Domba
Wajahnya murung.
Bebasnya
terkurung.
Entah, ia
nggak seperti biasanya. Begitu mudahnya untuk menebak sedih orang yang selalu
konyol dan berkomedi. Kadang bisa termasuk dari lucu komedi, ketika seorang komedian itu murung.
Murungnya seorang komedian itu lucu.
Selain ada
kelucu dan iba, tentu ada simpan tanya-tanya ia kenapa. Setelah membiarkan ia
mencari tembok ternyaman untuk bersandar, saji es cincau dan rokok oleh-oleh
sedari kuliah, siang itu begitu terasa panasnya.
Setelah
berbelit-belit kaku, akhirnya ia cerita juga.
Betapa terkejoetnya
hati ini ketika mendapat kabar dari telinga yang mengantarkan berita bahwasanya
cintanya tak berbalas. Bagaimana ia yang selalu riang dan katanya mulai
mendapat respon baik atas segala usahanya akhir-akhir ini, cintanya pada
seorang perempuan yang ia puja dalam diam dan cerewet di telinga gua: -asal ada
apa-apa, gua jadi tong sampah keluh kesah percurhatan cinta ee-nya. Berakhir
tragis.
Kabar terakhir,
seharusnya ia masih berbunga-bunga karena berhasil ngajak Sang Pujaan foto
bareng dan ngobrol. Tapi, kali ini kok lain. Lemas, lesu, suram, muram. Fakta,
kenyataan-kenyataan itu membuatnya lebih memilih untuk melanjut hidup dalam
imajinasi. Lebih baik ia bahagia dalam kebohongan Sang Pujaan, kalau emang
kejujuran begitu menyakitkan.
Seenggaknya ada
2 fakta yang gua sendiri mengakui akan perihnya:
Pertama, selama
ini, sebanyak dan seletih perjuangannya ini, hanya dianggap Sang Pujaan sebagai
alasan menghargai. Ternyata respon dan sinyal baik dari Sang Pujaan hanya
sebatas menghargai.
Kedua, ini yang
paling nyelekit. Kalau ada alasan dasar menghargai, masih bisa diterima
meskipun sakit dan sesaknya pun akan lama: ternyata dibalik itu, Sang Pujaan
udah lama menggantungkan perasaannya pada seseorang, di saat yang sama ia pun
sedang merespon segala usaha lelaki lain yang ia lakukan hanya atas dasar
menghargai.
Lu tau siapa
lelaki yang ia gantungkan dan rela melabuhkan cintanya dibanding untuk sesekali
menilai segala usaha perjuangan lelaki itu dari hanya sebatas menghargai? Ia
jatuh suka pada Ustadznya, di saat Sang Ustadz pun memiliki rasa yang sama
padanya.
Waw!
Mungkin rada
gatal untuk nggak menanggapi hal ini meski hanya sedikit, meski berusaha tanpa
emosi, maksud gua kan bisa kalau emang Si Perempuan nggak suka sama lelaki itu
dan bilang, “gua nggak suka lu!”, ”Gua udah suka sama orang lain!”, ”Gua udah
suka sama ustadz!” Kan bisa. Bukan malah memberi 2 jalan, meski pun salah satu
ujung dari 2 jalan itu ia belokkan dan mengarah ke jurang.
Bukan begitu
maksud menghargai. Bukan lantas lu memberikan kebahagiaan lewat respon usaha
Sang Lelaki meski hanya sementara dan entah bagaimana merajut ujung cerita ini menjadi
rapih, lu merasa pahlawan kemanusiaan. Malah dengan begitu, menurut gua, nggak
ada sedikitpun rasa menghargai usaha, apalagi dalam hal perasaan. Ibaratnya lu
melihat seorang bayi yang merengek minta digendong, aslinya lu buru-buru nggak
ada waktu dan nggak ada mampu untuk mengurus bayi lain selain bayi yang ada
dalam gendongan lu. Tapi anehnya, dengan dalih menghargai, lu lihat bayi yang
merengek itu, lu gendong, lu berikan pelukan, lu urus dan susui, diangkat
tinggi-tinggi, lalu lu banting.
Nggak habis
pikir dengan jalan otak perempuan itu. Jangan sampai gua mengambil kesimpulan
dengan menjatuhkan bahwa semua perempuan itu sama. Jangan sampai gua ragu untuk
gampang percaya dengan perempuan.
Mungkin segitu
dulu untuk perempuan itu. Nggak mau memperpanjang, meski tanpa berarti gua
nggak mampu. Sekali lagi lagi, hanya nggak mau. Nanti timbul macam-macam, juga
benci-benci.
Satu lagi,
yang lain, gua harus bahas tentang Si Ustadz. Mungkin memang boleh dan sah-sah saja untuk
seorang ustadz menyukai muridnya. Selama bukan mahrom, aman-aman aja. Ya,
meskipun rada menggelikan.
Bagaimana nggak
menggelikan? Coba lu bayangin! Bagaimana Sang Ustadz berangkat mengajar dan
siswa berangkat belajar, bertemu di sebuah kelas. Sebelumnya, udah bisa dipastikan,
selain bayang-bayang pelajaran dan mengajar, pasti ada bayang-bayang cantik
pesona Sang Murid di benaknya: yang ia larikan ke mana dan jadi apa.
Bagaimana
pelajaran dimulai, maknai kitab dan penjelasan. Sepintas memandang papan tulis
dan kitab, sisanya menghadap murid. Meskipun gua tau, tuju pandangnya dari
sekian murid perempuan yang lain, paham dan perhatiannya ia jatuhkan pilih
untuk salah satu murid perempuan berkerudung itu. Hanya murid itu. Hati Sang Ustadz berdebar,
emosi gua berkobar.
Bagaimana ia
merusak mengotor niat dan meludahi kesakralan ta’lim wa ta’alum dalam status
guru dan murid. Jangan sampai gua menerka, hal ini berlanjut di luar kelas
dengan spik-spik nanyain tentang paham pelajaran Sang Murid di chat-chat
panjang. Entah hal apa yang bikin chat obrolan itu menjadi panjang: bahas
pelajaran atau hal-hal yang di luar kewajaran!
Anehnya kok
Sang Murid nggak merasa risih, curiga, atau timbul takut. Ini malah berbunga-bunga senang dan
menyerahkan diri. Tanpa pembelaan, tanpa perlawanan akan kesuciaan kemurniaan
diri seorang perempuan.
“Ah, bocah bau
kencur. Bisa komen julit doang sama orang. Betapa kah lu nggak tau, bahwa
banyak para ulama terdahulu yang menjadikan muridnya sebagai istri.” Ucap
Ustadz itu berdalil, menghadapi pernyataan seoseorang yang masih siswa, yang
nggak masuk spek untuk lawan ustadz.
-ampun suhu!
Gua tau, ada
beberapa dari ulama kita yang menjadikan muridnya itu sebagai istri.
Mempersunting muridnya. Tapi, itu kan ulama! Ulama itu nggak perlu diragukan
lagi akan ilmu, akhlak, takwa, dan hebatnya menata hati. Lah lu? Masih suka
makan, suka tidur, suka nge-scroll, suka nge-game, suka nyedot rokok teman,
suka murid sendiri. Yaaah! Ustadz karbitan aja begitu pd untuk memposisikan
diri, menyamai seperti ulama.
Muka lu
seganteng itu?
Komentar
Posting Komentar