Lem
Sudah seharusnya kita berbuat baik. Meskipun dalam berbuat baik, apalagi untuk kata tebar, kita tetap harus berusaha menjadi figur yang baik dalam perkataan dan perbuatan bagi diri kita sendiri.
Tentu banyak pendorong dari konsep dan prakteknya. Tapi tentu juga,
nggak kalah banyak, penghambat yang tertambat.
Entah, mengapa orang begitu sulitnya
sadar diri? Begitu mudahnya untuk nggak sadar diri?
Nggak usah terlalu berat-berat dan
mendalam mengenai pembahasan ini. Teori, begitu juga soal contoh kasus.
Hal kecil, kita bisa mengenalinya dari 3 hal ini. Sulit atau bahkan nggak
bisanya mereka untuk sekedar berucap maaf, tolong, dan terima kasih. Iya, ini
baru hanya soal berucap, perkataan. Belum tindakan.
Singkat ke contoh kasus, ada 2 pengklasifikasian. Ada kalanya sadar diri
ini bersifat dzimi, ada kalanya harbi. Dan kalau udah harbi, ini yang bahaya.
Karena udah menyangkut urusan hak, berbeda dengan dzimi yang hanya soal
pribadi. Orang lain nggak ada urusannya dengan kita.
Hal ini tergambar dari hanya sekedar
minjam sepeda.
“Minjam sepeda, dong!”
Toh, hanya pinjam sepeda. Apalagi buat teman, apa yang harus diberatkan?
Tanpa pikir panjang dan bertele, pasti dipinjamin.
Tapi sayangnya, orang itu, orang yang gua pasrahin amanat dengan
berkewenangan mengambil manfaat dari barang berupa sepeda, malah nggak tau
diri. Setiap organ, onderdil sepeda gua ada aja yang rusak.
”Halah sepeda doang!”
”Halah sebentar ini!”
Mau ditampol, tapi katanya teman.
Saling keterikatan dalam pertemanan bukan berarti menggampangkan. Meremehkan.
Tetap ada yang namanya hak dan kewajiban, juga norma-norma sosial.
Tentunya, dari awal, nggak ada yang begitu dipermasalahkan soal ini: minjam
dan durasi. Lagi pula buat teman sendiri. Aman-aman aja, seharusnya. Tapi, dari
sekian gua ngomong panjang lebar di atas dan bernuansa panas, pastinya ada hal
yang membuat panas itu sendiri.
Nggak bisa dipungkiri untuk rusaknya sepeda gua, juga ucapan terima kasih
untuk meminjamkan dan maaf untuk kerusakan. Bukan yang pertama, ini udah
kesekian kali dan berkali-kali: rusak dan tanpa ucapan.
Untuk rusak, tentu kita yang paling tau soal diri kita dan hal-hal yang
berkaitan. Ada sesuatu yang rusak, tentu akan terasa dalam peforma. Pasti ada
ketidaknyamanan, hambat dalam kegiatan, mungkin juga sekelumit kebencian.
Bagaimana nggak? Sepeda yang udah gua beli, dipakai dan seluk beluk, bengkel
dan rawat, hingga gua sendiri yang begitu berhati-hati buat pakai. Ini malah
ada orang, pakai seenaknya.
Emang barang sendiri dan barang
hasil minjam terasa berbeda untuk hal memiliki?
Meskipun begitu, bukan berarti Si
Peminjam menjadikan rasa ketidakmemilikinya sebagai dalil legalitas untuk
merusak milik orang lain. Barang orang lain. Sepeda gua.
Meskipun onthel besi tua, tapi boleh diadu sama tulang pipi lu!
Dengan yang sudah-sudah itu, tanpa adanya ucapan terima kasih dan maaf,
malah menambah-nambah. Dengan ini, siapa yang akan bertanggung jawab? Tetap gua
sendiri yang urus bengkel dan rusak itu. Tetap gua sendiri pula yang urus padam
dan panas hati ini.
Menggantungkan sesuatu pada manusia adalaah kekecewaan yang nyata. Meski
hanya harap sekelumit sadar diri.
Percayalah!
Jika bukan sekarang, mungkin nanti.
Tunggu aja!
Komentar
Posting Komentar