Jutsu
Hari santri memiliki makna dan kesannya tersendiri. Soal kiai, santri, atau pesantren, gua nggak akan ngebahas tentang perjuangan, teladan, atau kisah resolusi jihad itu. Nggak ada sisi menggurui. Kita adalah guru bagi diri kita masing-masing.
HSN kali ini cukup berkesan, gua ikut upacara di pondok ngampel. Bisa
dibayangin bagaimana onthel mampu menyalip Supra 125 cc. Haha, auto onthel
balap di jam 07.15. Ya, meski rada ngos-ngosan, terbayar sudah dengan bisa ikut
sertanya upacara bertema pegunungan dan sepakat dengan sejuk udaranya.
Dan yang namanya upacara, ya sama aja: tentang pengibaran dan
pembacaan-pembacaan. Cuma yang ditunggu, saat amanat Pembina Upacara. Pada
kesempatan itu, Gus Nabil maju dan memberikan sambutannya. Dari sekian lantang dan
bersahajanya apa yang beliau sampaikan, menurut gua, ini yang paling mengena:
“Bisa dikatakan dalam kemerdekaan Indonesia ada andil besar para ulama dan
santri. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita melanjutkan perjuangan pendahulu
dengan cara mengangkat pena dan belajar dengan sungguh-sungguh.”
Setelah upacara, seenggaknya ada 2 hal yang menjadi alasan antusias dan
bertepuk-tepuk tangan. Selain tentang pelepasan balon, tentunya adalah
pertunjukan pencak silat yang ditunggu-tunggu, yang selalu berhasil mencuri
fokus hadirin.
Lalu, jika udah membicarakan tentang pencak silat, ada yang selalu gua
jadikan sorotan: kenapa sih perempuan selalu berapi-api, begitu terkesima dan
terpesona akan pencak silat?
Jujur, gua pun mengakui, pencak silat selalu memberi kesan decak kagumnya
tersendiri. Apalagi ini soal Gasmi dan Pagar Nusa yang punya karakteristik
masing-masing. Tapi mentok, paling rasa decak kagum itu sewajarnya. Hanya
sekedar terbawa vibes suasana: ramai sorak, pakaian, dan gerakan yang di luar
kebiasaan. Di luar itu, nggak ada lagi kesan yang melekat. Udah.
Tapi bingungnya, setiap perempuan selalu dihadapkan dengan pencak silat,
mereka begitu excited. Hingga berbinar matanya. Mirip-mirip perempuan dan toko
emas.
Gua nggak menyalahkan, cuma bingung
aja. Dan lagi pun, memang, perhatian mudah jatuh pada sesuatu hal yang baru dan
beda. Pencak silat,
tentu sangat jauh dengan hal-hal keperempuanan dan kepesantrenan mereka.
Sah-sah aja.
Tapi satu yang dirisihkan, bikin geli waktu dengar: nggak usah kepanjangan
khayal. Maksud gua, adanya pertunjukkan, bagi mereka yang pendekar, untuk
ditunjukkan. Dan tugas kita sebagai penonton, ya hanya nonton dan terhibur.
Cukup. Nggak lebih.
Terus, kok bisa-bisanya pertunjukkan itu malah berakibat dan berujung, ”ih,
keren ya?”, ”kalau semisal punya pacar pendekar gimana, ya?”, ”terus pas
nikah...Wah!”
Apaan sih!
Nggak mau bahas panjang-panjang. Kurang kerjaan juga gua nanggapin hal
beginian. Kurang kerjaan.
Namanya kita bikin ikatan dengan seseorang, atau bahkan sampai timbul kata
”nikah”, perlu banyak aspek yang diperhatikan. Lebih detail dan ribetnya, tanya
sama yang udah nikah!
Lagian, begitu mudah dan rendah
selera itu. Hanya karena suatu hal dan keadaan, bisa langsung timbul perasaan itu.
Emang yang namanya cinta dan perasaan bisa timbul kapan aja dan di mana aja, di
luar kendali kita. Tapi, maksud gua, lu kenapa dengan cepat menyimpulkan.
Begitu pd.
Bukan maksud apa-apa, atupun sampai timbul kesan gua benci sama anak silat:
lu hanya baru ngelihat mereka pas waktu pertunjukkan doang. Baru tau secuil
sisi kehidupannya. Dan lu sebegitu mudah menyimpulkannya?
Nggak mungkin juga kan tuh pendekar yang lu pada jadiin bahan halu,
terus-terusan pakai seragam gagah dengan gerakan seninya yang meliuk-liuk?
Namanya orang, kalau lapar ya tetap lemas. Tetap butuh rebahan.
Lagi pula kenapa lu hanya ngebayangin tuh gagah dan sangarnya pendekar
dengan jurus-jurus hebatnya cuma buat ngelidungin lu doang? Kalau emang begitu,
ya syukur. Alhamdulillah.
Tapi, pernah nggak sih lu sampai pikir atau hanya sekedar ngebayangin,
bahwa dalam suatu hubungan juga ada yang namanya kerikil dan konflik. Iya kalau
lu sama pasangan lu yang mungkin terkabul bahwa pendekar adalah teman hidup,
hanya dengan adu mulut dan kata-kata ketika datang konflik dan kesalahpahaman
itu. Kalau semisal, sampai dengan main fisik? Harus keluar jurus-jurus itu dan
lu yang jadi objeknya? Apa enak lu malah ikut jadi penampil?
Ya, kalau lagi jadi penonton, ya nonton aja anteng-anteng. Nggak usah
aneh-aneh.
Gua sih terserah.
Hanya mencoba senang di hari senang.
Di hari yang memang seharusnya senang.
Komentar
Posting Komentar