Titik
Terima kasih masukannya.
Ini pendapat gua.
Maaf kalau salah.
Kita belajar bareng.
Banyak hal yang mendorong agar unek-unek ini tersampaikan dan diubah
menjadi kata-kata. Tak keluh kesah. Tak ada menyinggung orang dan segala resah.
Suara ini menyeruak di balik status santri dan mahasiswa. Tak mudah untuk tetap
tegar di dua dunia yang memugar; formal-non formal. Ditambah hal-hal luas yang
terlewati, umur yang terus bertambah, dan zaman yang terus berubah.
Coba mengesampingkan ego, gengsi, merendahkan, malas, tak serius, atau
apapun yang mengganggu untuk tetap nyaman membaca huruf demi huruf, kata demi
kata, dan kalimat demi kalimat dari tulisan ini. Bukan maksud apa-apa. Kita
jujur-jujuran saja. Tak ada penghalang.
Saat-saat ini, tentu pikiran kita lebih terbuka. Kita jadi memikirkan
banyak hal. Dari yang kita lihat, kita dengar, kita bayangkan. Termasuk
perasaan. Hal ini tak bisa dinafikan. Jangan munafik. Ketertarikan lawan jenis
sedang subur-suburnya di usia remaja tanggung; dipanggil remaja tak mau, dewasa
tak mampu.
Bangku perkuliahan membuka kesempatan bagi mahasiswa dengan background
santri akan pemulihan percintaannya yang memperihatinkan. Digembor-gemborkan
bukan mahrom selama di penjara suci, di kampus malah satu kelas dan bebas.
Ngobrol, bercanda, bahas tugas, atau bahkan yang pura-pura bahas tugas
sekalipun. Campur aduk di sana.
Di masa tumbuh subur perasaan ini, pasti muncul bayang yang memaksa kita
harus tarik nafas dalam-dalam dan menelan ludah lamat-lamat. Atau bahkan, yang
lebih serius, sampai menaruh tujuan pada seseorang yang kata selalu hilang saat
mata saling pandang. Kita suka sama seseorang. Kuliah jadi tambah semangat.
Baju jadi tambah wangi.
Dan media sosial pun seakan-akan mendorong-dorong. Postingan foto dan
vidio orang banyak yang seolah mendukung kobar perasaan ini.
Gua tau, sebenarnya lu pengen seperti mereka. Sebagai manusia normal
yang diberi akal dan perasaan, di nurani terdalam, perasaan menuntut haknya.
Kita pasti ingin melampiaskan ekspresi perasaan kita pada seseorang yang kita
suka. Cinta tak melulu harus dibahas dengan hal kotor.
Dan kata pesantren, bukan mahrom, dosa, ‘aku santri!’ seolah menghapus
status kita sebagai makhluk yang berperasaan. Jadi takut. Tertuntut takut.
Dipaksa takut. Lalu, timbulah benteng kepura-puraan dan jargon-jargon, ‘jomblo
sampai halal’, ‘jomblo fi sabilillah’, ‘ijo tomat; ikatan jomblo terhormat’.
Dan tiba-tiba mendadak ukhti-ukhtian, akhi-akhian. Haha. Tak sekaku itu!
Apakah cara bentuk mengekspresikan perasaan harus dengan pacaran? Dengan
ucapan, ‘aku cinta kamu’, ‘kamu cinta aku’, dan ‘maukah kamu jadi pacarku?’ dengan
segala kejijik-annya dapat menjamin panen baik di tumbuh subur benih perasaan
yang tertanam? Apa arti status, jika
tujuan pacaran hanya untuk putus; menikah atau berpisah.
Ayolah jangan kekanak-kanakan! Menikah butuh persiapan jangka panjang
dan gua tak mau lebih memanjangkan pembahasan ini. Pembahasan yang seharusnya
tak dibahas. Nikah. Jauh. Ya, tinggal alasan satunya yang tersisa. Akal terlalu
kerdil jika perasaan hanya dikaitkan dengan pacaran.
Pacaran hanya tentang senang dan nafsu-nafsu. Setiap orang bebas
berpendapat.
Jangan bohongi diri sendiri. Agama tak melarang pemeluknya untuk
berperasaan, untuk jatuh cinta. Itu kodratnya manusia. Asal jangan main kotor.
Benar Al-Isra ayat 32.
Jujur-jujuran saja. Setelah banyak berteman do’a dan memaksa berani,
bilang saja ke dia, ‘aku suka kamu!’ Udah. Hanya sebatas itu. Tanggapannya bisa
diurus nanti. Menurut gua, itu lebih dewasa tanpa harus melibatkan bodoh. Lihat-lihatan,
memendam, bertele-tele di chat, menghalu, cerita ke teman, posesif, ramai.
Tapi, rasa itu tak pernah dibahas. Terlalu kekanak-kanakan. Capek.
Kita bisa jujur dan titip perasaan, saling memahami dan menyemangati.
Saling menguatkan, saling mendorong pada pengetahuan. Saling menyokong dan
mengisi di setiap hal yang bermanfaat. Terutama membaca, menulis, dan berpikir
yang masih dianggap asing di tanah ini.
Tak hanya fokus, semangat dan sungguh-sungguh bisa kita dapat darinya,
orang yang berperan membuka hati dan pikiran untuk lebih berkembang dan taat
pada agama ini. Tak perlu aneh-aneh. Bahagia itu bisa kita tuai.
Sudah diingatkan sebelumnya, jika tak ada ego, gengsi, merendahkan,
malas, dan tak serius dalam membaca tulisan ini, pasti lu paham apa yang gua
maksud.
Komentar
Posting Komentar