga, diantarnya gua dan Kang Haidar ke stasiun bersama Gus Nahdlo, Kang Sotak, dan Kang Hasan yang mengemudi mobil berwarna putih: di atas lelahnya mereka, untuk jam istirahat Gus Nahdlo.

"Sama ini, saya nitip sendalnya Ning Naura, kemarin ketinggalan. Nanti kamu sowan, sekalian sampaikan salam saya buat beliau!" Gus Nahdlo memberikan sepasang sendal imut milik Ning Naura, putri Cak Mad dan Ning Sheila yang sempat tertinggal saat acara, yang kemudian benar-benar langsung gua sowankan sesampainya di pondok, hingga maghrib, hingga sepinya setoran hafalan lautan para pembaca Qur'an itu yang disimak beliau: Cak Mad.

Kepada Abah Kiai Tamam, Ibu Nyai Afifah, Gus Nahdlo, Gus Yabnal, Kang Sotak, Kang Hasan, Mbah Suwono, Kang Alfin, Arif, dan segenap keluarga besar Pondok Pesantren Quantum Qolbu diucapkan terima kasih atas segala keramahan dan kebaikannya. Mohon maaf apabila merepotkan dan menyusahkan dalam pertemuan ini.

Sungguh nggak banyak kata yang bisa diucapkan.

Sangat amat berterima kasih.

Mohon maaf penuh sadar.

Gua belajar banyak, sangat berkesan!

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar