Glory
Ramadhan harus tetap gerak: badan dan pikir ini, tentu hati.
Dengan tiba-tiba, komandan ngajak rapat dan nanti malam. Mungkin kesal,
karena seharusnya udah dari malam-malam sebelumnya. Padahal waktu itu, dia yang
ngajak, dia juga yang ketiduran. Dan yang namanya prajurit pasti ikut komandan.
Termasuk gua, ya meskipun ada senggang waktu beberapa konten youtube dan satu
film perang yang belum sampai selesai hingga tertidurnya manusia yang pernah bercita-cita ingin menjadi power rangers hijau sewaktu TK ini. Mungkin juga,
ketiduran.
Pada saat itu, kira gua, Sang Komandan emang benar-benar marah. Tapi,
sedetik kemudian, semua anggapan gua terbantahkan.
“Rapatnya di tempat biasa, sekalian kita nonton bola. Manchester United
main kan?” Ucapnya yang dijawab bahagia gua. Harapan kecil ini, terkabulkan:
nobar!
Karena ini rapat literasi, jadi udah bisa dipastikan bahwa anggota rapat
hanya akan diisi oleh para penulis-penulis. Semua hal tentang kepenulisan dan
hal-hal terkait akan dibahas panjang dan dalam, itu pasti. Tapi, buat dibahas
berat, semoga nggak berat-berat banget. Aamiin.
Mengecualikan tulisan dan apa yang dibahas pada saat rapat besar itu,
sejujurnya gua pengen cerita tentang nobar aja. Kalau ada hal bahagia, kenapa
harus ngurus hal sedih?!
Meski dirasa penting nggak penting, hal ini perlu kiranya gua bahas.
Meskipun akan tetap terukir di hati, kebahagiaan ini harus dihargai dengan
selayaknya pada tulisan: ini perihal sejarah.
Pada momen itu, Manchester United akan menghadapi Liverpool. Tentu ini
pertandingan bergengsi, tentu MU kurang dijagokan. Mengingat bahwa peringkat
Liverpool jauh di atas MU, dan trend positif Liverpool yang masih bertahan di
Carabao Cup dan Europa League begitu menjamin. Lagi-lagi, di musim ini,
Liverpool merupakan salah satu yang berkesempatan untuk menjuarai Premier
League selain Manchester City, Arsenal, dan Aston Villa. Udah barang tentu
Liverpool begitu diunggulkan pada laga ini.
Dan Manchester United? Dengan terusirnya di sekian event bergengsi dan
sulitnya untuk menjuarai liga inggris, FA Cup adalah satu-satunya kesempatan
untuk menunjukkan jati diri bahwa Manchester is Red! Apalagi ini semi final,
selangkah menuju final dan juara.
Meskipun kenyataannya bahwa MU akan menghadapi team super power sekelas
Liverpool, Red Devils masih mendapat udara segar bahwa laga akan digelar di
kandang: Old Trafford Stadium. Pasti Mu akan bermain dengan tensi tinggi,
meskipun udah jelas bahwa hasil statistik tetap mengunggulkan Liverpool. mungkin itu salah satu alasannya.
Kang Iwan, selaku komandan, Rohman, dan Abidzar, berangkat ngonthel duluan.
Disusul gua, Said nyusul belakangan. Maklum, ia team ngaji malam. Akhirnya, para
penulis-penulis onthelis itu berangkat dan sampai. Meskipun, desclaimer, merasa
cukup tersinggung jika onthelis ternyata sepedanya bukan onthel. Yah!
Sesampainya di sana, ternyata udah sangat ramai. Dengan kenyataannya gua
tau, bahwa ini akan ada big match, tapi pikiran gua malah nyangsang ke
mana-mana.
“Kok Ramadhan bisa seramai ini, ya? Malah kebanyakannya yang pakai sarung,
lagi!” Bingung gua pada tempat itu yang dipadati santri, padahal ini cukup jauh
dari pondok. Pikir baiknya, mungkin ini emang jam rehat dari ibadah selama
puasa. Pasti tadarus, ngaji, dan hal baik lainnya udah dilakukan sedari pagi,
siang, sampai berbukanya di waktu maghrib. Apalagi tarawih kan 23 rokaat, capek.
Semua orang memang pantas mendapat hiburan!
Cari tempat dan pesan-pesan. Sebagaimana konsep dan aturannya, rapat dan
diskusi, nggak boleh sambil makan. Karena memang nggak efektif untuk tuntut
urusan perut dan otak. Jadi, bisa rapat dulu atau makan dulu. Dan kami memilih
untuk makan dulu. Tapi karena ini ada nobar, jadi sekalian nobar dulu. Makan
sambil nobar, nobar sambil makan. Waaah!
Di meja yang langsung menghadap tv berukuran 40 inc dengan rasio 16:9 itu,
layar jernih beradu padu dengan speaker merdu komentator bernada gebu.
Meskipun, lagi-lagi, tetap penonton lah yang menjadi komentator sesungguhnya!
Skema 4-2-3-1 diterapkan coach Erik Ten Hag untuk mendobrak Liverpool
dengan 4-3-3. Romus Hojlund akan ditopang Marcus Rasford di sayap kiri, Bruno
Fernandes di tengah, dan Alejandro Garnacho di kanan. Kobbie Mainoo dan Scott
McTominay di gelandang bertahan, lalu disusul Wan Bissaka, Varane, Victor
Lindelof, dan Diogo Dalot di barisan pertahanan. Kemudian Andre Onana tetap
dipasrahkan sebagai penjaga gawang.
Meski seharusnya MU diperkuat dengan Casemiro, selaku gladiator pembangun
serangan, nyatanya tim ini masih memiliki beberapa PR, termasuk cedera dan
akumulasi kartu. Berbanding terbalik, Liverpool yang begitu pd dengan pemain
intinya.
Priiit!
Peluit disemprit.
Pertandingan dimulai.
Di menit-menit awal, MU bermain cukup konsisten dan rapih, terlihat agresif.
Permainan cukup menekan, baik saat menyerang maupun bertahan. Hingga akhirnya
gol pertama Mu diciptakan Scott McTominay di menit 10, masih begitu awal untuk
mendongkrak kepercayaan diri dan menolak kemustahilan.
Nggak diduga, ternyata mayoritas penonton dan hadirin jama’ah nobariyah
pada malam itu juga MU parah! Hal itu bisa mudah dibuktikan, apa dan kepada
siapa lempar komentar itu mengudara. Terutama di cipta gol itu.
Saling serang, saling bertahan, hingga datangnya Si Said.
“Wih, udah 1-0 aja.”
“Nah, pendukung MU udah lengkap, bersatu.” Tanggap komandan. Maklum dari
sekian penulis, MU memiliki suara cukup besar dengan kenyataan gua, Abidzar,
dan Said sebagai pendukung setia. Lalu Rohman, Liverpool sejati. Kang Iwan
memilih netral sebagai pendukung Barcelona. Ia hanya tim hore, bermodal air dan
api. Air untuk pemenang, api untuk pecundang. Meskipun, siapapun itu, pastinya
tetap disiram.
“Udah, Man. Sekarang harus mengakui, bahwa MU itu berkualitas. Road to
Wembley!” Provokasi Said pada Rohman yang keliatan ketar-ketir.
Mulut gua diam aja, cukup senyum, meskipun perasaan hati ini meledak
membuncah kayak petasan sunatan. Karena memang, di sisi lain, gua tau
konsekuensi sombong itu apa.
Hingga, benar saja, di menit-menit selesainya half time, Liverpool
membalasnya dan 2 gol! Mac Allister di menit 44 dan Mohamed Salah di menit 47.
Dan prit-prit, babak pertama ditutup dengan mulut Said yang menutup.
Rohman yang malah ternganga.
Breaknya pertandingan membuat tensi ketegangan menonton berkurang. Sisi
kemunasiaan kembali terasa dengan obrolan, setelah hampir sepenuhnya fokus
diberikan untuk layar bergambar bola yang bergerak ke sana ke mari. Buat yang
haus, kembali pesan minum. Mie yang mendingin, kembali disentuh.
“Gimana nih MU?” Sengit Rohman pada skuad. Dan sedangkan skuad, hanya
berusaha kuat.
“Baru babak pertama!”
“Lihat aja!”
“Bismillah, comeback.”
Hal itu nggak bertahan lama, karena babak kedua udah menunggu.
Beberapa pemain ada yang digantikan dan menggantikan. Permain masih konsisten, meskipun tensi kian meninggi dan memanas. Lalu
ekspresi, emosi, dan diksi penonton kian pedas. Skore masih 1-2, MU tertinggal.
Malah kini, Liverpool terus menekan, MU terus tertekan. Liverpool terus
menyerang, MU terus terserang. Hal itu tentu berdampak pada Rohman yang terus
menekan dan menyerang yang membuat kami terus tertekan dan terserang. Permainan
Mu menurun, benar-benar berbeda. Nggak seeffort babak pertama. Perhatian
beralih ke barisan bek dan kiper yang terus melakukan penyelamatan dengan epic.
Nggak mengecualikan juga perihal serangan dan peluang, ya meskipun masih banyak
yang terbuang.
Hingga, permainan kembali hidup dengan ditarik keluarnya Rasmus Hojlund
dan digantikan dengan Anthony. Gemuruh semakin menyeluruh dengan kenyataan
Anthony melakukan gol balasan di menit ke 87 melalui tendangan gasingnya. Meski
jual beli serangan tetap berlanjut, goal tambahan belum ada yang tercipta
sampai di menit hampir akhir.
“Ahhhhhhhhhh!” Sontak teriak penonton penuh kompak saat Marcus Rashford
gagal menciptakan gol di tengah umpan matang berjarak one by one dengan kiper.
Peluang emas, namun sayang, hasil tendangannya bikin lemas: masih melenceng,
Mas!
Karena ini semi final, mau nggak mau harus ada yang menang untuk
melangkah ke final untuk bertemu pemenang antara Manchester City dan Chelsea.
Hingga, ekstra time atau perpanjangan waktu diberikan. Masing-masing babak 15
menit.
Dengan stamina setiap pemain semakin berkurang, tentunya akan berdampak
pada peforma di lapangan. Tapi, stamina penonton? Oh, nggak berpengaruh sama
sekali!
Pertandingan semakin seru, dengan ternyata Liverpool masih bisa membalas
gol dengan tendangan keras dari Harvey Elliott di menit 105. Manchester United,
Old Trafford, tempat ini, dan setiap hati yang mengharap kemenangan ini begitu
dag dig dug ser jika saja harus kalah, terusir di kandang sendiri! Apalagi
harus menerima kenyataan mayoritas akan kalah dari minoritas, juga 3 pasang
telinga pendukung setia dari 1 mulut pendukung sejati: jangan lunturkan
merahnya, jangan sampai padam apinya!
Apalagi saat wasit meniup usai babak extra time pertama untuk dilanjut
babak kedua, hanya ada tersisa 15 menit untuk mencipta gol-gol balasan dan
menang!
Dengan berkat Sang Maha Kuasa di bulan puasa, setelah 2 kali peluang
emas yang bikin gua kesal sedari awal, akhirnya Marcus Rashford bisa
membuktikan kelas dan menebus kesalahan di peluang ketiganya dengan gol indah. Skor menjadi 3-3. Berbalas gol masih berlanjut, kemenangan masing-masing tim masih terbuka
harapan meski dengan degup denyut. Dengan ini, formasi nggak terlalu dipikir,
konsisten mereka terkalahkan dengan kalap untuk menyerang dan gol. Waktu semakin menuntut, nggak mungkin menunggu.
Di kemudian, sungguh menu sahur yang paling bergizi dan mengenyangkan dari asupan gol
seorang anak muda berbakat Manchester United yang berhasil menahan serangan dan
mencuri bola, membalikan serangan dengan counter attack yang digiring Alejandro
Garnacho, lalu memberi assist melihat celah ke pemain sebelah kirinya untuk
ditendang: gol tercipta di kaki Amad Diallo pada menit 121!
Skor 4-3 bertahan sampai selesainya pertandingan. Benar-benar begitu dramatis dan epic!
Hingga, momen itu, di detik itu: Manchester United, Old Trafford, tempat
ini, dan setiap hati yang mengharap kemenangan itu sepakat untuk berselebrasi dengan
cintanya masing-masing!
Ya, termasuk teriak, berdiri, dan joget-joget di atas kursi panjang kayak orang
gila. Haha, kenapa? Bukannya cinta itu buta? Udah pernah khatam buku Layla
Majnun?
Hahaha.
Huhu!
Meskipun sepanjang sedalam seberat pembahasan rapat di setelah nobar
itu, sejujurnya, otak gua berdengung lirik:
Glory glory Man united,
Glory glory Man united,
Glory glory Man united,
As the reds go marching on on on!
Haha.
Alhamdulillah.
Dan lu tau mulutnya Si Said setelah itu?
Juga, mukanya Si Rohman?
Haha, kayaknya lirik glory glory Man United lebih indah dan merdu dibanding suara absurd kakek-kakek di toa masjid membangunkan sahur, bertalu-talu. .
Untuk ini, sejarah mencatat dan berhastag Ramadhan kareeem.
Komentar
Posting Komentar