Layar
Bagaimanapun kita bisa mengambil pelajaran dari siapapun dan di manapun. Pelajaran itu sebenarnya berserak, sayangnya kadang kitanya aja yang kurang sadar dan mengelak. Nggak menafikan juga, kita bisa mengambil pelajaran dari film.
Sebagaimana dalam
unsur dan kaidahnya, terutama penulis, nggak mungkin melewatkan aspek koda pada
karya tulisnya. Baik tersirat ataupun tersurat. Itu kenapa produser dan
direktur film selalu menjadikan penulis sebagai saudara. Mungkin juga
ketergantungan.
Dan sejujurnya,
seperti membaca novel, nggak mudahnya gua mendapat chemistry sedari awal untuk
percaya pada sebuah film dalam menarik perhatian dari penokohan, alur dan
latar. Tapi, saat fase awal telah dilalui dan mulai terlihat arah alur cerita:
terlihat baik-buruknya, pilih lanjut atau berhenti. Kalau emang ternyata baik
dan menarik, gua nggak sungkan-sungkan buat meninggalkan dan mengkhianatinya.
Mungkin akan selalu terbayang-bayang, tergila-gila. Lalu mengawam, sebegitunya
untuk terobsesi.
Hingga film
yang berdurasi hampir 2 jam itu nyatanya masih terngiang di telinga, terngaung
di pikiran: semenjak 2 bulan selepas menonton. Lalu, nggak sabar melampiaskan
dan merubahnya menjadi tulisan.
Dari penokohannya
udah bagus, nggak terlalu banyak orang yang bisa lebih fokus untuk menikmati
dan mengamati dari setiap watak tokohnya. Alurnya maju mundur, tarik ulur, yang
menjadi alur yang nggak mudah dikarang dan nggak mudah pula untuk hilang
perhatian decak penonton. Apalagi film ini bertema sosial masyarakat bawah
dengan genre percintaan yang selalu berhasil mengambil views tinggi, selain dari
film horor, pastinya.
Itu mengapa
film ini begitu relate di setiap adegannya yang membuat terasa rugi
melewatkannya dari hanya spontan kedipan mata: seenggaknya bagi gua.
Bagaimana chemistry
tokoh utama terbangun dari cinta yang penuh kekurangan dan kelebihan. Termasuk
soal strata ekonomi dan penampilan. Juga soal dari penokohan lain yang
mendukung peran tokoh utama dan menjadi gambaran dari sosial yang tumpang
tindih. Tapi bagaimanapun, dalam konsepnya, komunikasi dan percaya menjadi
aspek dominan untuk dijadikan komitmen dan pegangan. Lalu, hari-hari. Kerjaan
dan impian, pikiran dan perasaan, berkembang dengan sendirinya.
Hingga, nggak
mengherankan, cemooh dan perendahan bisa dibuktikan. Lebih, mendobrak
batas-batas kemustahilan. Bukan siapa-siapa menjadi direktur perusahaan, jelek
menjadi menawan, impian menjadi kenyataan.
Apalagi ini
sampai menampilkan kepedulian akan pendidikan dengan adegan sekolah-sekolah
rakyat: belajar, mengajar-diajar. Dan nggak lupanya produsen film ini mengambil
genre komedi. Juga yang nggak kalah penting: perihal konflik dan plot
twice-nya! Bagaimana, ternyata, pasangan relationship goals itu bisa saling
benci, belum lagi soal antagonisnya tokoh sesentral ibu yang ternyata
protagonis. Ah, gua nggak bisa cerita banyak. Tangan gua kaku dikekang alur
yang berliku. Tonton sendiri lah!
Hal yang bisa
gua ambil untuk dijadikan pelajaran dari film ini adalah kesederhanaan.
Sederhana dalam hidup dan percintaan sekalipun. Melawan pesimis, dan percaya
bahwa kerja keras dan menerima apa adanya selalu berujung bahagia. Itu pesan
tersirat yang bisa gua tangkap.
Untuk yang
tersurat, nggak hanya gua tangkap, tapi juga gua tulis!
“Nyari yang
cantik itu gampang. Yang susah, nyari yang cocok.”
“Lu boleh
ngejar apapun yang lu mau. Tapi ingat, lu juga bisa kehilangan semua yang lu
miliki!”
“Nggak semua
orang yang butuh uang jadi hilang harga dirinya!”
“Kalau menjadi
sempurna bisa bikin kamu bahagia, tolong kasih aku waktu untuk aku belajar
mencintai itu. Karena aku terlanjur mencintai ketidaksempurnaan.”
Terakhir,
gua nggak bisa spill judul filmnya apa. Tapi, mau sebagus dan sekeren apapun
film luar, satu hal yang nggak akan dipunya: nilai sosial kultur masyarakat dan
segala problemanya. Film dalam negeri selalu punya cara dan ciri, juga
kapasitas dan kualitasnya sendiri dalam memberikan edukasi.
Intinya, maju
terus industri perfilman Indonesia.
Cintailah
produk Indonesia!
Cie, Indonesia.
Komentar
Posting Komentar