Kotak

Untuk sekarang, kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa ini memanglah zaman bebas berpendapat. Zaman bebas berpikir. Zaman bebas berekspresi. Karena memang, HAM benar-benar dijunjung tinggi saat ini.

Selain itu, segala lapis lingkup yang memeluk eksistensi kita sebagai manusia memilih untuk menciptakan segala aturan yang menjadi teman hidup untuk melindungi dan terlindungi. Dengan rasa aman yang ditimbulkan, seharusnya memang timbul pula tentram itu. Seharusnya memang seperti itu.

Ya boleh-boleh saja kita bebas melakukan sesuatu untuk diri kita sendiri. Bebas menentukan langkah untuk tuju kita. Dan menurut gua, sah-sah saja untuk saling berlomba, saling berkompetisi di bidangnya masing-masing. Bukannya kita memang diharuskan fastabiqul khoirot?

Dan rasanya perlu juga untuk menunjukkan value dengan segala kelebihan basic dan skill kita. Keadaan lalu yang menuntut dan menekan kita agar tetap terlist eksistensi manusia. Mereka, manusia-manusia penganut “Cogito Ergo Sum!”-nya Rene Descartes.

Menjadi terus berkembang dengan berkaca pada progres baik orang itu bagus. Terpacu untuk bisa menyaingi atau bahkan menjadi lebih darinya itu bagus. Tapi, di sini ada 2 hal yang jadi koreksian kita bersama.

Pertama, jangan sampai salah memahami kata bebas. Memang kita bebas menjadi diri kita sendiri dengan apapun yang kita inginkan. Tapi, tetap masih dalam koridor sosiobudaya dan kemanusiaan. Kita memang bisa menjadi apapun dari HAM yang seolah memback-up kita. Tapi, HAM bukan hanya untuk gua dan lu. Bukan hanya kita yang manusia! Harusnya tau mana porsi kita, mana porsi orang lain. Mana batas kita, mana batas orang lain. Harus tau, kata dzolim juga bermuara dari kata bebas.

Kedua, tentang value diri. Dalam prisinpnya, bahwa manusia diberi kelebihan, nggak hanya kekurangan. Manusia pasti diisi oleh 2 sisi itu. Dan antara kelebihan dan kekurangan yang mengisi, manusia pasti dianugerahkan 2 sisi itu secara berbeda.

Lucunya orang udah sekali gelap mata untuk memandang orang lain karena silaunya kelebihan yang dimiliki. Cepat sekali untuk star syndrome. Betapa nggak malunya orang-orang yang membanggakan lebihnya di bidang A pada orang-orang yang sama-sama merangkak di bidang A. Dan yang lebih parahnya, sampai harus membanggakan pada orang-orang bidang B, C, D, E, dan seterusnya yang jelas-jelas ia nggak ada kompeten di sana.

Udahlah, gua nggak mau menabur dan menebar virus kebencian di setiap huruf kata kalimat ini. Nggak berlarut-larut untuk men-judge orang dan apa, gua anggap ini sebagai pengingat diri aja.

Kadang emang nggak bisa kita mencoba memahamkan pada orang tentang rumus serta teori sosial yang stereotipe. Semakin kita berbicara, mendengar, dan berinteraksi, kita akan paham sendiri untuk sosial kehidupan dari rumus serta teori yang dapat disimpulkan sendiri.

Untuk sekarang ini, gua ingatkan diri, mencoba mengingatkan diri sendiri; jangan merasa paling!

Bisa tetap semangat dan optimis dengan jangan merasa paling lemah dan kurang dari orang lain.

Bisa tetap berpikir jernih dan sadar diri dengan jangan merasa paling kuat dan lebih dari orang lain.

Intinya, jangan merasa paling ya, Bat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa