Baskom
“Kamu suka jajan, aku suka masak!”
“Cakeeep!” Ucap lelaki itu menunjukkan jempol dengan senyum yang sempurna.
“Iiiih, aku nggak lagi pantun!” Kesal perempuan itu.
Senyumnya, berganti dengan gelak tawa. Rekah di atas kecemberutan.
“Lalu, apa?” Tanya lelaki itu, menserius di tengah reda gelaknya: meski
tetap terselip gemas lucu dari semu pipi perempuan itu yang memerah, terbalut kekesalan yang
begitu polos.
“Dari pada uang itu mengalir habis buat jajan, mending kamu simpan atau
mungkin tahan, nanti aku pakai buat masak.” Kini, perempuan itu tersenyum. Membuat
lelaki itu mengerjap berpikir: entah apa yang dipikirkannya.
“Hmm, boleh.” Ia setuju, perempuannya mengangguk tersenyum senang lagi
puas.
“Tapi, ada syaratnya!” Sela perempuan itu.
Tak terduga.
“Apa?”
"Kamu boleh minta dimasakkin apapun, tapi harus antar aku belanja ke pasar,
berkeliling toko ke toko. Gimana?”
Namun, kali ini, ada gurat risau di wajah perempuan itu. Mungkin risau
perihal penolakkan, atau malah keberatan.
“Oke, siapa takut?!” Ucap lelaki itu lugas tanpa keraguan.
Wah, senangnya! Mungkin batin perempuan itu.
Lalu perihal cerita dengan apa mereka berkendara, ke pasar mana, apa yang
dibeli, hingga sampai proses matangnya masakan itu, tak bisa penulis ceritakan. Bukan maksud
tak mampu tak mau, hanya takut. Takut menimbulkan halu yang berkepanjangan!
Hingga akhirnya, mereka makan bersama dengan beragam obrolan,
cerita-cerita, dan candaan. Lalu mereka saling cemong-cemongan sambal!
Tapi anehnya, malah penulis ini yang kepanasan kepedasan.
Benar-benar, terasa panas terasa pedas.
Dasar penulis aneh!
“Kenapa?” Bingung pembaca.
Komentar
Posting Komentar