Tinta

“Hal apa yang menyenangkan penulis?”

Menjadi penulis adalah pilihan. Kita sudah dianugerahkan pikiran, perasaan, dan tangan, apa yang menjadikan alasan untuk nggak menulis? Nggak perlu membahas tentang manfaat menulis yang terlalu banyak itu, menulis adalah bentuk belajar kita.

“Terserah gua dong, mau nulis, mau nggak. Ribet banget lu jadi orang!” Celetuknya, mungkin.

Haha. Ya terserah. Lagian siapa juga yang maksa? Mau jadi polisi, tentara, guru, dokter, astronaut, presiden, ustadz, chef, pengusaha, youtuber, DPR, teknisi, konten kreator, atau jadi abang-abang COD, ya terserah lu. Mau jadi penulis atau nggak, ya terserah lu. Hidup-hidu lu. Tapi kan gua udah bilang, menjadi penulis itu pilihan dan gua memilih menjadi penulis.

Mungkin banyak hal yang dijadikan alasan para penulis itu menulis. Bisa dilihat dari karena menjadikan menulis itu adalah sebuah pekerjaan, hobi, atau bahkan paksaan akademis. Kalau buat gua sendiri, saat-saat ini, mengsisi waktu yang paling bermanfaat ya dengan nulis. Toh, menulis itu juga merupakan salah satu bentuk jalur belajar; membaca, berpikir, dan berargumen dengan menulis. Nggak perlu muluk-muluk bisa bermanfaat untuk orang lain, yang penting bermanfaat dulu untuk diri sendiri.

Kembali ke pertanyaan awal, sebenarnya hal apa sih yang membuat penulis itu senang? Apresiasi apa yang membuat penulis itu senang? Untuk para penulis yang menjadikan menulis adalah sebagai pekerjaan, ladang rezeki, ya pastinya bisa senang dengan cara bisa menghasilkan profit dari tulisannya itu. Jika ia penulis buku, senang dengan best seller dan laris bukunya. Jika penulis website, senang dengan banyaknya viewers dan repost link rubriknya. Sudah lagi jika harus mendapat penghargaan Sayembara Novel DKJ, Kusala Sastra Khatulistiwa, Anugerah Cerpen Kompas, Tokoh Seni Tempo, Penghargaan Sastra Badan Bahasa yang kesemuanya masih dalam lingkup nasional. Belum lagi jika sudah merambah ke lingkup internasional, seperti Nobel Prize Literature, The International Booker Prize, Hugo Award, The Pulitzer Prize, National Book Award, Women’s Prize For Fiction, The Goodreads Choice Award. Meski sadar diri, siapa yang nggak pengen? Sebisa mungkin gua untuk tetap menulis.

Untuk mereka, para penulis yang menjadikan menulis karena paksaan dan tuntutan akademis, dengan selesainya tugas dan bagusnya nilai, gua kira udah senang aja.

Tentunya, dengan memiliki buku hasil karya sendiri adalah suatu kepuasan bagi kami-kami yang menjadikan menulis adalah ladang hobi. Menjadi penulis terkenal, memiliki banyak buku karya, dan diakui banyak orang merupakan hal yang diidam-idamkan. Tapi serius, nggak begitu muluk-muluk dan berekspetasi tinggi, tulisan gua bisa selesai aja udah bikin senang. Bukannya tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai? Kata shifu jurnalistik gua sih gitu.

Tapi suatu hari, tanpa ada suatu tujuan pasti selain sekedar menulis, gua bisa senang dari menulis, bisa senang dari hanya sekedar tulisan gua selesai; tulisan gua dibaca beliau!

Pada suatu waktu, gua pernah bikin tulisan tentang murobbi ruhina, KH. Imam Yahya Mahrus bin KH. Mahrus Aly dari perspektif para alumni. Meski sebagian besar isi tulisannya adalah ucapan dari para alumni sepuh lewat wawancara lalu, tapi buat narasi awal dan ngetik itu tetap aja gua. Tulisan itu selesai dan berkesempatan diupload di akun pondok. Dari situ aja gua udah senang. Tapi,

“Bat, tulisan lu tuh, dikomen Ning Ochi. Banyak typo, mbulet!” Ucap salah satu admin pondok.

Gua yang baru aja berpanas-panas badan dan pikir sehabis kuliah, tentu ketar-ketir mendengar itu. Apalagi dengar tulisan gua salah dan dikomen sama yang punya pondok. Dengan buru-buru, juga hati-hati, gua revisi.

Belum usai, setelah terbitnya tulisan itu dan beberapa kejadian yang terlewati, alhamdulillahnya adem ayem Ning Ochi nggak speak up lagi. Aman berarti. Meski tetap merasa bersalah.

Walau tulisan gua itu dan Ning-nya aman, sekarang malah Gus-nya yang speak up.

“Bang, tulisan lu yang Yai Imam dibaca Gus Nabil!” Ucap Zulfar, Sang Redaktur.

Gua yang udah elus-elus dada dengan redamnya tulisan gua yang dikomen Ning-nya beberapa hari lalu, kini malah Gus-nya. Gus Nabil lagi! Beliau, Gus yang cerdas dan terkenal tegas. Waduh!

“Apa kata beliau?” Tanya gua ketar-ketir.

“Kata beliau, bagus. Habis itu malah cerita. Karena beliau juga merupakan tokoh yang ada dalam kejadian itu.”

Wah, gua tetap kaget. Meski kali ini kagetnya rada sejuk. Beliau berucap gitu, karena memang jika berbicara dengan alumni pasti yang keluar adalah cerita pengalaman. Dan dari sekian alumni, ada yang dulunya adalah Sopir Kiai Imam dan kini telah menjadi Kiai besar di Madura. Dari sekian cerita itu, Gus Nabil juga ada di dalamnya. Menjadi saksi hidup. Menjadi nostalgia.

“Selamat, Bang. Jadi satu sama!” Cengirnya dengan sedikit ledek. Komen buruk, satu. Komen baik, satu. Jadi satu sama. Gitu maksudnya. Ah elah lu!

Gua ikut nyengir aja. Alhamdulillah.

Lagi,

Gua lanjut bahas sedikit. Di suatu hari lagi, gua bikin tulisan tentang santri baru yang memang momennya adalah tentang kedatangan santri baru. PPDB. Gua nulis tentang betah tidaknya anak saat mondok itu ternyata ada peran orang di sana. Gua tulis, gua koreksi. Alhamdulillah selesai. Alhamdulillahnya berkesempatan untuk mengisi akun pondok.

“Bat, tulisan lu. Ning Ochi!”

Mendengar kata tulisan dan Ning Ochi, perasaan gua jadi nggak enak. Ditambah mimik muka dari kang Admin itu masih tetap ekspresif sama seperti di awal. Seperti ada apa-apa.

“Kenapa lagi, Kang?”

“Tulisan lu direpost Ning Ochi. Lihat nih!”

Mendengar itu gua langsung mendekat, melihat, berusaha memastikan. Dan ternyata memang benar, beliau baru saja merepost uploadan itu. Uploadan yang ada tulisan gua. Waah. Alhamdulillah.

“Zul, jadi 2-1 nih!” Ucap gua pada Zulfar yang kebetulan ada di situ.

“Haha, iya. Semangat!”

Senangnya! Jaburan nggak, nih? Haha.

Oh, iya dengan membaca tulisan ini lu harus memetik beberapa poin-poin;

Pertama, tentunya ini bentuk hobi, mengisi waktu yang sedari tadi dibahas di awal.

Kedua, ini salah satu cara belajar gua.

Ketiga, merupakan bentuk meluapkan harapan, langkah kecil, memantaskan diri untuk jadi penulis. Aamiin.

Keempat, bentuk meluapkan kebahagian, syukur. Jangan sekali-kali dianggap ada unsur sombong. Karena emang gua nggak ada niat sama sekali, sedikitpun dengan sombong. Emang siapa gua jika harus sombong? Harusnya malu dengan mereka, senior yang tiada banding dalam ilmu, juga tulis-menulisnya.

Buat lu yang termotivasi atau nggak dengan membaca tulisan ini, terserah. Karena emang adanya tulisan ini bukan bikin lu termotivasi. Selain tema keluh mengeluh dari blog ini, motivasi hanya untuk konsumsi pribadi.

Jadi, mohon maaf atas segala kekurangan.

Terima kasih udah baca.

Tentunya, gua sangat membutuhkan segala masukan, apapun. Baik atau buruk, gua terima sangat. Gua nantikan.

Silahkan komen.

Mari berbuat baik!

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa