Sunah

Ya, benar juga ucap buku itu, “Jika kita tidak bisa melakukan apa yang kita suka, mulailah suka dengan apa yang kita lakukan!”

Gua mencerna.

Putar waktu, temu silih berganti, aktivitas dan tanggung jawab, serta ungkapan bahwa Allah tidak akan menimpakan suatu beban di luar batas kemampuan hambanya: berputar, terjatuh, dan terbenam. Tertanam.

Menjadi bidang ubudiyah nggak bisa dipungkiri. Entah bagaimana cara mereka menilai dan menentukan pilihan untuk nama-nama orang yang ditarik untuk mengisi bidang-bidang pengurus pusat. Tiba-tiba dikasih surat pengangkatan, tiba-tiba nama gua tercantum di bidang ubudiyah.

Tentu sangat keluar dari konsep demokratis sebagaimana asas hidup di negara ini. Tetapi di satu sisi, ini ijtihad ulama. Meski segelintir, meski oligarki. Bagaimanapun kitab Ta’limul Muta’alim tetap dipegang teguh, coba dipraktekan apalagi dalam status murid dan guru. Ya, meskipun tetap ada otak-otakan ketua pusat!

Dengan kenyataan seperti itu, gua harus menerima dan menjalankan tanggung jawab ini. Bukan karena apa, ubudiyah tentu harus praktek. Dan praktek tentu harus ada persiapan sebelumya. Dalam hal ini, gua bertanggung jawab seorang diri karena emang gua satu-satunya nama yang dicantumin mewakilkan angkatan ini. Waaaah!

Untuk SOP-nya, bidang ubudiyah terkena 2 kali tugas untuk 2 kali praktek: pertengahan semester. Selain sarana-pra sarana, materi merupakan hal yang sentral dan harus diperhatikan.

Lingkup praktek ubudiyah ini tentunya diambil dari pembahasan fiqh yang sangat luas. Dan untungnya, setiap angkatan sudah ditentukan sebelumnya materi fiqih apa yang harus dipersiapkan dan dipraktekan.

Dengan sadar terhadap diri sendiri, ditambah demi matang dan suksesnya praktek ini: gua harus menggait para cendekiawan!

Setelah keluar dan ditentukannya list materi ubudiyah yang akan dipraktekan, gua langsung mendekat dan merapat ke para cendekiawan: bertanya, meminta pendapat, dan bertukar isi kepala. Materi ubudiyah harus matang sebelum deadline, lalu sowan tashih, diseminarkan, dan prakek.

Susahnya, jika materi di luar radar buku panduan prakek ubudiyah alias tidak tercantum. Mau nggak mau, harus cari materi di redaksi kitab-kitab yang berserak secara mandiri. Lalu menyusunnya, ditambah dikurang, debat-debat, hingga tersusunnya dengan sepakat.

Nggak sekemelut prakek sholat khauf yang materinya susah dicari dan ribetnya pemahaman, juga soal kurang persiapan dan beliau masih menuntut lebih, di praktek yang kedua ini harus benar-benar totalitas dan puas!

Hingga, waktu memberi kesempatan, bahwa materi ubudiyah yang harus dipraktekan ialah BAB NIKAAAAAAAH!

NIKAAAAAAAH!

AAAAAAH!

NIKAAAAAAAH!

Huh.

“Emang kenapa?” Tanya qorin.

Meski cukup melegakan dengan adanya materi nikah di buku panduan ubudiyah yang berarti hanya perlu sedikit menambahkan, tanpa perlu lagi harus menysusun mandiri, bukan berarti nggak ada tantangan dan rintangan.

Pertama, ini materi berat dan hajat besar, selain butuh tempat luas nggak hanya di kelas, ini juga akan melibatkan tim memori angkatan untuk kebutuhan dokumentasi.

Kedua, ada 7 aspek yang dinilai, seenggaknya masih terkesan banyak dari hal yang padahal udah disedikitkan mungkin.

Ketiga, tuntutan ekspetasi lebih dari mustahiq.

Keempat, masih familiar dengan mengingat sekarang dan masih jauhnya masa untuk praktek yang sebenarnya.

Kelima, tentu soal menampung antusias peserta yang membludak.

Dengan segala pertimbangan di atas, gua anggap itu semua sebagai dorongan untuk gerak lebih. Ya, meskipun rada anu.

Dan, mendekat pada para cendekiawan tetap menjadi upacara yang harus dilakukan!

Tapi, bagaimanapun, nggak sekonyong-konyong kosongan hampa tangan. Bukan seperti itu attitude berhadapan dengan cendekiawan. Gua tetap harus punya konsep atau seenggaknya pandangan untuk dijadikan bahan pendapat dan masukan yang akan dibahas cendekiawan: pandangan, hati dan pikirannya.

Setelah meriset data, baik lisan maupun tulisan, juga mencari beberapa narasumber, baik dari adik atau kakak kelas, seenggaknya cukup tercerahkan untuk konsep dan pandangan.

Dari sekiannya alur materi nikah yang dibahas: khitbah, akad, dan resepsi. Gua hanya mengambil materi akad.

Dengan segala pertimangan materi yang coba disesuaikan dengan realitas orang-orang yang akan praktek, ditentukan 7 kategori yang akan dipraktekan oleh 4 kelompok:

1.      Mempelai lelaki.

2.      Mempelai wanita.

3.      Wali.

4.      2 orang saksi.

5.      Pembaca khutbah.

6.      Pembaca do’a.

Rundown awal pergerakan ini, tentunya, perihal penyusunan materi!

Mulai dari pengertian, hukum, rukun dan syarat, juga tentnya perihal lafadz sighot akad, khutbah, dan do’a. Buku panduan itu gua baca perlahan, pikir, pahami, dan hayati. Eh, malah nyangkut kemana-mana!

Tepat, padahal baru di halaman pertama, sub bab setelah definisi: udah ngelantur!

II. Hukum Nikah.

    Bagi laki-laki:[123]

 

1.      Sunah.  Bagi orang yang sudah mempunyai hasrat, dan mampu menanggung biaya pernikahan, seperti halnya maskawin dan nafkah.

 

2.      Khilaf al-Aula   (tidak sesuai dengan hukum yang utama). Bagi orang yang mempunyai hasrat nikah, tetapi tidak mempunyai biaya.

 

3.      Makruh. Bagi orang yang tidak mempunyai hasrat, dan tidak mempunyai biaya. Atau mempunyai biaya namun dirinya sudah pikun, atau sakit seperti impoten.

 

4.      Wajib. Bagi orang yang mempunyai biaya serta khawatir akan melakukan zina. Atau orang yang mempunyai hasrat, serta mampu menanggung biaya pernikahan dan mempunyai nadzar akan melakukan nikah.

 

Semua hukum itu gua perhatikan, baca, dan pahami lamat-lamat.

“Buat makruh nggak mungkin deh, soalnya gua masih aman soal hasrat. Mungkin bisa juga buat sunah dan khilaf, masalah biaya bisa nabung, ikut lomba, olshop, atau tiba-tiba ditawarin ikut uang kaget, bisa diatur itu mah. Atau ungkin bisa jadi wajib, tentu gua khawatir zina. Ya, meskipun belum sampai ikut nadzar-nadzaran!” Ceracau gua, memutar bola mata sesekali, di sela berhenti mencatat, merebah di hadapan pintu lemari yang terbuka.

Hingga, nggak lama, menjadi lama, di nomer 5.

5.      Haram. Bagi orang yang tidak bisa melaksanakan kewajiban sebagai seorang suami.

Tertampar!


Jadi harus telusur jauh lagi soal, apa saja kewajiban seorang suami?

“Bang… Bang… malam-malam kok ngayal. Minimal tamat dulu lah!” Ucap kang-kang di pojok lemari yang kayaknya udah gatel atas ceracau-ceracau panjang gua.

“Haha, kenapa emang? Ini namanya planning masa depan!”

“Lu itu masih haram hukumnya. Apaan? Nikah modal hasrat doang!” Lalu gelaknya, gua hanya cengengesan sekenanya.

“Haram tuh kalau ada anak AS, semester akhir, udah PPL di KUA dan Pengadilan, bentar lagi tamat madin, tapi masih jomblo!”

Gelak itu kembali terdengar dengan ditambah gelak khalayak penghuni kamar. Bedanya kini ia yang cengengesan bergantian.

Hingga akhirnya, perhatian khalayak kamar berpindah dan ikut forum yang berbau masa depan ini.

“Emang katamu nikah itu enak, Bat?” Satu suara terangkat, bertanya ke gua. Opini tamatan ikut andil kali ini.

Akhirnya ia mencurahkan segal keluh kesah dan unek-uneknya perihal ini. Merambat ke mana-mana dan menyambar apapun.

Ia bercerita tentang bagaimana “Mas”-nya yang baru saja nikah, terasa menjadi beda dan lucu.

“Masku itu tiba-tiba jadi suka bikin strory jajan. Seblak lah, ramen lah. Jadi anak estetik, suka bolak-balik cafĂ©. Ya, karena istrinya itu.”

Gua nyimak aja. Menempatkan diri di tengah. Netral. Nggak berniat menanggapi aneh-aneh.

“Lagian pula, beratnya nikah itu kebanyakan di nafkah. Nafkah dzohir loh, ya!” Tiba-tiba mimiknya berubah di ujung kalimatnya dengan punchline, memojokan gua.

Khalayak lain, yang berniat menyimak sedari tadi, kini mulai terdengar nyengirnya.

“Apa sih, Kang? Padahal dari tadi gua diam aja lu. Menyimak baik-baik, tetap aja kena.” Ucapan keluh itu tetap bernada setengah tawa.

“Nggak, bukan apa-apa, anak fiksi nih ngeri! Harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Biar mode fiksinya nggak on.”

“Aman-aman.”

Ia melanjut.

“Bahkan di kitab, suami tuh harus nyesuain kebutuhan sebagaimana sebelumnya. Semisal, kalau seminggu istri sebelum nikah itu bisa habis 500 ribu, maka setelah nikah kita pun harus menyesuaikannya. Kalau sebelumnya istri kita setiap hari makan ayam, maka setelah nikah kita pun harus memenuhinya. Makanya, konsep sekufu dalam nikah itu penting.” Pungkasnya.

Terlihat beberapa dari khalayak mengangguk spontan.

“Ah, kalau begitu, pokoknya dicari istri yang rajin puasa!” Ikrar gua percaya diri.

“Puasa juga bukan berarti tanpa nafkah loh, ya!”

“Iya paham, Kang. Pasti itu mah. Mau nafkah apa juga gua sanggupin. Minta uang belanja, perawatan, jalan-jalan, minta diperhatiin, atau minta…”

“Tuh kan, tuh kan! Mulai. Mode fiksinya on, nih?!”

Lalu, kamar seketika menjadi panggung seminar rumah tangga yang diisi oleh beliau, Sepuhnya segala bangsa.

Haha.   

Tuh kan, tuh kan!

Jadi ke mana-mana.

Pokoknya do’ain aja biar prakteknya lancar, sukses, dan bermanfaat.

Untuk do’a-do’a lain, tetap ditampung.

Eh kamu, aku juga lagi nabung!

“Siapa?”

“Apaan sih, Bat?”



123 Sulaiman al-Jamal “Hasyiyah al-Jamal” Juz IV hal. 44. Dar al-Fikr

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa