Macan
Pohon Gaharu kini menetapnya sendu. Macan itu hanya terkulai merebahkan badannya pada daun-daun kering dan lembab tanah. Rasanya, hutan yang telah menjadi surganya kini begitu asing. Ia seperti terkurung dalam jeruji pengap. Lagi-lagi, tak ia temukan luas itu. Setiap pandangannya menatap sekeliling, hanya membuat hatinya semakin kering. Melayu seirama kuncup-kuncup bunga anggrek hitam itu.
“Tuhan,
mengapa kau ciptakan aku seperti ini?” Rintih aumnya.
“Kenapa
makhluk-Ku? Mengapa kau begitu murung?” Kasih Tuhan menyapanya.
“Kenapa
Kau ciptakan aku tanpa loreng, aku tanpa pendukung. Semua koloni menjauhiku
hanya karena aku macan tanpa loreng. Aku aneh. Aku tak bisa berburu. Aku tak
bisa mengaum. Mereka mengatakan, ‘Kau tak seperti orang tuamu yang perkasa!’
bagaimana Tuhan? Aku macan yang gagal.”
“Hei,
kenapa kau mengatakan seperti itu. Hapus sedihmu. Tarik kata-katamu. Tak
kumenciptakan segala hal tanpa maksud. Tak perlu dipikir ucap mereka. Bukan
pada loreng itu. Bukan pada berburu dan aum itu. Kenalilah dirimu. Macanmu ada
di hatimu!”
“Tuhan?”
Komentar
Posting Komentar