Partai

Semua setuju, ilmu adalah kunci bahagia dunia akhirat. Nggak perlu dalil-dalil.

Dengan putaran waktu yang membawa pada zaman yang menuntut perfeksionis, juga tentang kuantitas dan kualitas. Gua rasa santri adalah figure yang absolut akan intelektual dan intergral yang intact. Bukan tentang kaum proletary, marhaenisme, murba, inferior, atau Burundi sekalipun. Haha, We are The Gate of Knowledge!

Santri, dengan sisi formal dan agamanya, nggak ayal untuk semat cerdas intelektual, kokoh spiritual. Nggak harus melulu membahas tentang sisi keagamaan dan indah susasana di kota santri, sekali-kali kita bahas sisi formal, sisi dunia intelektualnya; Kampus.

Santri, para mahasiswa-mahasiswi itu, tentu baik dan boleh-boleh saja untuk fanatik terhadap ilmu. Fanatik kan juga merupakan bentuk ghirah dan totalitas kita dalam belajar. Tapi, yang nggak baiknya itu jika sudah harus merendahkan orang lain. Bagaimana bisa?

“Apa hebatnya PGMI?”

“PGMI bisa, apa?”

“Dari pada PGMI, mendingan jadi ternak lele aja, lebih menguntungkan!”

“Anak-Anak mari kita belajar berhitung…”

Dan cocot-cocot lainya tentang pencemaran profesi tanpa schifting sekalipun. Gua tau, menurut kitab ta’lim, ini termasuk jaddal atau diskusi usil ucap Dosen Studi Indonesia itu. Aslinya juga nggak ada gunanya buat dibahas. Ya tapi gimana lagi? Kuping gua dua, hati satu, sedangkan mulut mereka keroyokkan. Mau nggak mau harus angkat bicara tanda berpendirian. Lagian juga gua cuma ngomong di sini. Sebisa mungkin mengolah kata tanpa melibatkan amarah. Semoga.

Hanya karena hal-hal eksoteris dan anak-anak kecil yang dipandang menggelikan untuk suatu tuju pekerjaan, mereka malah membanggakan diri mereka sendiri dan merendahkan lainnya. Seolah nggak ada yang paling mantap dan berintegritas selain ia dan matkul prodi-prodinya yang makalah aja masih copas, presentasinya baca, absennya nitip. Mahasiswa-mahasiswa beban. Kebayang sih kalau jadi kosmanya!

Okelah, AS anak hukum keren, bisa kerja di pengadilan jadi hakim. PAI anak pendidikan keren, bisa kerja di sekolah mana saja, jadi guru. PS anak perbankan keren, bisa kerja di pemerintahan jadi akuntan. KPI anak komunikasi keren, bisa kerja di institusi jadi kreator media. IAT anak tafsir keren, bisa kerja di Kemenag jadi Mufasir. PI anak psikolog keren, bisa kerja di perusahaan jadi konsultan. Atau apalah.

Tapi, maksud gua kenapa harus ada pengdikotomian dalam ilmu? Apa yang bisa menjamin sukses? Sukses ditentukan prodi kuliahnya? Jack Ma pernah 4 kali gagal masuk perguruan tinggi, Einstein pernah nggak naik kelas waktu smp, dan Steve Jobs pun nggak lulus kuliah! Semua tergantung usaha. Al ajru biqodri taab. Hasil gimana usaha. Jatuhnya, lucu aja dengar calon sarjana karbitan ini saat merumuskan teori sukses!

Tentu setiap hal punya sisi baik dan sisi buruk. Bisa-bisa aja untuk menuntut akal mencari sisi buruk dari prodi-prodi yang mengaku wow itu. Nggak menutup kemungkinan anak AS yang mentok-mentok membatu di KUA jadi penghulu yang kerjaannya ngawinin orang atau ngarep orang cerai biar kerja, biar punya penghasilan. PAI yang merasa tenang masa depan dengan slot mudin yang disisakan. PS yang mentok-montok jadi bendahara desa. KPI yang sah-sah saja jadi penyiar radio yang nggak ada pendengarnya lagi. Bisa juga IAT Sang Mufasir yang sangat sulit tercapai itu dan bisa jatuh menjadi imam tahlil atau imam mushola. Atau PI yang tentu lebih jijik mengurus orang gila di RSJ dari pada mendidik murid MI.

Emang apa sisi buruknya PGMI? Emang lu tau sisi baiknya? Malah asal lu tau, menurut gua kuncinya itu di PGMI! Benar ucap Syekh Musthofa Al-Gholayini dalam bab al haditsul awal di kitab Idhotun Nasyi’in-nya, bahwa segala akhir itu ditentukan di awal. Dan pendidikan adalah sektor paling penting untuk raih sektor-sektor lainnya. Bedakan antara mengajar dan mendidik! Masa harus gua jelasin? Katanya udah mahasiswa? Mana hasilnya 13 tahun belajar kalau mengajar dan mendidik aja nggak tau?

Untuk menentukan seorang peserta didik di tingkat selanjutnya, hingga kerja, dan melanjut hidup, tentu semua dimulai dari sekolah dasar. Karena seseorang sudah bisa dinamakan sekolah ketika ia sudah masuk SD atau MI, bukannya TK adalah taman kanak-kanak? Antara belajar dan mainnya lebih banyak didominasi mainnya?

Itulah mulianya guru sekolah tingkat dasar. Bagaimana harus mengajar pengatahuan dan tetap menanamkan moral. Bagaimana seorang guru tingkat sekolah dasar dalam berinteraksi penyampaian pembelajaran harus begitu hati-hati, agar timbul kesan senang dan tenang di pertemuan pertama anak pada ilmu. Karena tingkat sekolah dasar itu masa sekolah yang paling lama. Baik tidaknya, berhasil tidaknya seorang guru dalam mendidik akan menentukan karakter dan stigma peserta didik selanjutnya.     

Selain seorang guru tingkat sekolah dasar yang harus mempelajari semua mata kuliah untuk bekal guru kelas yang tentunya nggak bisa dibandingkan dengan mereka yang hanya mengenyam mata kuliah kejurusan, PGMI juga belajar Behavioristik, Kognitif, Konstuktivisme, & Humanistik pada matkul psikologi. Juga belajar teori Plato, Aristoteles, Johan Amos, Anaximander pada matkul filsafat. Begitu juga tentang materi membaca kritis, berbicara praktis dalam studi Indonesia, dan studi arab, studi inggris, fiqih, studi qur’an, studi hadits, administrasi pendidikan, dan banyak lagi. Bukankah kesemuanya memiliki esensi korelasi dengan mencakup semua prodi?

Taulah jadi males gua banyak-banyak omong buat hal kesia-siaan.

Tapi sebelumnya, gua jadi curiga, bukan mau suudzon tentang jenis manusia cetakan tingkat sekolah dasar yang gagal, kebayang dan jelas sih orang-orang kayak mereka waktu pakai seragam putih merah ingusan susah disuruh masuk kelas dan malah betah di tukang cireng, samping tukang mainan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa