Suffah

Jum’at ini, mungkin menjadi jum’at yang istimewa. Bukan hanya karena soal gua habis kiriman, tapi karena ini memang jum’at dan di awal Ramadhan!

Hari jum’at tentu harus sholat jum’at. Di luar segala syarat, rukun, dan kajian ilmiah untuk unsur pendukung ibadah berupa sholat jum’at, di luar itu, banyak hal yang harus diperhatikan. Bukan apa-apa, segala aspek penunjang, semua demi satu hal: kelancaran dan kenyamanan beribadah!

Maka hal-hal itu harus dipersiapkan. Semua ini, bukan maksud ribet. Karena kalau sampai nggak persiapan sekalipun, urusan bisa tambah ribet. Mending, tetap nyaman dan tenang-tenang saja, untuk tetap meneruskan tulisan ini. Baca, nggak apa-apa perlahan.

Di pagi yang mengakhir, ingatnya gua bahwa sendal telah lenyap, atau mungkin dilenyap. Entah, siapa dan bagaimana jalan pikirnya orang yang bisa-bisanya ngambil sendal gua. Bukannya ngebolehin, tapi kalau emang mau nyolong, ya nggak di pas awal Ramadhan juga: di hari sakral penuh malaikat. Takut aja tuh malaikat ngedo’ain jelek karena krentek seorang hamba yang terzholimi. Untungnya nggak berlebihan. Nggak terlalu ambil panas dan meledak. Mungkin karena kejadiannya setelah tarawih dan sehabisnya gua akan 2 gelas es teh berskala jumbo yang cukup mendinginkan: hati dan pikir ini.

Udahlah, jangan, jadi malah ke mana-mana. Gua cuma niat mau beli sendal sebelum jum’atan. Sebelum adzan terdengar dan takbir.

Sempatnya untuk cuci muka, ambil uang, keluarin onthel, dan cus!

Apa boleh buat, ternyata waktu yang masih terhitung pagi ini, semua toko-toko udah pada tutup. Atau mungkin, memang belum buka.

Konsekuensi dari pondok induk libur, ya gini: menghambat perekonomian dan kemaslahatan umat. Toko-toko jadi pada tutup, atau mungkin udah hilang konsistensi marketing.

Di sisi lain, dampak atas masa liburan ini, begitu mencolok dan terasa. Seenggaknya bagi pondok pojok kebun tebu dengan santri berpeci putihnya yang memang belum libur: perihal jum’atan itu sendiri.

Dengan kenyataan gua yang gagal beli sandal ngejar sebelum adzan dan prosesi, bingungnya gua bagaimana nanti jum’atan: pakai sandal apa untuk menuju lokasi member istiqomah andalan bawah pohon pinggir jalan. Tentu hal ini merusak kondusif dan kenyamanan. Apalagi dampak lain yang dimaksud di awal, adalah perihal robith jama’ah yang pasti terputus karena kurangnya dominasi panjang barisan sampai ke pondok ini. Sudah bisa dipastikan, harus maju, mendekat merapat ke masjid itu. Dan peran sentral sendal benar-benar terlihat.

Dengan mengingat gua yang masih di daerah wilayah kawasan pondok induk menuju pulang, tepat saat lewat jalan seluk samping plosok masjid itu, sedikit menengok dan masih sepi, ilham itu datang.

“Apa gua ke masjid sekarang aja, ya?”

Pikiran itu hadir dan diperkuat dengan kenyataan gua yang jarang sekali untuk bisa sampai berkesempatan sholat jum’at di masjid itu, meski hanya di serambinya. Lalu, pandangan membawa kabar bahwa dalam inti masjid masih ada ruang!

Bukannya berlebihan atau apa, karena memang menimbang luas ruang masjid yang nggak seberapa untuk serbuan santri puluhan ribu itu? Tentu bukan hal yang mudah untuk bisa berkesempatan merasakan vibes barokah sholat di dalam masjid.

Apalagi, kalau kalian mau tau, begitu beragam dan bermacam cara santri mati-matian untuk sampai bisa berkesempatan sholat di bagian dalam, inti ruang masjid: member. Maksudnya, sudah sedari pagi buta, karpet-karpet shaf dalam masjid itu sudah bertebar sorban atau sajadah sebagai penanda bahwa tempat itu udah ada yang miliki, jangan sampai ditempati! Segitunya.

Jadi, mau secepat dan serajin apapun datang jum’atan di bagian dalam masjid, jika memang shaf itu udah ada sajadah atau sorbannya, tetap nggak bisa ditempati. Itu shaf VIP. Seenggaknya, usaha mereka yang menjadikan tempat itu VIP.

“Emang apa untungnya jika bisa sampai sholat di dalam inti ruang masjid?” Mungkin celetuk seorang hamba Allah yang kelihatan banget bukan pertanyaan dari seorang pengabdi masjid, jama’ah tetap.

Untuk menjawab itu, mending simak tulisan ini baik-baik!

Di tengah segala gebu dorongan ini, resah itu datang: gua pakai sendal orang!

Lalu, kemelut ini tercerahkan dan terselesaikan dengan kaidah ulima ridhohu. Amanlah! Eh, aman nggak, sih? Haha.

Akhirnya, gua jum’atan lebih awal. Gagal untuk tetap istiqomah di tempat member andalan, di bawah pohon pinggir jalan. Tapi, ini lebih dari itu.

Dengan wudhu yang masih memeluk, gua masuk. Dengan mengingat masih ada 2 jam kurang lagi untuk pelaksanaan dan dimulainya sholat jum’at, nggak terlalu masalah untuk sesekali. Nyatanya, effort itu hanya mengantarkan gua di baris paling belakang, pojok sebelah kanan mepet pintu. Dengan begitu, nggak apa-apa: yang penting bisa kebagian, masih kebagian.

Terduduknya gua setelah 2 rokaat tahiyatul masjid, suara gemuruh langsung menyeruak, menusuk telinga. Para ahli ibadah itu, melafalkan apapun yang penuh pahala: tadarus Al-Qur’an, nazhom, hingga dzkir-dzikir. Wah, serasa di Baitul Makmur, Alam Malakut!

Gua yang mendadak nggak ada persiapan, jadi plongo mau ngapain ngisi waktu 2 jam sampai dimulainya sholat. Ngerogoh-ngerogoh kantong kemeja ganteng itu, di antara lembar-lembar kusut uang beli sendal yang nggak jadi, terselip Tally Counter!

Cukup terselamatkan.

Cukup bermanfaat.

Cukup pantas untuk gabung sirkelnya para ahlu-ahlu alam malakut itu!

Dan hal yang pengen gua sampaikan di tulisan ini, sedari sebelum dan 2 jam penantian itu adalah benar-benar apa yang terimpikan. Ekspetasi dan manis buah hasil dari usaha bisa sholat di dalam inti ruang masjid itu!

Duduknya gua bertempat di shaf terakhir dari 7 shaf yang ada, tampak dengan jelas para orang-orang mulia itu: Cak Mad, Yai Atho, dan sesosok yang diperkirakan dzuriyah di baris depan pojok kanan itu, entah siapa. Karena memang, sorban menutupi sebagian besar kepala beliau. Melihat ekspresi dan tingkah para santri di sekitar beliau yang pada menunduk, udah bisa dipastikan bahwa beliau memang salah satu dzuriyah.

Hingga, hal yang paling ditunggu-tunggu, sedatangnya Yai Anwar yang dituntun Gus Adib mampu membelah baris santri yang langsung tertunduk ta’zhim, berjalan di atas sajadah panjang sedari pintu masuk sampai mihrab pengimaman yang sengaja mereka gelar: mengharap barokah. Gua, antara senang juga takut meringkut dalam ta’zhim.

Nggak lama, santri sibuk bergesaran memberi tempat yang menandakan bahwa ada dzuriyah lain yang akan lewat, atau mungkin bertempat. Ya, beliau adalah Yai Kafa dengan kopeah hijau dan sorban oranye-nya yang berdiri sholat tahiyatul masjid di shaf 6, terhalang 3 santri di sebelah kiri dari gua bertempat.

Bisa dengan jelasnya gua melihat wajah, juga aura beliau yang menuntut gua untuk tetap menunduk.

Beduk besar ditabuh mantap. Adzan bernada jiharkah di adzan awal dan rost di adzan kedua dikumandangkan dengan lantang lagi merdu oleh muadzin yang pengen banget gua peluk terus bilang, “Ajarin adzannya dong, Kang!”

Diselang itu, tepukan tangan dan “sst-sst” kembali terdengar yang menandakan, lagi-lagi, masih adanya dzuriyah yang datang. Ya, beliau adalah salah satu sosok dzuriyah yang sangat gua kagumi di pondok besar ini: Yai Zam, KH. Zam-Zami Mahrus.

Dengan waktu yang sempit itu, tentu masjid udah terisi penuh dan rapat. Tapi bagaimana pun, santri tetaplah santri di hadapan kiainya. Sosok kiai alim dengan wajah teduh itu, mendapat tempat di serambi kuning, ruang di sebelum inti dalam masjid.

Pada saat itu pula, gua kembali di persimpangan. Dengan kenyataan status santri yang menuntut untuk tunduk ta’zhim di dekat kiainya, nggak salah untuk memilih opsi lain dengan sesekali mengangkat wajah untuk sekedar melihat wajah kiai-kiainya yang teduh sejuk dari mata untuk hati-hati kami. Gua coba itu, ulangi, hingga candu.

Sesekali lihat belakang untuk Yai Zam, di kiri untuk Yai Kafa, hingga di depan tepat berdirinya Yai Anwar saat berkhutbah. Diri ini, nanar dan lemas untuk bayang yang membawa serasa hidup di zaman Nabi, serasa menjadi bagian dari Ahlu Suffah!

Melihat arsitektur masjid yang sederhana, ibadah dan semarak bacaan yang terafalkan, serta duduk, dekat, dan menjadi bagian dari ukhwah para ahli ilmu ahli khoir, terasa terobati dan tertolong untuk menatap diri dengan dosa-dosa yang terasa bergugur sebab itu.

Hadits, “Man tasyabaha bi qoumin fahuwa minhum,” hanya bisa gua amini penuh dalam, lagi harap.

Alhamdulillah, syukur bahagia ini tetap berlanjut dan tertanam sampai di pulang kayuh onthel, hingga tertulisnya di sini.

Hingga, berkacanya kita pada diri untuk waktu dan apa yang sudah diberi.

Siapa dan apa yang bisa kita banggakan? Apa yang bisa menjamin?

Kita yang hanya bisa mengharap kebaikan dari do’a guru-guru kita.  

 اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa