Kunci
Meski dirasa berat, akhirnya gua sama bakwan berangkat juga. Ia memilih menyetir.
Motor yang cukup untuk disebut butut itu, membelah angin di bawah langit
yang mendung dengan sedikit rintiknya. Tetes air-air perlahan berjatuhan, mungkin agar makhluk ada
persiapan akan basah. Sungguh, nggak ada yang begitu dikhawatirkan. Hanya,
jangan sampai rusak saja lembar surat yang tergenggam ini.
Motor mobil, satu dua terlewati. Aspal-aspal ditapaki.
Sesampainya di depan kantor ITAMA, nggak ada maksud lain, hanya ingin
menyampaikan surat undangan narasumber. Wawancara kali ini memilih nama H.
Ahmad Fatah Sa’di sebagai narasumbernya.
Tentu banyak nama yang terlist untuk project ini. Nama-nama yang sudah
terealisasi ataupun belum. Untuk Pak Fatah, tentu gua kenal dekat dengan
beliau. Sebelum beliau pindah tugas ke ITAMA, beliau sempat mengajar lama di
MA. Beliau guru gua, mapel tasawuf kala di kelas XII IIK 3. Secra singkat,
tentu beliau cerdas dan berwawasan luas. Selain itu, bagaimana luas wawasan
beliau dan beratnya tasawuf dapat dijelaskan dengan begitu ringan dan renyah.
Awal kenal, gua langsung terkagum-kagum. Gua langsung jatuh cinta, nggak mau
terlewat jam mapel beliau. Terutama jika beliau sudah mengaitkan sejarah di
setiap pembahasan.
Tentu gua antusias kala bau kencur itu. Tentu gua ingin tau apapun dengan
pertanyaan apapun. Dan yang bisa dipastikan, gua tanya satu, beliau bisa jawab
sampai 30 menit. Itu kenapa anak kelas begitu sensi kalau gua udah nanya di
saat mapel beliau: jam pulang dipertaruhkan!
Haha.
Jadi pengen ketawa aja kalau ingat itu. Begitu lucu.
Makanya, pada saat project ini terbit dan dibahas, gua mengusul nama Pak
Fatah di antara nama yang lain dan langsung di-acc setelah gua jelaskan
pertimbangannya. Malahan, gua dijadiin penanggung jawab atas sebagian
nama-nama. Salah satunya Pak Fatah, guru gua yang hebat ini!
Mikirnya, selain project ini sebagai wadah tambah pengalaman dan pelajaran,
gua jadi senang aja bisa sambung dengan beliau lagi. Alhamdulillah.
Tapi, saat itu, waktu mau antar undangan, ternyata beliau udah pulang
terlebih dahulu yang menandakan undangan nggak tersampaikan dan nggak jadi
ketemu.
Hebatnya, rencana Allah mengalahkan apapun. Waktu itu, gua dan bakwan
disambut oleh Pak Fajruddin Fatwa selaku wakil rektor ITAMA. Tentu suatu
kehormatan bagi kami yang tergolong mahasiswa ecek-ecek: semester 3 dan
semester 1. Kami bersalaman dan menyampaikan maksud. Beliau bilang, bahwa Pak
fatah sudah pulang.
Malahan, surat undangan itu diambil dan kami disuruh masuk ke kantor oleh
Pak Fajruddin. Surat itu difoto, dikirim ke Pak Fatah bersertaan dengan maksud
project kali ini.
“Nanti senin ke sini lagi. Beliau mulai ngantor dari jam 9 pagi. Kalian
bisa membahas ini di perpus ataupun di ruang dosen.” Sambung Pak Fajruddin.
Setelah jelas akhir project ini, bukannya kami diusir atau dengan bahasa
apapun yang semakna untuk mempersilahkan kami pergi dan kembali lagi nanti
senin, kami malah disuguhi. Menandakan obrolan akan berlanjut setelah ini.
Benar saja, di sofa empuk kantor institut teknologi itu, dua orang
mahasiswa ingusan berhadapan omong dengan wakil rektor yang nggak perlu
diragukan lagi: luas dan dalamnya khazanah keilmuan, juga pengalaman hebat yang
telah melalang buana.
Sebelumnya, gua mengakui penuh jujur, gua kenal dekat dengan beliau. Selain
karena memang beliau produk asli pondok ini, sebelum beliau pindah kamar ke
Lajnah Bathsu Masail, kamar beliau langsung mengahadap kamar gua. Kami
seasrama. Meskipun kala awal gua masuk kamar, beliau sudah menjadi pembina
kamar yang nggak perlu kaget kalau jarang menetap di kamar. Tapi, gua sering
ketemu di pengajian-pengajian yang beliau isi. Salah satunya di pengajian kitab
Adabul Alim wal Muta’alim, masterpiece-nya KH. Hasyim Asy’ari.
Selebihnya, beliau menjadi singa di LBM, mustahiq aliyah, lalu pindah ke ITAMA
dan menjadi wakil rektor. Begitu cepat batu loncatannya orang cerdas.
Dengan segala persiapan, berusaha paham dan mengimbangi alur obrolan.
Obrolan pertama dibuka dengan mengkritisi dan mengkritik project ini. Ngalor
ngidul, pikiran mahasiswa kentang ini ditarik ulur ngebut oleh tinggi dan berat
bahasa seorang wakil rektor. Kami membahas alur skema, format penulisan, output
pemasaran, relevansi pembahasan, validasi dan verifikasi, dan tentunya objek
narasumber.
“Pak Fatah itu cocok. Banyak data yang bisa kalian ambil. Terutama dari sisi tarbiyah, riyadhoh, dan
adab mengenai Yai Imam.”
Selain Pak Fatah, nama-nama lain dan asing menyapa telinga kami. Buat gua
jadi pengen nyatat dan memasukannya ke dalam list narasumber. Berbagai orang
besar dan beragam sudut pembahasan yang penuh akan data yang sedang dibutuhkan.
Tapi sayang, banyaknya dari luar kediri.
“Untuk saat ini, sambil mengisi waktu liburan kampus, kami hanya menyasar
narasumber di daerah kediri saja, Pak. Mengingat masih banyak nama di kediri
yang belum kami datangi.”
Lalu, nama-nama baru kembali mengudara yang berusaha kami tangkap, ikat
dengan pena. Alhamdulillahnya banyak nama-nama baru yang masuk list narasumber
untuk diriset dan dimintai datanya lewat wawancara.
Kedua, obrolan menyasar ke hal lain. Nggak kalah antusias: karya-karya.
Beliau bercerita bahwa akhir-akhir ini sedang mengerjakan sebuah
tulisan-tulisan yang akan terbukukan.
“Arsitek Intelektual Al-Mahrusiyah, mungkin bisa-bisa seperti itu
judulnya.” Ucap beliau yang kali ini diselingi senyum, akhirnya.
Secara sekilas, buku itu menjelaskan tentang kecerdasan dan perjuangan para
dzuriyah dalam mendirikan pondok ini, terutama dari sudut pandang gus-gusnya:
Gus Reza, Gus Melvin, Gus Nabil, Gus Izzul. Selain itu, selain sejarah,
kurikulum dan potensi pondok ini dibanding dengan pondok induk pun akan
dipaparkan.
Padahal gua tau, pak Fajruddin telah memiliki 3 buku lainnya yang telah
terbit: Dogma, meretas semesta, dan satunya lagi gua lupa judulnya. Kalau ada
kesempatan, gua pengen punya buku itu dan baca. Berharap bisa nular cerdasnya.
Ketiga, obrolan berganti dan menyasar segala perkontenan. Semua serba
dikritisi dan diberi masukan atas semua platform, terutama website.
“Website kalian itu udah bagus. Cuma kurang mengenai sasaran yang mana
website seharusnya menjadi wadah karya santri.”
Soal ini, kami hanya menyimak dan menimpali jika sesuatu yang ditanyakan.
Sampai akhirnya, lepas pula unek-unek ini.
“Untuk website, kami sadar bahwa tulisan yang mengisi website masih burupa
tulisan ringan. Website kami krisis pakar. Kalau jenengan tidak keberatan,
gimana kalau jenengan kami jadikan kontributor website kami, Pak?” Berani gua.
“Oh, boleh. Siap. Kalau saya boleh usul, kalian tambah kolom di website itu
rubrik ilmiah yang nanti diisi oleh para alumni yang akademis, yang memiliki
keahlian di bidang menulis.”
Di obrolan yang mereda, beliau menanyai kami: nama, asal, dan bidang. Ya,
dengan apa adanya, gua dan bakwan menjawab.
“Saya dari Bekasi, Divisi Literasi.”
“Saya dari Wonogiri, Divisi Kreatif.”
Di luar dugaan, di dalam kebahagiaan: penuh dan membuncah.
“Saya suka website kalian. Juga tulisan dari link yang diupload story
harian ig. Kamu, tulisanmu itu bagus. Dari sekian tulisan, saya paling tertarik
dengan tulisanmu dan tulisannya Annisa Miftahurrahmah.”
Bakwan nyengir, nengok ke gua. Gua nyengir, dengan tetap tertunduk. Bukan
apa-apa, senang aja tulisan gua ada yang baca, terlebih dari seorang wakil
rektor. Buat dipuji, hadza min fadhli robbi. Alhamdulillah.
Belum selesai sampai di situ, lagi-lagi, kali ini gua dengarnya rada anu.
Rada gimana gitu.
“Dibanding Nahrowi, tulisan kamu lebih bagus. Bagusnya, tulisan kamu itu
menarik, ada sisi ilmiah, dan nggak alay. Itu masuknya format narasi deskriptif
historis.”
Meski entah apa maksud dari narasi deskriptif historis, bukan itu yang jadi
fokus. Asal mau tau, Nahrowi itu guru gua! Biarpun masih kehitung kakak kelas 5
tahun, tapi ia udah ngajarin gua banyak hal. Gua belajar banyak darinya. Tentu
dan terutama soal tulis menulis.
“Lu nggak lapar, Bang?” Tanya bakwan saat usai urusan, di perjalanan.
Gua tau, tanya-nya seperti itu pasti ia lapar dan berniat ngajak makan.
Pertanyaan yang bermakna pernyataan ajakan. Gua jawab apa adanya.
“Kalau mau makan, jangan cari nasi. Tadi siang gua baru makan banget.”
“Makan mie ayam, nyok?!” Ajaknya, tawanya.
“Oke.”
Nggak hanya sampai di situ, obrolan ditetap berlanjut dan kini lebih padat:
makan mie ayam di mana? Bakwan mengusul sebuah mie ayam, tunjuknya, pada
pinggir jalan yang dilewati. Ia menjelaskan segala kelebihan dan hal-hal yang
sekiranya mampu menarik selera sehingga gua tergiur. Begitu recomended,
katanya. Meskipun semua itu pun juga katanya. Karena ia sama sekali belum
pernah nyobain tuh mie ayam. Masih katanya-katanya, jare-jare: jarang benere!
Rowinya nggak tsiqah, riwayatnya jadi munqathi.
Tentu, keputusan mudah diambil dari usul gua akan sebuah tempat mie ayam
yang jelas-jelas udah gua cobain dan enak. Dari rasa, tempat, harga, dan suasana
waktu yang kebetulan cukup mendung menunggu hujan: nggak terbantahkan!
Bakwan yang kembali memilih menyetir, hanya bisa narik ulur gas di bawah
komando gua yang meradar.
Dirasa nggak begitu ramai, nggak seperti biasanya yang membludak. Selain
mie ayam, di sana juga ada bakso sebagai menu pembanding. Tapi tetap, pendirian
dan kesetiaan kami nggak berubah: sekali mie ayam, tetap mie ayam!
Dari sekian mie ayam dan hal-hal berselera lainnya, gua yang yakin dan
memasrahkan pesan menu pada sohibul hajat, Si Bakwan malah pesan mie ayam
toping komplit: mie ayam, bakso, ceker, kripik pangsit, dan es teh.
Yang bener aje? Muke gile!
Meski dirasa nggak ada yang masalah dengan mulut yang setuju untuk
mengunyah, tapi perut? Jengat?
“Masa ini kripik pangsit, Bang? Kok aneh, ya?” Bingung bakwan pada sebentuk
kripik pangsit yang agak lain.
“Tapi enak?” Tanya gua di awal kunyahan kripik pangsitnya.
“Enak sih.”
“Haha. Apa sih yang nggak enak buat lu? Banyak nanya, makan aja udah!”
Obrolan tetap berlanjut, mengincar pembahasan apapun: di sela suap dan
sruput. Mengisi perut dengan menikmati suasana sore yang mendung meredup menyejuk,
melihat lalu lalang kendaraan yang tampak sibuk. Orang-orang masih bergelut
dengan waktu, juga capeknya. Mungkin jam pulang kerja.
“Krupuk, Bang?” Kali ini, bukan tanya bakwan.
Seorang lelaki muda yang kayaknya seumuran dengan gua, berdiri, tersenyum
pasi, dengan karung plastik besarnya menawari krupuk ikan palembang.
Gua meliriknya sekilas.
Terus Si Bakwan yang menanggapi.
Ia menolaknya dengan maaf.
Alasannya mudah: kripik pangsit kami masih terhampar berserak.
Jangan ditanya, gua aslinya nggak tega. Itu kenapa dari tadi gua nunduk
fokus pada mangkuk yang masih penuh lembar mie tergenang kuah. Meski ketebak,
pikiran dan perasaan tetap berisik menyuarakan aspirasinya. Bagaimana rasanya
di umuran segini harus mondar-mandir jalan kaki, dari satu kendaraan ke
kendaraan lainnya, dari satu warung ke warung lainnya, dan dari satu penolakan
ke penolakan lainnya: membawa karung plastik besar yang masih penuh krupuk di
hari hampir gelap. Di umur yang harusnya masih fokus belajar, masih di masa
yang seharusnya mencoba hal-hal baru dan menyenangkan, nyatanya ia harus tumbuh
dengan ditimpa beban yang seharusnya bukan untuknya.
Juga nggak habis pikir, tentang jualan krupuk di lampu merah dan siapa yang
mau beli. Masih mending untuk bensin dan es, tapi ini krupuk: siapa yang mau
beli, atau bahkan makan krupuk di lampu merah?
Nggak ada alasan yang memberatkan selain orang beli karena kasihan. Niat
berbuat baik. dan unek-unek ini gua ceritain ke bakwan, setelah lelaki muda itu
sudah menjauh.
“Itu juga masih mending, Bang. Masih kerja halal. Dari pada nyopet.” Timpal
bakwan yang kini tengah bergulat dengan ceker.
“Gua tau, Wan. Gua nggak menyalahkan itu. Tapi, harusnya tau pasar dan
strategi biar nggak ada capek berlebih. Kan bisa dengan cara ia nitip produk ke
warung atau apa. Dengan begitu bisa meminimalisir tenaga dan memaksimalkan
hasil.”
“Iya juga, sih.”
“Haha, lagi enak-enaknya ngeluh, malah dikasih kaca!” Lanjutnya.
Deg!
Nggak banyak kata, gua terdiam.
Menerawang pikir dan mengejar ketertinggalan mangkuk mie ayam yang masih
banyak, belum termakan.
Di saat itu, gua cukup memperhatikan lelaki muda tadi, menjajakan krupuk
dan penolakan. Senyum itu semakin pucat, pasi, getir. Gua nggak bisa
ngebayangin lebih.
Fokus makan dan sela obrolan, entah kenapa lelaki muda itu menepi, melihat
gua, dan kembali menawarkan. Untuk kali ini, tanpa pikir panjang dan alasan:
gua beli.
“Krupuknya berapaan, Bang? Ini tanggung buat ngehabisin kuah” Tanya gua,
sedikit beralasan.
“3 bungkus 20 ribu, 2 bungkus 15 ribu, 1 bungkus 8 ribu.” Jawabnya, dengan
senyum yang mencerah.
Akhirnya gua beli.
“Orang palembang asli, Bang?” Tanya gua penasaran, saat tergenggam bungkus
krupuk itu dan ia yang sedang mencari uang kembalian.
“Asli palembang.” Ucapnya, tatapnya, senyumnya.
“Banyuasin?”
“Dekat situ.”
Setelah itu gua nggak melanjut.
“Nggak ada kembalian, Bang.” Selanya.
Mungkin bukan bermaksud marketing. Pikir gua, melihat karungnya, ia yang
nggak kunjung dapat pembeli. Gua berpikir baik aja.
“Yaudah, nggak apa-apa. Ambil aja, Bang!”
“Yang benar, Bang?”
“Iya.” Coba membalas senyumnya.
“Terima kasih, Bang.”
“Iya.”
Ia beranjak. Bahagianya terasa, menular ke gua.
Di atas segalanya.
Apapun yang tersyukur, gua niati yang baik-baik kala itu.
Komentar
Posting Komentar