Gaib

Di suatu malam, di suatu tempat di lereng gunung. Seorang pemuda berjaket, celana panjang, dan sarung yang diselempang melingkar pundak kanan ke pinggang kiri berjalan menuju sebuah warung bercahaya remang redup. Berulang kali nafasnya berburu, dihempas dengan asap putih dingin yang keluar dari rongga hidungnya.

Kabut turun menyelimuti jiwa-jiwa yang mencari tentram, juga mencari kehangatan. Makhluk-makhluk mencari hangatnya masing-masing saat itu.

Ia masuk, memilih duduk di samping seorang lelaki yang pantas untuk dipanggil kakek. Ada cukup beberapa orang lelaki di sana yang terlihat berusaha tegar digempur, melawan dingin. Singkong rebus, pisang rebus, ubi rebus, kacang rebus, dan mangkuk tampung kuah sisa mie instant pun mengakuinya. Sang Pemuda memesan susu jahe dan 3 potong singkong rebus dengan mangkuk kecil gula pasir.

“Dingin banget ya, Kek?” Tanya-nya setelah teguk tipis susu jehenya yang baru datang.

Kakek itu nggak menjawab, tetap pada hisap rokok kreteknya.

“Saya baru beberapa hari di sini udah meriang. Udah habis tolak angin 13 bungkus.” Lanjutnya seraya meraih potong singkong rebusnya. “Kakek kuat aja!” Akhirnya, mengandung kagum kaget, sedikit pertanyaan jail, “tulang tua, kulit kendor, kok masih kuat di tempat sedingin ini?”

“Untuk dingin kayak gini saya masih kuat-kuat aja, Mas. Pagi, siang, sore, malam, saya berusaha damai dengan udara lereng gunung ini. Udah terbiasa, meski tetap terasa dingin. Cuma ada suatu dingin yang saya paling nggak bisa...” Ucapnya menggantung.

”Dingin? Apa, Kek?”

”Saya paling nggak bisa menghadapi dingin sikapnya.”

Deg!

“Kek, ini kakek? Kakek udah minum obat? Kakek nggak kesurupan, kan?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa