Tadarus
Dalam momentum Ramadhan seperti ini, kita nggak terlepas dari 3 hal: ibadah, kerja, dan tidur atau istirahat. Meski ketiganya tetap dinilai bermakna ibadah, seenggaknya gua pengen membahas tentang ibadah yang benar-benar diartikan ibadah itu sendiri. Sesuai literatur dan tekstual apa adanya.
Mungkin, bagi
santri pondok ini atau manapun, ibadah mencakup banyak hal. Rupa-rupa,
macam-macam, dan beragam. Seenggaknya, hal ini bisa dikelompokkan menjadi 2
garis besar: ngaji dan maqbaroh.
Perihal ngaji,
tentu Ramadhan adalah hari raya. Semua terkesan meriah dan hura-hura. Pengajian
kitab apapun, di jam berapapun, semua tersedia. Bahkan, lebih-lebih, ada santri
yang nggak ngaji, bukan karena nggak ingin ngaji. Tapi, karena memang jadwal
ngajinya berbenturan. Karena saking banyaknya putar jadwal ngaji sedari sahur
sampai sahur lagi, nggak mengecualikan untuk jadwal ngaji kitab di jam yang
sama. Sebut saja, ada beberapa jadwal dan macam kitab yang diajikan setelah
dzuhur? Bagi mereka yang mengaku haus akan ilmu, Ramadhan mengantarnya untuk
minum sampai kenyang, lalu muntah. Sampai batas puas teguknya.
Ini bukan
masalah yang berarti, mungkin hanya perihal mata kunang-kunang karena terlalu
lama memandang kertas berwarna kuning tersebut. Juga jari-jari tangan yang kaku
kebas kesemutan serasa mau copot. Lapar dan haus adalah konsekuensi! Wa man
aradahuma, faalaihi bil ilmi. Semua demi apa yang disebut bahagia dunia
akhirat.
Begitu juga
perihal maqbaroh. Nggak menutup kemungkinan untuk santri pada maqbaroh yai-nya.
Selain karena untuk ziaroh, mengharap berkah, dan output ziaroh itu sendiri:
mengingat kematian. Maqbaroh adalah tempat ibadah lisan yang paling tenang.
Begitu recomended. Jika, unsur hati udah terikat dan terkait, juga menuntut
tenang, tentu badan akan dengan mudah menjalaninya.
Hal itu, bisa
apapun: tadarus Al-Qur’an, dzikir, lalaran nazhom, buka kitab pelajaran, atau
apapun yang perlu diungkapkan sebagaimana sowannya santri pada gurunya.
Adanya tulisan
dan pembahasan ini, tentunya ada perihal yang mengalasi. Ada tujuan dan
maksud. Ya, meskipun bukan suatu hal yang begitu penting. Tapi, bagaimanapun
hal itu tetap mengganjal dan perlunya sarana buang semua ini. Termasuk perihal
wadah buang dan waktunya: menulis dan selepas buka untuk kemaslahatan.
Bukan apa-apa,
lagi-lagi, ini hanya perihal resah.
Ibadah tentu
hal yang bagus dan baik. Dan tentunya, bukan termasuk orang yang bagus dan baik
jika harus benci terhadap hal yang bagus dan baik tersebut. Siapa orang yang
harus membenci ibadah? Siapa orang yang harus membenci ibadah orang lain?
Dalam
konsepnya, tentu ibadah merupakan bentuk penghambaan kita pada Tuhan. Baik yang
wajib ataupun yang sunah, mengharap ganjaran bukan berarti nggak ikhlas. Itu
merupakan hal lain yang bermakna serupa: manivestasi dan implementasi mengharap
ridho Tuhan. Emang salah jika mengharap kebaikan? Mengharap kebaikan pada dzat
yang Maha Baik dan pemilik sejati kebaikan itu sendiri?
Tapi,
terkadang, banyaknya orang yang hanya terfokus unsur ketuhanan dalam ibadahnya.
Yang penting untuk Tuhan, yang penting dapat pahala. Hingga, tidak memandang
aspek sosial dan manusia lain. Bukan soal ingin dipandang dan hal bual lainnya.
Tapi seenggaknya, kesadaran dan kepekaan harus terbentuk demi sikap saling
menghargai. Toleransi beribadah bukan hanya soal beda agama. Hal ini malah
perlu dan harus lebih dulu tertanam di agama ini. Hal ini yang mengalasi
keresahan ini.
Ramadhan tentu
bulan yang istimewa. Itu kenapa, pada bulan ini semua hal terkesan menjadi
istimewa. Termasuk orang-orang, ibadah, dan maqbaroh. Pagi, siang, sore, malam,
maqbaroh selalu ramai oleh orang-orang dan ibadahnya. Lisan-lisan santri begitu
fasih untuk dzat yang Maha Pengasih. Semakain larut, bukan berarti semangat
surut.
Nggak bisa
dipungkiri, setiap hal putih pasti dikelilingi sudut hitam. Terang pasti
berdampingan dengan gelap. Baik menjadi mayoritas ataupun minoritas.
Kesalnya gua
dengan orang yang baca Qur’an dengan nada keras. Tentunya kita ingin beribadah
dengan tenang. Tapi dengan mengingat ini maqbaroh pondok, santri, dan Ramadhan?
Dirasa nggak boleh egois untuk menuntut hal itu.
Tapi sekiranya
dengan alunan tipis suara lafal yang menyatu, udah cukup membuat kesan gremeng
dan dengung yang mengudara. Padahal itu saja masih dalam taraf lirihnya
masing-masing. Lah ini, kok bisa-bisanya, nih orang baca Qur’an kencang
sendirian! Kok pd, gitu?
Dan tambah
nggak habis pikirnya lagi, mending nih orang kalau baca Qur’an suara dan
nadanya enak. Ya, minimal kalau nggak suara, nada bacanya rada enaklah. Lah
ini, suara dan nadanya benar-benar nggak enak sama sekali!
Maksud gua,
okelah lu baca Qur’an bagus. Semangat baca Qur’an itu bagus. Sampai lama,
sampai ekspresi mukanya mendalami itu bagus. Tapi, kalau emang nggak punya
‘nilai lebih’ di suara dan nada baca, minimal sadar dirilah! Jangan sampai lu
bikin buruk hal baik ini. Jangan sampai Allah benci gara-gara kebencian
orang-orang terhadap lu.
Gua aja yang
duduknya rada jauh serasa nggak nyaman. Apalagi orang-orang di sekeliling lu?
Ibadah bukan hanya aspek hablu minallah, tapi juga hablu minannas!
Jangankan mau
fokus apalagi menghayati bacaan, otak gua jadi penuh dorongan setan buat benci
sama lu. Sekalipun aslinya gua nggak ada bantah untuk setuju dengan setan, tapi
ini bulan Ramadhan! Capek-capek puasa gua? Untungnya tertolong Ramadhan aja lu!
Awas
aja, nanti di luar Ramadhan, pengen banget kuping lu sekali-kali gua bisikin
lagu Metalica full album!
Plus
sekuah-kuahnya.
Etdah
lu.
Untung
udah maghrib.
Komentar
Posting Komentar