Nasi

Sebagai makhluk, sudah seharusnya ketergantungan. Pada sesama, terutama pada Tuhan. Kita wajib butuh Allah. Sudah ketetapannya, lemah butuh pada yang kuat, miskin butuh pada yang kaya. Siapa yang kuat? Siapa yang kaya? Siapa kita?

Kita bahas rezeki aja. Betapa pentingnya rezeki untuk penghidupan. Semua orang punya perut, semua orang bisa lapar, semua orang butuh makan. Maka dengan itu timbul konsep ikhtiar, do’a, dan tawakal. Selain mengandalkan kiriman, kita sebagai santri kerap kali akan sholat dhuha dan membaca surat Al-Waqiah dengan percaya akan faidahnya yang memperlancar rezeki. Seringnya kita akan ritual itu dan dengan kenyataannya yang gini-gini aja. Rezeki kayaknya nggak ada perkembangan. Lalu akhirnya, jadi malas ibadah. Jadi nyalahin Allah.

Haha. Rezeki nggak hanya tentang uang, Ganteng! Kita masih diberi sehat, makan dirasa masih enak, tidur nyenyak, kegiatan lancar, atau sekedar masih bisa tertawa juga merupakan rezeki. Hanya, kita aja yang nggak sadar. Nggak mau berusaha sadar.

Seperti saat ini, gua jadi percaya konsep rezeki dan bersyukur aja lihat orang itu. Nggak sedikit orang yang seperti ia, banyak uang tapi nggak bisa bebas menikmati uang itu. Terbelenggu banyak hal. Kasihannya ia yang harus mati-matian olahraga dan makan dengan harus hitung-hitung kalori.

Pagi ini gua olahraga bareng ia. Pemanasan, gerakan ringan sampai yang berat. Lah gua yang hidupnya santui bersahaja, capek ya tinggal berhenti. Istirahat dulu. Slonjoran dulu. Lah ia? Harus gerakan ini! Harus selama ini! Tekadnya teguh, mukanya pucat. Kasihan.

Begitu juga saat setelah olahraga. Sebelum mandi, tentu sarapan dulu. Lagi-lagi makhluk tuhan yang hidupnya aman, bae-bae aja ini; gua sarapan dengan apa yang gua pengen. Yang sekiranya enak dengan harga merakyat. Nasi lauk ayam pakai tumis kangkung pakai tempe bacem pakai sambal pakai kerupuk pakai gorengan pakai lalapan. Minumnya jus! Beuh. Cuci tangan, baca do’a, makan, kenyang, tenang. Senang.

Dan sedangkan manusia ketar-ketir itu, cuma makan satu apel dan segelas susu jahe. Is is is. Padahal secara waktu olahraga, ia yang paling capek. Badannya juga gedean ia yang menandakan kebutuhan tubuhnya juga lebih gede. Padahal mah ia anak Bos Sawit Sumatra. Tapi, makannya udah kayak pengungsi korban gempa. Apa-apa dihitung dampak kalori. Fiuh.

Gua yang lihat, jatuhnya malah seperti ditonjok. Ditekan untuk syukur yang lebih. Walaupun cungkring begini dan uang pas-pasan aja, tapi buat gerak inci kehidupan ya aman-aman aja. Bae-bae aja. Damai sentosa. Lapar, ya makan. Ngantuk, ya tidur. Semangat, ya belajar. Malas, ya healing. Bercanda, ya ketawa. Murung, ya merenung. Santai. Simple. Nggak usah dibuat ribet.

Dan nyatanya, walau katanya uang dapat memperlancar segala apapun dan membuat senang, gua mulai rada nggak percaya hal itu. Banyak orang ber-uang yang nggak berkutik untuk bebas menikmati uangnya itu. Dihadapan sakit, uang nggak ada harganya. Nggak ada artinya.

Alhamdulillah masih bisa sehat, bisa makan, bisa mikir, bisa belajar, bisa syukur, juga masih bisa nulis-nulis nggak jelas begini. 

Cuma bisa itu, Tuhan!

Makasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa