Kemarau

Dengan mengingat bahwasanya besok adalah bulan suci Ramadhan, sudah seharusnya kita riang bersuka cita penuh bahagia. Seharusnya sih begitu. Tapi, tentu, nggak mengecualikan kita akan berhadapan dengan sedih. Dihidangkan, meski hanya harus mencicipi beberapa.

Membiarkan tubuh untuk menemukan siklus tidurnya sendiri, malahan akhir-akhir ini gua udah mulai berdamai dengan malam. Meskipun masih rada ada sekat sungkan dan ketercanggungan. Meski harus ngantuk sedari isya dan tetap kembali bangun di dini hari. Ya, nggak apa-apalah. Yang penting masih ada merem malamnya sedikit. Yang penting nggak ganggu gugat sholat.

Di waktu melek itu, tentu gua isi dengan kegiatan malam seperti biasanya. Ya mungkin, rada agak berkurang dengan menimbang durasinya pun nggak sepenuh sebelumnya: anti tidur malam.

Sampai, di waktu pagi, keluar kamar dan cukup cerah.

“Alhamdulillah, semoga hari ini pakaian gua bisa kering. Semoga bisa ganti sarung lebih cepat!” Harap dalam pada jajar jemuran yang sudah hampir 3 hari menggantung digoda hujan.

Nggak lama, Apeng bangun, terus keluar.

“Sarapan yok, Peng?!”

“Lah ayo, Bang.” Tetap dengan senyum kedaerahannya.

“Gimana? Kemarin gua baru makan sekali. Semalam kan juga nggak jadi makan, udah keburu tidur. Benar-benar butuh asupan ini.” Keluh-keluh.

“Haha. Siapa suruh tidur? Gua mah jadi makan semalam.”

Dengan kiranya mendapat tanggapan positif bahwa gua ada teman sarapan, tapi pada saat ayo-ayo gua yang kesekian, Si Apeng kok malah klemer. Kayak nggak serius. Gua yang sedikit kesal, akhirnya memilih masak mie yang udah cukup lama berdiam di lemari. Langsung 2 bungkus dan beberapa sachet saus!

Sembari menunggu air mendidih, gua bengong aja di depan pintu: melihat sekitar yang sepenuhnya masih sepi. Hingga, nggak lama, Si Apeng malah terlihat bersiap memakai jaket yang menandakan ia akan pergi.

“Gua ngonthel dulu ya, Bang!”

Gua yang udah terlanjur kesal, mengiyakan aja.

“Lah, mau ke mana dia? Tadi gua ajak keluar dia malah ribet. Sekarang malah mau pergi keluar sendiri. Nggak jelas. Biarinlah, sekalipun kalau emang dia mau sarapan bareng, pasti juga ngajak.” Batin gua yang ngelihat Apeng malah pergi keluar sendiri dengan onthelnya. Gua ditenangkan dengan uap air yang mendidih, lalu bersiap kenyang makan mie.

Hingga, belum sepenuhnya mie gua matang, Apeng udah kembali dengan wajah yang cukup lesu untuk pagi sesejuk ini. Lalu, duduk dan membakar rokok puntungan.

“Maaf ya, Bang. Nggak jadi. Belum rejekinya.” Ucapnya tiba-tiba.

“Kenapa?” Tanya gua. Ia malah menampakkan ekspresi yang lain, cengar-cengir yang bermakna ia sedang nggak punya duit. Itu yang gua tangkap.

“Haha. Gua tadi habis ke ATM, Bang. Ternyata emang belum dikirim.”

“Yaelah, Peng. Kayak sama siapa aja. Udah ayo, gas!” Pembahasan sarapan bareng itu kembali gua angkat.

“Yah, sungkan gua, Bang. Nggak usah deh.” Tetap dengan cengirnya.

“Halah!”

Ia tetap tanpa ada tanggapan, wajahnya serius. Tentunya gua tertampar, karena gua udah suudzon bahwa tadi kiranya ia ribet dan berniat buat pergi sendiri nggak mau sarapan bareng. Ternyata dia emang lagi nggak punya duit. Kedua, masya Allahnya, ia yang sempat-sempatnya bilang, “ATM belum dikirim, malah nemu rokok puntungan kayak begini. Mungkin ini cara Allah buat menghibur gua, Bang.”

Akhirnya obrolan ngalor ngidul.

“Lah, emang kiriman lu berapa?” Tanya gua seperti itu bukan maksud apa-apa, bingung aja, ini yang masih terhitung awal bulan kok dia malah udah nggak punya duit.

“Kiriman gua 500, Bang. Tapi dibagi 3 sama adek gua. Masing-masing jadi 150, yang 50-nya buat adek gua bayaran.”

Gua tentu kaget. 150 ribu sebulan dapat apa? Meskipun nggak hanya soal makan, gua yang uang bulanannya lebih dari dia kadang malah masih merasa kurang dan boros. Apalagi ia mahasiswa, ngerokok, dan harus mengurus kedua adiknya di pondok ini.

“Tapi, itu semua bermula dari nelongso, Bang.” Ia mulai berkisah.

“Pas awal kiriman, gua sama goblin makan di ayam nelongso. Ayam kepruk. Goblin gua bayarin. Habis 70 ribu sama rokoknya. Terus gua juga punya hutang sama goblin 50 ribu, goblin udah gua bayarin tapi hutangnya tetap gua bayar. Jadi, belum sampai sehari kiriman gua sisa 30 ribu! Haha.”

“Lagian lu ngapain sok-sok an makan di situ. Sekarang malah nelongso beneran, kan?” Tanggap gua.

Gelak itu terulang, cukup keras.

“Ya, namanya pengen tau, Bang. Nyobain.”

“Berarti lu selama ini, dari awal bulan sampai sekarang, makan apa?” Bingung gua.

“Ya makan nasilah, Bang. Allah mah gampang aja bang ngasih rejeki.”

Deg!

Ngeri ngomong sama santri.

“Yaudah ntar makan mie sama gua.”

“Haha, iya bang. Makasih. Gua merasa dikasihani.” Celetuknya bernada bercanda.

“Nggak merasa dikasihani juga, muka lu udah menuntut dikasihani, Peng. Penuh iba! Haha.”

Hingga, tepat saat matangnya mie itu, gua sama Apeng makan bareng. Tapi bagaimanapun, mie tetaplah mie. Aromanya tetap menyasar hidung-hidung yang nggak bersalah. Ya, walaupun pada hidung-hidung orang tidur sekalipun. Hingga, mangkok plastik besar berwarna hijau itu dihadap oleh 4 kepala manusia. Meskipun yang 2 hanya cicip saling sesuap.

Obrolan masih berlanjut, sampai habisnya mie dan minum.

“Rokok gua tuh, jangan nyari puntungan lagi!”

Ia hanya nyengir.

Lalu, gua mandi dan melanjut kegiatan yang bermanfaat lainnya. Termasuk sowan yaine ke pondok induk!

Sepulangnya gua di cerah yang kesekian, masuk kamar, letak peci, lepas kemeja, ambil laptop dan rebahan di samping Apeng yang kayaknya lagi bikin pamflet jadwal pengajian Ramadhan. Kerja pada saat itu ditemani biskuit hatari, air hangat, playlist musik andalan, dan beberapa batuk yang mengudara. Apeng masih aja fokus sama layar bercahaya di ruangan yang sepenuhnya masih gelap. Kamar serasa goa!

Bolak-balik, dari file satu ke file lain, dari tulisan satu ke tulisan lain, dari musik satu ke musik lain. Aransemen dan instrumen playlist musik itu berseteru dengan suara tik-tik keyboard.

Hingga, berhingga-hingga. Apeng udah menyelesaikan kerjaan dan laptopnya, gua berniat menyelesaikan satu tulisan lagi.

“Assalamualaikum, info-info!” Berisik Said saat masuk kamar, saat kamar masih berstatus kamar, belum kantor.

“Waalaikumussalam.” Jawab makhluk-makhluk sadar, atau juga yang baru sadar: baru bangun. Untuk bangun, bisa karena insting, berisik, atau juga DURIAN!

Entah kesambet apa tuh Si Said, tiba-tiba masuk kamar bawa durian yang cukup besar. Sepagi ini? Tentu garap tulisan ini turun penting ke nomer dua untuk diisi makan durian di nomer satu. Haha. Damage durian tentu nggak main-main. Bahkan lebih sakti dari 2 bungkus mie bersaus. Kali ini, 8 orang bangun dan hanya 5 orang yang memilih bersantap ria.

Overthinking tentang perut yang hanya baru diisi mie pedas, lalu dihadapkan durian: gua mencari dalih.

“Ah, nggak apa-apa. Makan buah sehat! Lagian jangan sampai menghalangi niat baik Si Said buat berbagi.”

Akhirnya, sebongkah durian gemuk itu harus menyerah pada lumur jari-jari dan mulut, juga kumis-kumis.

Tapi, namanya juga manusia.

“Beli lagi, iuran-iuran!” Komando bos kamar, jurnalis senior, mengeluarkan lembar uang terlebih dahulu. Tanpa pikir panjang, pasukan langsung ikut komando. Gua dan Said ditunjuk sebagai senator.

Dengan anggaran yang terkumpul, lebih dari cukup untuk bongkah-bongkah durian yang menunggu. Mungkin juga, mulut-mulut yang menunggu.

“Durian tadi, lu beli di mana?” Tanya gua ke Said.

“Arah sekolahan.”

“Mending gua kasih tau tempat durian yang recomended, pas buat kualitas dan harganya.” Ucap gua bernavigasi tetap dengan Said yang mengemudi.

Cus ngeng!

“Lu tau nggak, Bang? Tadi sebelum beli durian kan gua sarapan soto dulu, ya. Nambah telur, kerupuk, es. Eh, tiba-tiba gua dibayarin sama-sama ibu-ibu di samping gua.” Ucap Said di pemberhentian lampu merah.

“Kok bisa?”

“Nggak tau, gua juga nggak kenal. Ngobrol juga nggak.”

“Alhamdulillah berarti.”

“Gua mikirnya, apa karena waqiahan, ya? Sebelum sarapan tadi gua baca waqiah dulu. Akhirnya gua mikir, mungkin duit gua ini emang buat anak-anak, sedekah harus dibalas sedekah. Dan gua beli durian.” Jujur anak bos sawit yang sholeh itu.

“Lah sama dong! Kok tepat ya? Dari kemarin gua pengen banget makan durian, tapi belum jadi-jadi. Tadi pagi gua sholat dhuha 2 kali takbir, eh dapat 2 kali makan durian!”

Tanpa dibuat-buat, gua dan Said tertawa penuh dengan kenyataan orang-orang pada ngelihatin: para penunggu lampu hijau.

Lalu lalang pagi, udah cukup ramai dengan kenyataan bahwa besok sudah Ramadhan. Segala macam lapis masyarakat menyambut dengan caranya tersendiri. Ya, termasuk beli sayur dan obralan toko pakaian itu. Gua memilih merayakannya ke tukang durian!

“Lu jago nawar kan, Bang?” Tanya Said, di tempat itu, berhadap hampar durian dan muka-muka yang ngiler.

“Bisa diatur!”

Setelah diamanahi sebagai senator oleh masyarakat kamar, kini gua malah double job dengan harus menjadi negosiator!

Dengan bermodal anugerah lisan sakti mantra guna ini dan buku psikologi komunikasi-nya Kang Iwan yang belum gua balikin karena belum selesai baca, patok harga durian itu dalam ancaman! Whahaha. Nggak hanya itu, dengan berbekal bimbel di tukang durian Jombang dan kuliah pendek di kampung durian Kanyoran bukan hal yang sulit untuk membedakan durian dan tipu marketing abang-abangnya: lewat aroma, duri, tangkai, hingga ketuk suara udah gua pelajari!

Dengan anggaran yang diperkirakan hanya bisa dapat satu durian, atau mungkin juga dua meski rada agak nggak percaya diri. Tapi, dengan pertolongan Sang Maha Kuasa, gua dan Said bisa dapat 3 gelondong durian! Haha. Alhamdulillah.

Udah ah, ntar lu pada pengen!

Sekian.

Ditutup.

Wallahu a’lam.

Bye!

 

 

Oh, iya. Jadi pelajaran apa yang bisa diambil? Inna ma’al ‘usri yusro, sebagaimana setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Nggak mungkin Allah memberi kesedihan, tanpa kebahagiaan. Nggak mungkin Allah tanpa membalas kebaikan suatu hamba.

Jadi, buat yang lagi sedih, sudahi sedihnya.

Jangan cengeng!

Sini makan durian!

Tapi, ya masa nggak sungkan, ikut makan durian tapi nggak ikut iuran? Sepantasnya lah!

Haha.

Selamat Ramadhan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa