Laut
Haul menjadi tanda mulia-nya seseorang. Dalam memperingati hari wafatnya seseorang, selain karena untuk mengingat kematian, kita juga harus mengambil pelajaran teladan dari sohibul haul.
Apalagi, pada
momen ini, adalah haulnya seorang ulama hebat: seseorang yang lahir dari orang
tua dan guru yang hebat, seseorang yang telah melahirkan banyak orang-orang
hebat. Beliau, murobbi ruhina, KH. Imam Yahya Mahrus bin KH. Mahrus Aly.
Setidaknya ada
2 kabar mengaharukan, selain dibuka dengan kabar bahwasanya dihadirkannya
lembar helaian rambut Baginda Nabi Muhammad Saw pada mahalul qiyam pembacaan
maulid, tentu kabar selanjutnya ya semua tentang yai.
Meski sudah 12
tahun beliau tidak membersamai kami, sudah banyak tahun itu beliau meninggalkan
kami. Tapi, semua bayang beliau tidak
pernah sirna.
“Beliau tetap hidup!”
“Beliau tetap hidup!”
“Beliau tetap hidup!”
Di alam lain.
Atau
setidaknya, di hati kami.
Beruntungnya
mereka, para santri terdahulu yang hidup semasa: mengaji, bercengkrama,
melihat, mendengar, membersamai yai. Lalu kami, para santri generasi lanjut?
Hanya diajarkan rindu tanpa pernah
sekalipun diajarkan cara meredakannya. Buku hanya tentang kertas-kertas
tercoret tinta dan hati adalah hati. Siapa
tanggung rindu-rindu yang mengadu?
Haul adalah momen-nya. Penuh tunggu.
Penuh harap.
Kado apa yang lebih spesial untuk
santri generasi lanjut malang seperti kami dalam mengenal yai-nya dari tutur
jujur para dzuriyyah dan alumni! Sudah gua bilang, haul adalah momen-nya.
Obat itu datang dari lisan-lisan
mulia, membelah angin dan malam dingin, menyeruak angkasa, menyapa telinga,
mengalir dan menetap di hati. Hangat.
Tak terbayang akan kau, Yai.
Bagaimana engkau yang terlahir dari keluarga mulia meski tetap menjunjung
tinggi kesederhanaan. Muliamu tak menyilaukan mata untuk tetap duduk bersimpuh
berjam-jam di teras rumah guru muliamu, KH. Maimun Zubair, dan bertahun-tahun
menjadi debu di bawah telapak kakinya. Merintis pondok dengan penuh keteguh dan
kesungguh dari rumah yang beberapa kali terbakar. Relanya engkau berjualan es lilin bersama bu
nyai tanpa sedikit pun menilik siapa engkau. Sejak redup pagi buta kau dengan
tongkat kayu, membangunkan para santri yang masih bisa dihitung jari itu untuk
bangun dan istighotsah. Mungkin tak pernah bosan kau disuapi omongan-omongan
yang tidak mengenakan tentang harapan besarmu untuk pondok yang memiliki
lembaga formal hingga sampai perguruan tinggi. Mungkin tak enak, Yai. Mungkin
terasa sangat pahit omongan itu. Tapi, malah kau kunyah dan telan dalam-dalam.
Sekarang lihat
semua perjuanganmu, Yai! Kami sebagai generasi lanjut ini berani untuk menjadi
saksi akan pondok yang semakin hebat dan tak tertandingi ini. Pondokmu ini
sudah memiliki 3 cabang, dan katanya akan menambah 4 pada suatu tempat yang
bernama kandat. Santri ribuan, baik putra maupun putri berdatangan dari seluruh
penjuru nusantara. Engkau bukan hanya berhasil akan ngaji dan pondok yang
ditunjang Madrasah Diniyah, Madrasah Qiroatil qur’an, Lajnah Bathsul Masa’il,
juga Media-nya yang terus eksis. Sekali lagi, kami berani menjadi saksi atas
harapan besarmu akan lembaga formal yang dahulu begitu diremehkan. Kini sektor
lembaga mana yang tak dimiliki pondokmu ini, Yai? Sedari TK dan Play Group, SD, SMP, MTs, SMK, MA. Dan baru beberapa tahun terakhir dari
ditulisnya tulisan ini, pondokmu telah berdiri ITAMA, sebagai institut
teknologi. Harapanmu sudah tercapai, yai. Kami hanya bisa mencicipi manis
hasilnya, tanpa sekalipun merasakan pahitnya akan semua perjuanganmu. Do’akan
kami untuk terus sungguh-sungguh dan istiqomah dalam menuntut ilmu. Aamiin.
Semakin malam,
semakin kami larut dalam rindu yang mengelam. Merunduk terduduk menghayati akan
segala obat-obat hati. Bagaimana engkau sebagai figur seorang Kiai yang
tak hanya akrab dengan para santri,
ulama, dan kitab kuning. Tapi, betapa hebatnya engkau bisa kenal dekat dengan
aparatur pemerintah, musisi, atau tukang becak dan strata menengah ke bawah
lainnya.
Salah satu yang
kusuka, tak hanya tentang alim, kau merupakan sosok yang humoris. Sering kali
kami mendengar bahwasanya engkau begitu senang bercanda dalam mengajar,
ceramah, atau interaksi lainnya. Mampu mengemas ilmu, ngaji, dan agama yang tak
hanya tentang kaku serius.
Dari sekian
banyak hal yang tak bisa diluap dan diucap, mengapa satu hal ini begitu menancap.
”Yai Imam itu tak pernah menganggap bahwa ’ini santriku!’ tapi beliau selalu
bilang ’ini anakku!’”
Entah kenapa
ada suatu hangat yang menambah dan merambah di hati ini. Meski seperti itu
kenyataannya, izinkan sekali saja kami bersalaman mencium tanganmu selayaknya
hormat anak pada ayahnya.
Memang benar,
segala hal apapun yang dicintai, seberapa pun lamanya tetap akan terasa
sebentar. Dan haul ditutup dengan do’a setelah
KH. Said Aqil Siradj menyampaikan mauizhoh tegas dan cerdasnya. Segala tentang
yai harus berhenti dari lisan-lisan mulia itu, meski apa-apa yang sudah
tertanam tetap mekar dan tumbuh subur.
Dalam haul ini,
mungkin ini yang menjadi tambahan. Haul menjadi momen temu kangen para alumni.
Apalagi pada haul ini diwadahi dan difasilitasi dengan tepat reuni akbar yang
dilaksanakan 5 tahun sekali. Bagaimana
wah-wah lebih sering terucap saat bersua dengan teman lama, di tempat baru.
Teman-teman seperjuangan dulu dengan berbagai kesibukan yang melekat masih bisa
menyempatkan waktu untuk datang, tanpa memikir jauh, tanpa memikir sibuk. Ada
yang berubah, ada yang tetap sama wajahnya. Penampilan pasti berbeda, tapi nggak
masalah. Konyol-konyol dan lelucon itu begitu didamba! Begitu hangat. Menggali
semua ingat. Terima kasih
sudah datang.
Di momen haul
ini, semoga terkabul semua apa yang sedang diusahakan. Apa-apa yang sedang
terdo’akan.
Akui kami
sebagai santrimu, Yai.
Limpahkan
barokahmu.
Ridhoi kami.
Ila murobbi
ruhina, KH. Imam
Yahya Mahrus, alfatihah...
Komentar
Posting Komentar