Patung
Entah perkataan atau perbuatan, banyak hal yang dapat membentuk pribadi personal kita. Dalam menjalankan segala aktivitas yang terjalin, meski tuntut, inginnya kita akan runtut. Dengan begitu, tentu nggak ada yang perlu disikapi secara berlebihan.
Tapi pastinya, nggak ada kata mudah dalam sebuah perjuangan. Ya, kita hidup
dan bergerak tentunya ada titik tuju yang mengharuskan kita untuk maju,
berjuang, apapun yang dihadapi. Dengan berjalan atau berlari.
Tentu ada kengeluh dan lelah. Tentu ada peluh dan rasa ingin menyerah. Dan
hal itu yang menjadi tugas kita untuk konsen lain, fokus utama kita pada titik
tuju. Terkadang, meski seberapa percaya dan berapi akan omongan orang, tetap
kita adalah obat untuk sakit kita sendiri. Semua bisa selesai dengan percaya
dan berapinya diri kita, untuk hal yang menghadang.
Sering kita dengar ungkapan,
”Bisa karena terbiasa!”
”Dipaksa, terpaksa, terbiasa!”
”Dibentur, terbentur, terbentuk!”
Betapa, teramat amat seringnya kita mendengar ungkapan itu pada suatu titik
untuk memulai atau pada suatu detik saat terjatuh: untuk kembali bangkit.
Gua setuju aja.
Sebagaimana batu yang hancur karena
terus ditempa, pisau yang tajam karena terus diasah, atau air yang mendidih
karena terus dipanas. Entah, skala besar atau kecil, berat atau ringan, hal
yang dilakukan secara terus menerus dan stabil akan berdampak besar, hasil yang
luar biasa. Sekali lagi, kita hanya butuh terus menerus dan stabil. Itu kata
kuncinya.
Di sisi lain, sudah seharusnya hal yang terinteraksi dan sering, akan
begitu lekat dengan kita. Begitu terbiasa pada suatu hal, karena memang hal
tersebut biasa dilakukan. Dari asing, karena terbiasa, bisa menjadi arti diri
kita yang lain.
Tapi pada suatu hal, kok bisa nggak nyambung jika hal ini dikaitkan dalam
ranah percintaan. Entah, kok bisanya malah menjadi keluar dari konsep. Bisanya
dengan mudah meruntuhkan asas yang dipegang teguh oleh mayoritas.
Bingungnya gua pada kata hubungan dan bosan. Kebanyakan, mereka yang sudah berhubungan
dan terikat satu sama lain, nggak terelakan pada rasa bosan. Menaruh dan
terpengaruh akan bosan pada seseorang yang setiap sudut dirinya nggak ada cela
dan celah untuk beralasan bosan, sebelumnya.
Serius, nggak habis pikir, kenapa
bisanya mereka bosan dengan orang yang begitu dicintai? Dari sudut mana dan karena apa? Bahkan saat
sudah memasuki gerbang pernikahan sekalipun, mengorbankan banyak hal dari
perceraian hanya karena alasan bosan.
Gua emang belum akan pengalaman yang
lebih soal ini. Tapi, yang gua tau dari hal yang coba gua cari tau, alasannya karena sering
dan terus itu. Malah karena sering dan terus, malah jadi sebab. Seringdan terusnya
mereka bertemu, melihat, mendengar, berbicara, atau apapun yang dilakukan
bersama dan setiap hari: dijadikan alasan tumbuhnya bosan itu, lalu hancur.
Ntar dulu, pelan-pelan. Bayang gua: kenal dan suka dengan seseorang,
sulitnya berjuang dan berhasilnya untuk kata mendapatkan, bersama, menjalin
kasih, merangkai cerita, merajut kenang dari cinta orang yang kita cinta.
Hari-hari dan interaksi, sifat atau sikap, konflik, suka duka silih berganti seharusnya
semakin menambah warna dan rasa cinta itu. Membuat kuat setia dan konfidensi
diri pada hubungan yang pastinya berbeda dengan hubungan lain, orang-orang
lain.
Tapi, kenapa ujungnya harus timbul bosan? Harus putus hanya karena kata
bosan?
Kalau memang harus terjadi putus dan pisah itu, bukankah betapa hebatnya
rasa bosan yang berhasil mengalahkan perjuangan, kenangan, dan perasaan itu
sendiri?
Akhirnya, kesimpulan sementara gua akan usaha paham hal ini: kata terus dan
bosan.
Pertama yang harus disepakati, bahwa di setiap kata ’terus’ berkonsekuensi
besar. Ada dampak besar di setiap kata ’terus’. Dan kata ’terus’ itu lebih
stabil dari kata ’sering’.
Kedua, untuk hasil akhir, soal konsekuensi atau dampak, itu tergantung pada
niat dan usaha kita. Karena tambah atau karena kurang. Dan tambah atau kurang
itu nggak akan berpengaruh pada besar dampak dari terus itu. Seperti halnya
suatu minuman yang akan semakin manis jika terus tambah kadar gula, atau malah
semakin pahit jika terus kurang kadar gula.
Tapi, pada kasus mereka yang berhubungan dan bosan, siapa yang memiliki
niat dan usaha untuk terus yang kurang? Siapa yang susah payah berurus cinta
jika berakhir putus, nggak bisa bersama?
Nggak begitu dan mau suudzon, mungkin ada beberapa hal, di tengah jalan,
membuat terus itu harus bebelok dan menungkik untuk kata kurang. Kian hari,
kian kurang. Hingga benar-benar habis. Mungkin karena nggak lagi romantis,
kurang waktu, karena ekonomi, distorsi sikap, atau apapun yang nggak sama
seperti dulu atau mungkin lalu. Segala sesuatu yang mulai berbeda dijadikan
alasan untuk timbul rasa yang berbeda pula.
Mengharap dan menuntut sama dalam cinta? Hingga
harus mengutuk segala hal yang beda? Haha. Padahal, sedari awal, kita atau cinta adalah arti
beda itu sendiri: lelaki dan perempuan.
Perbedaan dan perubahan dalam setiap jengkal jejak langkah hidup adalah
sesuatu yang biasa, hingga malah bisa sampai ke tahap harus. Tentu, balik lagi, nggak sampai keluar batas: tentang baik atau
buruk. Dan kadang, kata relatif harus didalihkan atas dasar demi ego diri
sendiri. Jika sudah begitu, mau diapakan lagi untuk cinta yang harus hancur. Dipaksa
hancur.
Hakikanya cinta itu suci, bersih, murni. Maka, jika cinta ditabrakan dan
terjalin dengan hal-hal yang kotor dan di luar dari hakikatnya, sulitnya cinta
untuk menerima atau sekedar bertahan.
Apapun yang menjadi belum dan kurang kita, bukan sebuah penghalang. Lu
boleh, bebas mengekspresikan sikap atas tulisan ini: gua cuma berusaha belajar.
Terakhir kalinya, seorang bijak pernah berkata, ”jika kamu menganggap bahwa
cinta itu tidak indah, mungkin kamu saja yang salah memilih pasangan!”
Pasangan adalah gambaran diri.
Al-khabitsatu lil-khabitsina wal-khabitsuna lil-khabitsat.
Wath-thayyibâtu
lith-thayyibîna wath-thayyibûna lith-thayyibat.
Allahummarhamni…
Allahummarhamni…
Komentar
Posting Komentar