Maghrib
Apa jadinya jika senang bercampur dengan emosi? Apa bisa? Simak kata demi kata ini!
Bagusnya, makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Ya, bagusnya memang
seperti itu. Tapi ya namanya kita, belum mau makan kalau belum lapar, nggak akan berhenti kalau belum kenyang. Nggak apa-apa
juga sih, lagian itu hanya saran. Lebih baiknya.
Hingga akhirnya, perut gua harus berbunyi di waktu-waktu petang, menuju
maghrib. Malah baru terasa lapar. Kalau dibilang buat kegiatan, dari pagi juga
kegiatan. Kenapa nggak dari tadi aja laparnya? Tapi, perut memilih waktu petang, memilih senja untuk
meluap rindu pada nasi-nasi dan bumbu-bumbu. Pintar benar perut menyoal rasa.
Gua yang kena, anggota badan terimbas.
Bukannya apa-apa, waktu-waktu seperti itu sangat menentukan. Ibarat sepak bola, ini udah masuk injury time. Penentuan.
Semua dipertaruhkan: slot ngantri mandi dan tentunya porsi bungkus-bungkus nasi
di warung: masih ada atau habis, mengelus dada.
Ya tapi bagaimana lagi, perut udah meronta, rindu terus dipinta. Akhirnya gua jalan juga. Dari awal aslinya gua udah mager, firasat udah nggak enak. Soalnya
emang waktu sore adalah jam makan. Pondok yang santrinya berpuluh ribu itu,
banyak memilih waktu sore menuju petang untuk keluar
kamar dan makan. Mirip-mirip tupai.
Butuh perjuangan untuk bisa kenal
sesuap nasi, lokasinya aja harus ke pondok unit yang kurang lebih berjarak 300
meter. Bukan nggak ada warung atau terlihat Burundi, pondok gua kalau sore emang
udah pasti habisnya. Bukan jam makan warung. Jadi mau nggak mau
harus kaluar sarang.
Gua jalan kaki dalam posisi lapar
dan mager. Terseok-seok, bergosrek-gosrek sendal, melewati beberapa orang
dengan sibuknya, dan jawab sapa kalau ketemu orang yang dikenal. Seperlunya.
“Allahu akbar!” Ucap lelaki itu menggelegar di dalam hati, nggak percaya: warungnya buka, lauknya habis!
“Ah elah!” Ucapnya di kalimat berikutnya.
Kalau udah begini, ya gua harus balik lagi. Kembali pulang dan berusaha kuat untuk tahan
lapar sampai tengah malam, sampai selesai jam belajar. Sisanya, waktu udah ditunggu runtut jadwal
kegiatan sampai malam.
Dengan hati yang memanas dan perut yang memelas, jalan kaki terasa berat.
Pengen cepat-cepat sampai kamar, lalu merutuki diri. Tentang datangnya lapar dan realitas warung
yang nasi dan lauknya udah ludes. Kok bisa-bisanya di tengah keadaan yang nggak baik-baik
saja itu, penuh letup, tangan gua ditarik orang.
”Rene sek!”
Gua kira nih orang keamanan, awal gua kira gitu. Secara dari tampang, cukup menjanjikan nih orang emang keamanan:
gelap dan wajah bengisnya.
Untuk ini, gua nggak pernah takut. Gua pikir-pikir, sedari kamar ke warung,
gua nggak ngapa-ngapain. Coba menerka kesalahan yang nggak kunjung gua temuin. Lagian, mental cukup suport atas emosi
lapar perut yang nggak terbalaskan sebungkus nasi warung pojok jalan itu.
“Kang, wingi sido cair?”
Lah? Sungguh gua nggak habis. Pertama, gua nggak kenal orang ini. Kedua, dengan sikap ia yang narik tangan nggak sopan, udah
nambah gelora emosional. Ketiga, nih orang nggak jelas, gua nggak paham apa
yang lagi dibahas. Cair? Pala lu cair!
“Apaan sih? Cair?!” Tanya gua cukup menekan dengan ekspresi yang nggak
perlu gua jelasin. Gua udah berniat pergi, karena emang gua rasa nih orang
salah orang.
“Eh, kang, kelas jurnalistik kemarin jadi
cair?” Lanjutnya keras kepala yang berhasil menghentikan 3 langkah tengah jalan. Dengar jurnalistik, mungkin ada
kepentingan.
“Kelas jurnalistik?” Tanya gua lagi-lagi, cari kejelasan.
Emang sih, gua pernah ikut kelas jurnalistik di pondok induk. Tapi, itu
tahun kemarin. Nggak ada tuh bahas cair-cairan. Tahun sekarang, gua memilih jadi alumni.
“Iya, kelas jurnalistik induk kemarin. Jadi cair nggak?” Jawabnya kini
mulai ikut-ikut bahasa indonesia. Mukanya menyimpan gurat antisipasi.
“Ah, apaan sih? Gua nggak ikut kelas jurnalistik induk. Salah orang lu!”
Sewot gua to the point. Benar kan, nih orang salah orang.
Puas gua buat kata-kata yang terlontar. Belum lagi, lihat mukanya yang malu
parah atas sikapnya dan sikap gua padanya.
Gimana ya, gua pengen ketawa karena nih orang kocak, ngomong panjang lebar dan kepala batu tapi salah orang. Tapi senang dan pengen
ketawa itu ketabrak sama emosi dari lapar ini. Jatuhnya, jadi puas gua membanting sikapnya bahwa ia salah
orang.
Orang nggak jelas. Nggak tau gua lagi lapar, mager, dan emosi, malah nemu
orang kocak kayak gini.
Ah elah, gua makan lu!
Komentar
Posting Komentar