Pekik
Kirab-kirab kibar bendera merah putih membanjiri halaman rumah dan mata ini. Sepanjang mata memandang, nasionalis bangsa ini begitu terasa. Serasa baru proklamasi tadi pagi.
Begitu juga
dengan rumah berpatok pohon jambu air itu, seorang pria paruh baya bergegas
dengan bendera merah putih yang tergenggam di tangannya. Bersiap mengibarkan
warna harum bangsa itu pada rumahnya. Dengan sebilah batang bambu, lembar kain
itu dibentang, diikat kuat. Tiang didirikan, hingga lembar kain itu benar-benar disapa angin. Ikut
bersenandung seirama dengan bendera-bendera lain; bendera yang sama di
rumah-rumah yang berbeda.
Arti dari
sebenar-benarnya manusia yang merdeka. Apa itu benar?
Meski bangsa
ini telah puluhan tahun dengan puluhan ribu tetes air mata, keringat, dan
darah, semua harus benar-benar merdeka. Jika tidak untuk apa semua perjuangan
itu? Untuk apa lantang suara Presiden Soekarno yang mengatas namakan Bangsa
Indonesia dalam membacakan Proklamasi di siang terik Bulan Ramadhan?
Tapi, pria itu
malah berdesir.
“Kita ini telah
merdeka!”
“Kita ini telah
merdeka!”
“Kita ini telah
merdeka!”
Meski kibar
bendera itu berulang kali menggelorakan telinga dan hatinya, dahinya malah
berkerut. Badannya berkeringat. Wajahnya pucat pasi.
“Merdeka?”
Tanya-nya lamat.
Tiba-tiba saja
kepala dan dadanya mengebul. Mengepul. Asap-asap hitam menyeruak.
“Harus
kerja, lembur sampai subuh, jadwal kontraktor, service motor, genteng bocor,
gas habis, tv renyek, program rt, tagihan listrik bulanan, urus pompa air, isi
pulsa, beras habis, ngecat rumah, ronda, bayar hutang, anak lulus SD, satunya
mau masuk TK, satunya nangis minta susu, ibunya malah minta cerai.”
“Mana yang kau
sebut merdeka itu, Tuhan?” Teriaknya pada sepi.
Komentar
Posting Komentar