1002

Jika kita tau, bahwa akan menghadapi perang dan musuh yang besar, sudah bisa dipastikan hanya ada 2 pilihan: menyerah dan kalah atau bersiap dan menang!

Tapi, untuk menang, bersiap bukan hanya sekedar bersiap. Paling tidak, harusnya kita punya kekuatan yang sebanding. Lebih-lebih kekuatan yang lebih. Jika perang dan musuh itu besar, pasukan dan usaha kita pun harus sama besar, atau bahkan harus lebih besar. Tentu ini nggak mudah!

Bagaimanapun, semua setuju: ingin hasil besar, harus usaha besar. karena memang al ajru biqadri taab, hasil gimana usaha. Percaya dan yakin aja, bukannya usaha tidak akan mengkhianati hasil?

Perang ini, bukan soal angkat senjata dan tumpah darah. Tapi, soal menekan pikir dan merajut keyakinan: Lolos dan Lulus Festival 1002 Bait Nadzom Alfiyah adalah Harga Mati!

Ya, bisa menjadi santri jebolan 1002 bait nadzom alfiyah merupakan hal yang diidam-idamkan. Bukan hanya soal diidam, nggak sedikit dari santri yang jatuh tergelincir nggak bisa mencapai gelar itu. karena memang, percaya nggak percaya, nggak ada ketentuan pasti seseorang mampu dan percaya diri untuk bisa lolos dan lulus: Alfiyah penuh sihir!

Nyatanya, orang-orang yang memiliki kemampuan otak yang mumpuni banyak yang nggak lolos. Ataupun bagi mereka yang sering pegang nadzom setiap hari setiap saat, juga ada saja yang nggak lolos. Cerdas dan rajin bukan jaminan lolos. Lolos bukan hanya bermodal cerdas dan rajin.

“Berarti kita nggak perlu cerdas dan rajin?”

Ya, nggak gitu juga. Maksudnya, kalau yang cerdas dan rajin aja susah lolos, apalagi yang kurang cerdas dan malas?

Meski cerdas dan rajin bukan patokan, hal itu seharusnya menjadi dorongan motivasi bagi golongan gua untuk bisa lolos. Bisa menjadi santri jebolan 1002 bait nadzom Alfiyah butuh juga perihal tirakat, mengatur waktu dan menata hati. Jangan ditanya untuk soal lalaran setiap waktu.

Untuk ini, gua nggak mau cerita soal gimana usaha gua buat menghadapi Festival 1002 Bait Nadzom Alfiyah. Bukan apa-apa, dirasa nggak penting aja: setiap orang pasti punya usaha habatnya masing-masing!

Hingga, waktu itu tiba.

Festival ini diperuntukkan bagi siswa madrasah diniyah yang telah menginjak kelas 2 Aliyah. Karena memang itu nadzom dan hafalan mereka. Tapi, tetap ada kesempatan bagi kakak kelas 3 Aliyah yang ingin ikut festival, dengan catatan, harus selesai hafalan nadzom Jawahirul Maknun-nya dan belum pernah ikut festival 1002 bait sebelumnya.

Hebatnya, kelas 2 Aliyah yang sekarang ini ikut serta semua dalam festival: nyewu seangkatan! Untuk angkatan, bukan hanya kelas 2 Aliyah pondok pusat. Tapi juga pondok ngampel.

Setelah panitia telah mempersiapkan semuanya, sepulang madrasah, peserta pun berdatangan. Karena memang waktu pelaksanaan festival itu di jam malam, tanpa mengganggu jam KBM. Setiap peserta yang berbaju dan berkopeah putih itu dibagi ke dalam 8 kelompok. Dan setiap kelompok akan disimak oleh dewan mustahiq Aliyah, tentu mengecualikan mustahiq 2 Aliyah. Tapi, yang nggak kalah horor dari festival ini bukan soal 1002 bait, jam malam, ataupun dewan mustahiq Aliyah. Kejutan, Gus Nabil Aly Utsman menjadi salah satu penyimak!

Dalam ruangan yang cukup besar itu, terlihat ekspresi wajah-wajah yang berbeda. Ada yang terlihat fokus, serius, tegang, takut, santai, ataupun mereka yang masih sempat-sempatnya bercanda tertawa ngakak.

Gua cukup ketar-ketir saat itu.

Dengan kesempatan waktu, sebelum rangkaian acara festival dimulai, gua menyempatkan untuk buka nadzom dan melalar bait-bait yang sekiranya masih kurang percaya diri untuk lancar. Nggak lama, Si Qodir yang sedaritadi mondar-mandir mendekat ke gua.

“Sini gua simak!” Ucapnya dengan rona wajahnya yang sudah merasa aman dan percaya diri untuk menghadapi festival. Gua iyain aja.

Setelah ia menyimak hafalan gua, dengan diputar diacak diloncat dari satu bait ke bait lain, ternyata masih ada beberapa nadzom yang belum lancar, baik di Alfiyah awal ataupun tsani. Qodir tersenyum getir. Lalu, kembali mondar-mandir dan gua tetap dengan nadzom yang terbuka.

Kelompok dan nama penyimak itu keluar. Alhamdulillahnya gua bukan kelompok yang nanti akan disimak Gus Nabil. Nggak kebayang gua yang setor hafalan pledak-pledek karena grogi berhadapan dengan beliau. Gua dapat kelompok Pak Kholil Natsir, Mustahiq kelas 1 Aliyah.

Meskipun banyak anggapan dari peserta lain bahwa Pak Kholil itu orangnya enakan dengan maksud lain bahwa kesempatan lolos festival bisa didapat dengan mudah karena menjadi kelompok beliau, gua nggak menanggapi berlebihan. Hanya mengamini aja, semoga benar-benar mudah.

Tapi, di sisi lain, gua kenal betul siapa beliau!

Semua terungkap pada saat gua dan 5 orang lainnya berkesempatan untuk rihlah ilmiah. Untuk tujuan dan sasaran pada saat itu adalah mencari data terkait kepahlawanan KH.Mahrus Aly dan rekam jejak sejarah beliau. Kami menuju Rembang.

Setelah mendapat beberapa narasumber dan wawancara, tepat pada saat Nyai Aminah Tadaq sebagai narasumber dan objek wawancara selanjutnya, Kang Jaya selaku jurnalis senior di antara kami, bertanya ke gua, “Kamu tau nggak, Bat, Nyai Aminah Tadaq itu siapa?”  

“Siapa, Kang?”

“Beliau itu ibunya Pak Kholil Natsir!”

“Masa, iya?” Gua mencoba meyakinkan.

“Iya. Dan Pondok Pesantren Kasingan ini adalah pondok beliau. Pak Kholil itu cicit dari Yai Kholil Harun, gurunya Yai Mahrus.”

Deg!

Gua sedikit nggak menyangka, bahwa Pak Kholil dengan segala kesederhanaannya di pondok ini yang gua kenal, ternyata adalah keturunan dari seorang Kiai besar di Rembang. Bahkan, keturunan dari gurunya Yai Mahrus.

Sesampainya di sana, kami disambut oleh Mas Rifa’i selaku abdi ndalem Pondok Pesantren Kasingan. Meski sebelumnya kami udah sempat ada komunikasi dengan Mas Rifa’i, tapi tetap saja maksud ini tetap kami utarakan. Begitupun saat, Nyai Aminah Tadaq datang untuk menemui kami. Dikarenakan, suaminya sudah meninggal, otomatis pesantren dipimpin tunggal oleh Ibu Nyai Aminah. Itu mengapa kami menjadikan beliau sebagai narasumber.

Tentu yang menjadi fokus bukan soal project dan wawancara ini, tapi Pak Kholil. Bahwa dalam penuturan di luar konteks pembahasan project, Ibu Nyai Aminah bercerita tentang Pak Kholil yang dinilai merupakan anak yang istimewa dibanding dengan anak-anaknya yang lain. Kejadian-kejadian luar biasa dan di luar kewajaran pun kerap kali dialami oleh Pak Kholil kecil. Dan yang paling menonjol dan bisa dijelaskan, sejak kecil, Pak Kholil sudah terlihat sebagai anak yang cerdas. Bukan hanya cerdas ilmu agama dan pesantren, tapi juga cerdas dalam ilmu umum.

Hal itu terbukti dengan banyaknya buku yang terpampang di lemari.

“Saya tuh Mas, sempat heran dengan Kholil. Setiap pulang dari pondok, tidak hanya kitab, ia juga selalu bawa pulang banyak buku. Apalagi novel. Bisa dilihat di lemari, itu semua adalah buku-bukunya Mas Kholil.” Ucap Ibu Nyai Aminah mengenai minat baca anaknya yang luar biasa.

Sudah barang tentu, di saat break, gua langsung menuju lemari-lemari itu. dari sekian lemari, semua buku-buku di sana gua perhatikan satu per satu. Nggak hanya itu, mungkin terkesan agak nggak sopan, karena terlalu penasaran dan rasa gebu akan buku, lemari yang nggak terkunci itu gua buka untuk meraih satu dua buku dan membaca sinopsisnya bahwa ini buku apa dan tentang apa.

Dan kebanyakan dari buku-buku beliau, adalah buku-buku fiksi yang gua banget!

Mulai dari bukunya W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, hingga buku-buku bagus yang nama penulisnya masih asing di telinga yang menandakan bahwa wawasan baca gua masih sempit.

Bahkan, ada satu bukunya W.S. Rendra yang berjudul “Puisi-Puisi Cinta” yang sempat gua pegang, baca, dan siasati “siapa tau dengan gua pegang buku ini dan pasang muka melas yang terlihat pengen, Ibu Nyai Aminah bisa paham dan bilang ‘kalau mau, ambil aja, Mas!’”

Haha.

Kalau ingat itu, gua terlihat licik, mungkin juga oon. Segitunya sama buku.

Ya, meskipun sudah ketahuan bahwa nggak mungkin. Karena itu memang bukunya Pak Kholil. Haha. Tapi, di lain waktu, judul buku itu gua buru di toko. Baik online ataupun ofline. Benar-benar nggak tahan!

Tapi, pada saat kunjungan kami ke Rembang, karena masih jadwal aktif pondok, Pak Kholil tentu nggak ada di rumah. Dan selepas kunjungan itu, selain dapat ilmu, pengalaman, dan barokah, kami juga mendapat bekal mangga 2 kardus. Alhamdulillah.  

Kembali ke festival. Setelah menerima kenyataan hafalan gua dan Pak Kholil yang akan nyimak, nggak habis pikir sama panitia yang bisa-bisanya menyantumkan nama gua, said, dan rohman ke dalam satu kelompok yang sama. Menjadi teman sekelas buat selama ini aja rada gimana, lah ini ditambah menjadi bareng dalam satu kelompok yang sama. Bukan apa-apa, gua sekamar dengan said dan rohman! Dan dari sekian banyak orang satu angkatan ini, hanya said dan rohman yang teman kamar gua. Benar-benar niat nih panitia. Nggak disangka, pasti ada konspirasi elite global di festival ini!

Satu kelompok yang diisi oleh 4 orang, dengan 3 orang yang menjadi suaara mayoritas udah begitu jelas. Kelompok ini, menjadi kelompoknya orang kamar pojok parkiran sepeda! Di sisi lain, sekelompok dengan teman kamar punya beban dan tantangan tersendiri. Selain harga diri dan usaha gua dipertaruhkan di hadapan said dan rohman, hal ini pasti akan berimbas dan berlanjut sampai ke kamar: pasti menjadi headline news di kamar! Sama ramainya dengan berita gosip selebriti.

Bagi yang lolos akan dielu dan dipuji bagai seorang pahlawan. Dan bagi yang nggak lolos, akan dielu dan dipuji juga. Bahkan, sama halnya bagai seorang pahlawan. Cuma, pahlawan kesiangan! Mulut-mulut warga kamar membayangi pikiran gua, di antara bait-bait nadzom yang masih dipertanyakan nasibnya.

Apalagi, untuk hal ini, gua mendapat giliran pertama. Disusul Said, Rohman, dan orang pondok ngampel.

Bismillah.

Sebelum ke acara inti yang berupa setoran dan simak 1002 bait nadzom Alfiyah itu, MC berdiri untuk membacakan susunan acara dan tata tertib festival. Dan yang perlu digaris bawahi ialah ketentuan penilaian festival: bisa dikatakan jayyid, jika melakukan maksimal 5 kali kesalahan. Mutawasith maksimal 10 kali, dan rodhi maksimal 15 kali kesalahan.

Setelah itu, festival benar-benar dimulai.

“Bismillah!” Ucap Pak Kholil tepat di saat gua menyerahkan nadzom pada beliau.

Baru beberapa bait yang terucap dari lisan gua yang berusaha setenang dan selancar mungkin, betapa kagetnya saat beliau meloncat atau mengacak ke bait yang lain. Bukan masalah seberapa banyak dan jauh bait yang diloncat itu, tapi sistem dan tata cara loncatnya yang bikin gua ketar-ketir.

Bukan apa-apa, biasanya, dalam lingkup setor hafalan dan pernadzoman kepesantrenan, pasti, minimal sang penyimak itu memberi clue setengah bait untuk loncak dan acak tes hafalan sang penyetor. Lah ini, malah setengahnya setengah bait!

Untuk saat itu, nggak mungkin juga kan gua protes? Pikir baiknya, “mendingan juga masih dikasih clue, dari pada nggak!”

Meski tetap ada bait-bait yang terbata-bata, alhamdulillahnya gua bisa finish sampai di akhir nadzom: di 1002 bait!

Tapi, bukan berrati gua bisa tenang dan percaya diri untuk lolos. Karena dari tadi, entah ada beberapa kesalahan yang nggak sempat gua hitung. Tapi, bismillah aja. Semoga.

Lalu, Said maju. Lalu, Rohman. Lalu, anak ngampel yang kalau nggak salah namanya Wildan. Dan festival ditutup dengan peresmian nama angkatan: tentu untuk foto dan makan-makan!

Untuk pembahasan festival ini merupakan menjadi obrolan wajib di hari-hari setelahnya. Masing-masing orang bercerita perasaan dan pengalaman sebagai kelompok yang berbeda-beda. Tentu sama aja dan nggak jauh beda seperti di awal. Seenggaknya, secara garis besar, ada 2 kelompokk: mereka yang antusias dan mereka yang melas!

Dari situ, bisa diketahui kepercayaan diri mereka akan hasil.

Pembahasan ini masih aja berlanjut hingga pengumuman itu diucapkan dengan lantang di kelas oleh ketua pusat. Dari 13 orang yang lolos, GUA ADALAH SALAH SATUNYA! UWANNJAY! Alhamdulillah.

Terus sisanya, bukan nggak lolos bahasanya: her adalah lolos-lolos yang tertahan!

Untuk perihal berita yang menjadi bahan pembahasan dan konsumsi warga kamar, bukan maksud sombong, hanya gua yang menjadi pahlawan tanpa label kesiangan. Untuk Said dan Rohman, mereka terpaksa untuk memakai label itu untuk menghadapi mulut-mulut warga kamar yang lebih elastis dari karet bungkus nasi pecel dan lebih pedas dari sambalnya! Whahahaha. Karena memang hanya gua yang dinyatakan lolos, bahkan untuk Wildan si anak pondok ngampel. Seenggaknya gua terbahas dengan topik dan diksi yang cukup manusiawi.

Di sisi lain, sebagai tamparan dan pembuktian dari statement, “ah lu mah enak, kelompoknya Pak Khlolil. Pasti lolosnya!”

Mana suara-suara itu? Tak lagi kudengar! Uwannjay! Haha. Alhamdulillah.

Dan yang lucu, lu ingat Si Qodir? Ia yang dari awal terlihat aman dan percaya diri, nyatanya pada saat pengumuman hasil festival, ia dinyatakan her.

“Eh, Dir. Perasaan waktu awal yang gua disimak sama lu nggak lancar, kok malah lu yang nggak lolos? Haha.” Tentu dengan nada komedi. Ia hanya nyengir dengan komedi yang sepenuhnya nggak lucu.

Satu hal yang harus digaris bawahi: sikap meremehkan juga termasuk kriteria sihir Alfiyah!

“Bat, gimana sih cara dan ceritanya sampai lu bisa lolos nyewu?” Mungkin tanya seseorang yang mendadak jurnalis pada ruang imaji gua yang penuh riang.

“Wah, susah deh kalau mau diceritain. Ini perjuangan luar biasa. Perjuangan banting tulang, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Tapi, kita harus sama-sama ingat ucapan beliau-beliau, bahwa tawasul itu penting. Ya, meski hanya fatihah. Selain tawasul pada mushonif, mbah yai, dan orang tua: bertawasul dan fatihahi penyimak itu juga perlu!”

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa