Tenda

Tempat baru selalu memberi kesan yang lebih. Meskipun kita nggak akan lupa di mana dan kapan untuk pulang. Gua rasa semua setuju, bernaung di bawah atap rumah sendiri jauh lebih meneduhkan.

Tapi satu sisi, sebagai manusia, kita dituntut keluar dan bergerak. Bergerak untuk singgah di tempat baru, tempat yang sama sekali nggak pernah dibayangkan. Juga tentang segala orang-orang baru dengan segala intriknya. Dipaksa mencipta cerita-cerita yang baru pula.

Senang rasanya bisa jadi teman belajar anak-anak tsanawiyah di LDKS osis dan pramuka itu. Meski nggak pernah meremehkan untuk perempuan dan kata kepemimpinan, pada LDKS yang mengusung tema “Membentuk Generasi Pemimpin yang Disiplin, Berani, Cerdas, dan Berakhlak mulia.” itu, hanya diikuti oleh anak lelaki.

Acara inti pada kegiatan ini, ya pada prosesi materinya itu. Maka dari 3 hari yang dijadwalkan, mereka dapat 4 materi dan beberapa upacara. Kebetulan gua dan teman-teman berkesempatan untuk menemani mereka di hari kedua, dengan materi “Literasi Digital”. Hanya perlu waktu setengah jam untuk bisa sampai di lokasi: Lapangan Desa Puhsarang, Kec. Semen, Kabupaten. Kediri. Di sana, adalah daerah dataran tinggi dengan masih asri oleh perkebunan warga. Gunung Wilis berdiri tegak, menjadi wadah warga mencari nafkah.

Sebelum materi, mereka dikumpulkan untuk pembukaan dan pembagian kelompok untuk 3 kelas yang dimaterikan: kelas kepenulisan, kelas fotografi, dan kelas karikatur. Mereka udah dapat kelasnya masing-masing dan setiap kelas bebas untuk memilih tempat belajarnya. Karena kebetulan gua yang menemani mereka di kelas kepenulisan, gua memilih belajar di tenda. Biar makin kerasa vibes nge-campnya.

Dinding-dinding tenda dibuka dan dilipat, agar angin bisa masuk. Meski siang begini, panas ya tetap panas. Tapi, angin lereng gunung punya cara sendiri dalam memberikan sejuknya.

Gua cukup sedikit kecewa karena nggak adanya seperangkat proyektor dan layar untuk menampilkan ppt yang udah gua bikin sedemikian rupa, untungnya gua bawa laptop. Perkenalan dan sedikit basa-basi pencairan suasana, juga mencari celah pengenalan karakter dari masing-masing anak. Dirasa cukup kondusif, materi bisa dimulai. Dari ppt yang gua bikin, aslinya pembahasannya nggak begitu berat. Hanya tentang apa itu literasi, fakta literasi Indonesia, manfaat menulis dan membaca,  jenis tulisan, ide tulisan, juga qoute-qoute motivasi. Terus tanya jawab.

Cukup seru belajar saat itu. Apalagi mereka terlihat antusias karena bisa mendengar dan melihat akan ppt yang gua bikin dengan tema camp. Visual-audio visualnya dapat.

Setelah kurang lebih 1 jam pemaparan materi dan tanya jawab, selanjutnya waktu untuk praktek dari materi yang sudah disampaikan. Kertas-kertas hvs dibagikan, pena-pena mereka mulai bergerak. Sambil menunggu mereka, biar fair, gua pun ikut nulis: bikin berita acara. Lumayan dapat 1 tulisan di sini.

Satu per satu karya tulis mereka terkumpul.

“Kak, nanti karya tulis ini buat, apa?” Tanya salah satu dari mereka.

“Untuk bukti karya kelas kepenulisan, sekalian dikoreksi juga. Nanti bagi tulisan yang bagus dan terpilih akan dapat hadiah!”

“Benar, ya?” Wajah itu berseri.

Setelah dirasa tidak ada pertanyaan dan cukup, gua akhiri. Dilanjut istirahat.

Saat itu gua pun ikut istirahat dan kembali di tempat transit. Ternyata di sana udah ada Kang Mualim.

“Kelas fotografi kok udah selesai? Cepat banget, Kang?” Tanya gua disela-sela sedot es yang kesekian dari gelas-gelas yang mengembun di sana.

“Iya. Nggak usah lama-lama. Lagian aku tadi materinya sambil praktek.”

“Praktek di mana?”

“Tuh, di bawah sungai. Seru banget.”

Sambil terus berbincang tentang pengalaman unik kelasnya masing-masing, nggak lama, Kang Atho selaku pembimbing kelas karikatur baru datang. Entah karena tempat materinya di masjid yang lumayan jauh atau emang karena prakteknya yang lama.

“Wih, baru selesai. Seru banget nih kayaknya sampai nggak ingat waktu.” Sambut gua.

“Seru apanya, bocil-bocil susah banget disuruh gambar. Malah pada bercanda. Materinya apa, gambarnya apa. Hadeuh.” Dia malah ngeluh, wajahnya lusuh. Lesu.

Gua sama Kang Mualim ketawa aja. Dia malah lanjut ngeluh. Haha, bener-benar harus siap mental ngadepin bocil-bocil tsanawiyah!

Di waktu istirahat seperti itu, ya semuanya istirahat. Kegiatan diisi dengan pembagian makan siang. Bagi mereka yang lapar, waktu dan nasi kotak dipersilahkan. Dan kebetulan, nggak ada yang nggak lapar. Kami semua makan.

Setelah cukup untuk makan, minum, dan lanjut berbincang panjang yang seolah tak akan usai, gua memilih menyingkir untuk ikut larut dalam cyrcle bocil-bocil itu. Ya, pengen tau aja pada ngapain. Karena memang tempatnya yang begitu mendukung, apapun terasa mengasyikkan di sana. Main ke kebun, ke sungai, ataupun diam di tempat memanfaatkan angin pegunungan untuk sekedar bermain layang-layang dan gua tertarik akan hal itu.

Dari layang-layang yang sepertinya mereka beli di warung ujung jalan sana, gua coba mendekati salah satu dari bocil-bocil itu yang terlihat kebingungan akan layangannya dan sesekali ia malah melirik layang-layang temannya yang sudah lebih dahulu mengudara.

“Kenapa?”

“Ini kak, layang-layangnya nggak bisa terbang.” Jawabnya penuh bingung, juga sedikit melas.

Gua ambil layangan itu, dilihat sebentar. Dari ilmu perlayang-layangan yang gua dalami sedari tk, ikatan layangan atau talikama itu sangat berpengaruh. Berbagai macam ikatan tergantung pada kualitas layang-layang dan ritme angin agar bisa menciptakan akselerasi yang diinginkan: layangan antengan atau aduan. Untuk benang, semakin dibutuhkan untuk jenis layangan aduan.

Layangan itu gua rombak ikatannya. Bolong sana, ikat sini. Ukur garis simetris dan kualitas layangan itu, arah angin nggak begitu berpengaruh. Karena kebetulan tempat camp ini berada di lapangan yang merupakan lereng kebun yang berada di atas, jadi cukup mudah untuk menerbangkannya. Tanpa bantuan orang ataupun dialungin.

“Sini biar aku yang terbangin!” Ucap gua percaya diri. Tapi sepertinya, nggak untuk mereka.

Entah kenapa wajah mereka seperti menyimpan raut ketidakpercayaan akan gua dan sukses terbangin layangan. Apa karena gua udah kuliah yang kelewat jauh masa kecil ataupun karena bekasi yang jarang terlihat layangan di antara gedung-gedung tinggi? Apa yang harus dipermasalahin?

Kecuali kalau sampai ada yang nyeletuk, “udah kuliah kok nggak tau malu banget main layangan dengan anak tsanawiyah?” kalau yang ini, no coment lah!

Dengan tanpa menghiraukan segala apapun yang bisa merusak konsen dan bahagia, gua melangkah dengan penuh kesiapan tinggi. Dalam hati, “Akan kubuktikan dan kukerahkan semua ilmu dan pengalamanku selama ini dalam perlayang-layangan duniawi. Lihatlah, wahai adicks-adicks!”

Layang-layang itu gua lambung membumbung, jari jemari bergulat dengan tarik ulur benang. Kaleng benang itu malah bergerak menari seirama gerak jari. Layang-layang pun tersambut angin, meninggi dan meninggi di ulur benang yang kesekian. Gua tersenyum puas, bocil-bocil itu tercengang hadap langit luas. Saat berhasil mengudaranya layang-layang itu, tahta joki pun gua kasih ke bocil itu.

“Makasih ya, Kak!”

Haha, gua anggap makasih itu sudah mengandung maaf atas meremehkan di awal. Bukan mau sombong, juara layangan sekampung nggak semudah itu buat diremehin! Heueh.

Dengan sesekali tetap nutor untuk berniat mengadu layangan itu dengan yang lain, keseruan itu dirasa cukup disayangkan untuk terpaksa usai. Karena memang hari itu adalah hari jum’at, mendengar speaker masjid sudah bertalu-talu akan murotal, kami bersiap untuk jum’atan.

Siap-siap, ke masjid, wudhu, dengar khutbah, sholat, selesai.

Untuk siang itu, gua dan teman-teman harus pulang. Karena memang tugas sudah selesai dan bocil-bocil itu sudah ditunggu kegiatan lain. Kepada para guru dan bocil-bocil itu kami ucapkan mohon maaf dan terima kasih atas kesempatan belajar bersama yang begitu berkesan. Lalu, di ujung waktu kami harus pamit.

“Kak Aqna!”

Gua terhenti di beberapa langkah pamit. Gua menengok, seorang bocil memanggil gua.

“Layangannya aku bawa, nanti kita main di pondok, ya?”

Gua angkat jempol tinggi-tinggi.

“Tuh, kan si aqna. Kayaknya LDKS depan perlu ditambah kelas baru deh, kelas layang-layang!” Ucap Kang Atho yang digeruduk ketawa kami.

Haha.

Alhamdulillah ala kulli khoir!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dosa

Dompet