Lubang
Bagaimanapun, nggak ada seorang pun yang terlepas dari masalah, dari kepusing. Ya, kita ngeluh lagi sekali-kali.
Meski tetap
kita yang menentukan, bisa disebut masalah atau nggak, tapi banyak hal yang
mendorong dan memaksa kita untuk menyikapinya menjadi masalah. Dengan lancar
nggaknya, ditambah kondisi diri: pikir, hati, dan sehat yang nggak konsisten,
faktor eksternal orang-oang juga berpengaruh besar.
Lalu pada
kemungkinan terbunuh, kita harus apa? Kita bisa apa?
Dalam
menyelesaikan masalah, merubah atau menghapus, atau bahkan begitu hebatnya, bisa
membalik dan membangkit tentram, semua butuh cara dan usaha yang berbeda. Cara
dan usaha yang bisa berhasil atau nggak.
Ada orang
yang menyelesaikan masalah dan lemahnya dengan butuh orang lain dan kuatnya.
Atau nggak sedikit, mereka yang hanya percaya pada diri mereka sendiri:
bergerak merangkak yang mungkin saja kembali jatuh dan terinjak. Mungkin aku
terasa lebih sakit.
Tapi juga,
ada golongan orang yang tetap lebih percaya diri sendiri dengan tanpa mengambil
banyak tenaga dan resiko: hanya memilih diam.
Ya, banyak
yang bisa kita lakukan dalam diam. Membuka ruang diri sendiri dalam diam dengan
mengisinya dan melakukan di sana. Suka duka, tangis tawa kita.
Hal-hal
senang dan harapan yang biarkan kita simpan di sana, kita tanam, tumbuh, dan
mekar, hanya untuk kita. Indah dan harumnya. Ya hanya untuk diri kita sendiri.
Begitu juga
sedih, benci, dan emosi. Dengan mengingat nggak mungkin untuk diluapkan panen
api itu, takutnya akan membakar tuju orang dan ikatan kemanusiaan, biarkan
panas api itu menjadi ukuran, dalam ruang diam. Biarkan hati itu panas,
mendidih, dan gosong. Biarkan padam dengan sendirinya. Meskipun kemungkinan
terburuknya hati menjadi mati, sulit kembali merasa.
Lalu untuk
masalah ini, beban mau dilarikan menjadi apa. Mungkin sadar kita lemah dan
butuh orang lain, tapi kita hanya ingin sendiri.
Sekecil-kecilnya
masalah yang dipendam, merasa kuat ditanggung sendiri meski tetap hati dan
diamlah yang menjadi jalan terakhir, jadi tong sampah segala masalah.
Ternyata ada
capeknya. Ada muaknya.
Bagai kita
memegang, mengangkat sebuah cangkir yang tanpa ada isinya sekalipun. Sejam-dua
jam, sehari-dua hari mungkin kita masih mampu. Lalu jika sudah kita tahan, kita
biarkan hingga berhari-hari dan berminggu pasti akan terasa berat pasti nggak
akan kuat.
Begitu pun
dengan hal-hal yang tanpa beban sekalipun: kita hanya duduk. Sejam-dua jam,
sehari-dua hari mungkin kuat-kuat saja. Tapi jika sudah berhari-hari dan
beriminggu-minggu. Meski hanya duduk, siapa kuat?
Ini yang gua
rasain. Dirasa hati dan diam udah nggak bisa lagi dijadikan jalan keluar,
karena terlalu berat dan terlalu lamanya: sekarang gua benar-benar berada di
batas lemah. Hingga nggak bisa apa-apa. Hingga nggak bisa kembali berbohong
untuk hanya sekedar mengatakan “nggak apa-apa!”
Kalau sudah
begini, gua harus apa? Harus gimana?
Tentu kita
yang paling tau tentang kita, tentu hanya kita yang paling mengerti kita. luka
ini, obatnya ya di kita. Meski gua tau, gua hanya perlu bangkit daan kembali
membangun kepercayaan diri, satu yang menjadi kepercayaan: kadang kita bodoh
untuk mengetahui bagaimana caranya memulai.
Nggak ada
kerugian untuk melarikan segala sesuatu pada pena dan buku, tulis dan baca.
Pena dan tulis tetap bisa merasa tanpa harus terbawa dari apa yang kita
curahkan: entah dingin cinta atau panas benci. Pena ya pena, nggak perlu
diragukan untuk setianya.
Atau juga
buku dan baca. Ia sebaik-baiknya pemberi nasihat. Tanpa meninggikan tinggi,
tanpa merendahkan rendah.
Lihat saja
bagaimana ia nggak bosen-bosen menasehati. Berulang kali membasuh hati dan
tetes sembab pipi. Di halaman 34, ia menentramkan sempat,
“kepadamu
yang sedang gundah, jangan kamu ucap, ‘Ya Allah…deritaku begitu besar’ tapi
ucapkanlah, ‘wahai derita, bersamaku ada Allah yang Maha Besar!’”
Komentar
Posting Komentar