Leukosit

Cukup bersyukur alhamdulillah atas segala nikmat dan anugerah yang telah Allah berikan kepada kita. Terutama, lebih-lebih perihal kesehatan yang nggak bisa dibandingkan dengan apapun. Berharga di atas segala pemberian-Nya.

Dengan itu, sudah seharusnya syukur ini pun disambut bahagia yang penuh, kenyataannya bahwa ibu gua udah keluar dari rumah sakit dan boleh istirahat di rumah: setelah hampir 1 minggu opname.

Hari-hari belakangan, sudah barang tentu adalah hari kelu. Pikiran, perasaan, atau bahkan lidah yang memberikan empati atas anak mana yang nggak kaget nggak risau dengar ibunya masuk rumah sakit? Hanya kita yang tau ibu kita, hanya kita yang punya perasaan itu.

Hingga akhirnya, semua diusahakan berjalan semestinya, apa adanya. Keluarga, tetangga, hingga teman lama. Nggak mengecualikan perihal 4 anak lelakinya yang kini disatukan dengan momentum libur, lalu kabar sakit ini.

Meski abang pertama nggak bisa intensif menemani karena sudah bedanya rumah dan kerja, ia tetap meluangkan ruang: jarak dan waktu. Lalu, 3 lainnya, tetap menjadi anak dengan karakteritik dan latar belakang yang beragam: satu padu, kakak beradik, anak pada ibunya.

Ibu belum sepenuhnya beraktivitas, terkadang ia masih diselimuti gigil dan gemetar pada parau suaranya. Lambat laun, sepenuh do’a, ucapan dan tindakan kami berikan. Termasuk menjawab dengan selembut dan semenenangkan mungkin untuk suatu pertanyaan yang terus ia ulang, “Ibu dosa nggak ya, Ramadhan malah nggak puasa?” timbul di laranya, timbun di hati kami.

Allah kuasa, keluarga ini menghangat: ibu membaik.

Dari tulisan lusuh ini, inginnya gua menyorot tentang sesuatu yang benderang. Kebayang nggak sih, gimana sosok ayah gua dalam menyikapi hal ini? Perihal sakitnya ibu kami dan istrinya yang sudah sakit 5 hari hingga harus diopname hampir seminggu di rumah sakit? Menghadapi seorang perempuan yang sangat overthinking dan rentan ketika sedang sakit? Sudah cukup terbayang lelah itu tanpa perlu dijelaskan lebih.

Nggak lagi meluang, ia mengorbankan seluruh waktunya untuk kesembuhan ibu. Jangan tanyakan soal tenaga dan pikiran. Ayah yang hebat, suami yang luar biasa.

Hingga, di kesembuhan dan membaik yang kesekian, gua ditelpon ayah.

“Bat, bilangin ibu, ayah nggak jadi buka puasa di rumah. Hujannya deras banget.” Ucapnya di sela gemercik deras hujan membersamai telpon itu, sesaat ia sedang mengantar Afiat bukber di sekolahnya.

“Tanyain, ibu mau bakso nggak gitu?” Lanjutnya di ujung telpon.

Gua menjeda aktivitas, keluar, dan mendatangi kamar ibu yang ia sedang merebah berkemul selimut dengan wajah yang cukup cerah.

“Bu, kata ayah, ayah nggak jadi buka di rumah, hujan deras. Terus katanya, ibu mau bakso nggak?”

Di saat itu, ada 2 sirat di rona wajahnya: aura sedih yang mungkin karena khawatir karena nggak jadinya ayah untuk berbuka di rumah, di sisi lain, ada secercah bahagia yang nggak bisa disembunyikan. Mungkin bernada kagum atau malah salting karena pertanyaan penawaran mau bakso yang sarat akan perhatian.

Gua tau, ibu suka bakso. Tapi untuk di keadaan yang seperti ini, semua hal yang menjadi dirinya seolah terpental untuk yang terpenting kesehatan terlebih dahulu. Anehnya, ia malah mengiyakan, seperti orang yang terkagum atas keringat bertani berkebun dari pada melihat indahnya mekar kuntum bunga hasil bertani berkebun itu. Terkadang usaha lebih manis dari pada hasilnya, lebih indah.

Selepas meyampikan pesan ayah dan sedari kamar ibu, gua jadi berpikir dan ingin segera menulis. Ternyata benar, nggak ada sesuatu yang tersisa dalam pernikahan selain sikap dan sifatnya. Kita akan hidup dengan akhlaknya. Nggak lagi soal cinta dan bucin-bucin romantis melankolis yang pokok dan dibuat-buat. Dan sikap dan sifat itu akan pengikat hubungan dan perasaan yang baik, jika dibalut dengan komunikasi yang baik pula.

Maka gua mengira, kunci suatu hubungan itu adalah rasa saling percaya. Rasa saling percaya nggak mungkin terbangun jika tanpa sikap keterbukaan. Bagaimana cara keterbukaan? Ya, dengan komunikasi.

Gua jadi ingat salah satu qoutes-nya Raditya Dika, “Yang tersisa dari pernikahan adalah obrolan-obrolannya. Jadi, pastikan ketika kalian menemukan pasangan, kalian mampu dan senang untuk ngobrol sampai kapanpun.”

Jadi siapakah orang yang mampu dan bisa bikin kita senang untuk ngobrol sampai kapanpun?

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa