Coblos

Akhir-akhir ini, bumi terasa jadi lebih ramai. Entah, begitu kreatif dan antusias sekali para makhluk penghuni untuk tetap melestarikan planet tempat tinggalnya, meski dengan sekedar beramai-ramai. Meski entah penting entah tidak. Sekali lagi, yang penting ramai. Itu juga udah bagus. Rada pantas.

Untuk segala hal keramaian ini, pemilihan pemimpin begitu sedap untuk dibicarakan. Ya, pesta demokrasi sekelas presiden sebagai pemuncak kursi jabatan tertinggi di negeri ini akan dimulai beberapa bulan ke depan. Bagaimana tidak, di hari itu menjadi penentu nasib negara untuk 5 tahun lamanya. Tentu harus koar-koar lebih. Mereka menyebutnya adu gagasan, kami menyebutnya ramalan. Mungkin juga lelucon. Tinggal kita tunggu aja, kapan tawa-tawa itu meledak dan getir. Muak.

Meski bagaimanapun yang namanya negara itu nggak bisa dilepaskan dari yang namanya politik. Apalagi untuk aspek ruang lingkup agama sekalipun, penting kiranya pengkorelasian antara negara, agama, dan politik. Mungkin sudah hafalnya kita akan KH. Mahrus Aly yang mengatakan, “man lam ya’rif assiyasah, akalahus siyasah. Barang siapa yang tidak mengetahui politik, maka akan dipolitiki.”

Dalil soal ini banyak. Cari sendirilah, jangan malas!

Tanpa sekalipun memandang pengdikotomiannya seperti Product Oriented Campaigns, Candidate Oriented Campaigns, Ideologically or Cause Oriented Campaigns, ataupun ungkapan “campaigns generally exemplify persuasion in action”-nya Perloff, kampanye adalah hal yang harus. Jangan sampai hal ini terlewat. Paham nggak paham, gelap atau terang, bagaimana caranya agar kampanye bisa ramai dan menarik perhatian, juga memantapkan pilihan. Nggak usah ke presiden dulu, para calon legislatif tiba-tiba saja mukanya sudah berderet di mana-mana. Dengan begitu menjanjikan, mereka berpose, berjargon. Mereka, orang-orang asing yang membawa dan niat membawahi daerah tanah singgah kita.

Itu yang ingin, akan kita bahas.

Orang-orang asing yang tiba-tiba muncul dan mengatas namakan mewakili kita itu berpose dan bejargon. Dengan percaya dirinya mereka berpose, bergaya, menjual muka dan harga diri agar disambar mata para kaum jelata. Bagaimana sekiranya menarik dan bayang-bayang wajah mereka itu bisa diterima mata dan nyangkut di pikiran. Agar kita terus dibayang-bayangi sampai hari pemilihan.

Bukan maksud nge-judge ataupun merendahkan, bukankah penampilan merupakan salah satu aspek gambaran diri? Bagaimana mereka yang katanya akan mewakili kita dan pastinya berintegritas tinggi seiring dengan persoalan yang terus meninggi dan bertumpuk itu berderet rapih, saling bersaing seolah marketing. Nggak mau kalah, bagai upil dan ingus. Bagai alfamart dan indomart. Di sana ada baliho lawan, di sana pula harus ada baliho brending diri lainnya. Jangan sampai lawan mendapat perhatian seorang diri!

Bahkan, jargon. Entah kenapa ya, gua juga bingung, yang seharusnya para calon petinggi dan wakil rakyat itu mengemukakan dan beradu pendapat gagasan, malah jatuhnya jadi jargon. Yel-yel. Mungkin sama menariknya dengan lantang teriakan yel-yel anak pramuka waktu ikut jambore.

Ini masalah penting. Selain dari penampilan, ucapan pun lebih menggambarkan akan kepribadian. Gambaran diri. Seperti yang kita tau, isi otak atau seenggaknya pemikiran seseorang itu bisa kita lihat dari lisan atau tulisan. Karena memang output pemikiran itu kalau nggak lisan, ya tulisan. Meski kita nggak dengar ucapan dari lisannya langsung, setidaknya tulisan memberikan solusi untuk itu. Lah ini, udah penampilannya kureng, kata-katanya nggak meyakinkan, apalagi untuk urusan tindakan tingkah laku, mukanya saja kita asing.  

Dan untuk hal ini, ucapan dan kampanye itu selalu bermakna janji dan beri harap-harap. Hingga, nggak menutup kemungkinan untuk timbul kesan muak di kemudian, dari tinggi ekspetasi dan ingkar janji.

Dengan semua ini ada 2 kemungkinan: rakyatnya yang rusak atau (calon) pemimpinan yang rusak. Politik rusak, negaranya rusak.

Mungkin ada sebagian orang yang memaknainya dengan acuh, geli, atau malah menseriusinya sekalipun. Segelintir. Ya, setiap orang berhak berpandangan soal ini. Tapi, setiap orang harus berpikir jernih.

Berikut adalah jargon-jargon dari orang yang katanya akan menjadi wakil rakyat, wakil kita, yang telah dikumpulkan beberapa dari sekitar yang ia temui di jalan-jalan.

1. Ora Iki Ora, Panggah Ae

2. Mengabdi Tanpa Korupsi

3. Ngopi Sek, Ben Mantep Lek Milih

4. Pancen Pas

5. Tuanku, Ya Rakyat

Ee.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa