Cicak

Cukup mempertanyakan, kenapa orang sering kali menaruh buruk hingga menjadikannya stereotip mengenai orang pendiam, tentang mereka yang membenci bising dan berisik, mereka yang memuja sepi dan sunyi, mereka yang menyendiri, mereka yang menghindari keramaian, termasuk mereka yang mencari tenang di gelap malam?

Padahal hal itu merupakan implementasi dari penggalian nilai dalam stigma dan persepsi terhadap koginitif atau pemikiran, juga mood dan naluri terhadap afektif atau perasaan. Akademis menyebutnya skeptis, filsuf menyebutnya refleksi, priyayi menyebutnya muhasabah, dan kita menyebutnya perenungan: gua menyukai hal itu.

Hal hebat terjadi saat itu, termasuk hal yang bermula dari keresahan!

Bukannya, wa an laysa lil insani illa ma sa’a?

Manusia hanya mendapatkan apa yang ia cari!

Dan yang ingin dibahas bukan soal aneh yang itu, perihal aneh yang mungkin tanpa kita sadari telah menyelimuti, memeluk kita selama ini.

Mungkin hal ini yang menyelimuti dan memeluk, gua dapat, cukup tersadarkan, hingga kepikiran sampai sekarang.

Perihal kenapa sih kita begitu lalai terhadap apa yang kita omongkan? Kenapa kita kerap kali melarang suatu hal, tapi kita sendiri yang malah melakukannya? Kita begitu menghakimi orang dengan segala hal yang berbeda hingga kita menyebutnya sebuah kesalahan, padahal kita lebih dari itu?! Kita adalah arti kesalahan itu.

Lalu, kenapa juga kita bisa begitu bijak untuk orang lain dengan segala nasihat dan solusi, tapi kita nggak ada daya untuk segala hal yang menjadi persoalan dan masalah diri sendiri? Kenapa kita begitu krisis identitas dengan menjadi penolong untuk orang lain, tapi terjebak dalam keterpecundangan atas segala hal yang menimpa? Hingga kita hanya bisa mengemis dan meratap.

Kemudian, hingga akhirnya, kenapa kita terkesan begitu munafik di hadapan Tuhan dengan mengingat dan kembali berserah hanya pada masa sulit dan butuh? Atau seenggaknya, kenapa ibadah dan do’a di kala masa sulit dan butuh itu terasa lebih manis dan khusyu’? Padahal perwajahan cinta Tuhan itu nggak terbatas waktu.

Begitu terpukul hingga tertekan untuk mencari jawaban ini. Begitu dan selalu saja pertanyaan ini yang keluar: pertanyaan yang menuntut pernyataan, kenapa yang memaksa karena.

Mungkin itu 3 hal, dari banyaknya pertanyaan yang menetap.

Pertanyaan yang nggak tertulis.

Atau mungkin belum.

Sudahkah kita merenung?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dosa

Dompet