Dengkul
Benar, pesantren adalah arti plural yang sebenarnya. Macam-macam suku, budaya, bahasa, sifat, sikap, pikir, dan latar belakang. Semua campur aduk di sana. Pintar-pintar kita mencari pelajaran dan positif.
Meski begitu, kadang, entah baik atau buruk, malah
jadi sekat-sekat. Berbedanya umur dan lamanya hidup di pesantren, hal itu
kadang muncul. Ya, gampangnya, sekat adik-kakak kelas. Tentu yang kita sorot
adalah kakak kelasnya.
Bagi kakak kelas atau santri-santri yang telah lebih
dulu masuk pesantren dan lama, kelihatan banget, ego itu muncul. Merasa senior
dan risih disamakan dengan yang junior. Semua hal harus mendukung, jangan
sampai menurunkan muru’ah. “Gua udah lama!”, “Gua udah belajar kitab atas!”, “Gua
pengurus!”, “Gua dekat masyayikh!’
Dengan begitu, lu bangga?
Lu harusnya sadar, tujuan lu apa. Apa yang harus
dibanggain untuk kata senior di pondok? Oke, lu pintar. Udah ngaji pelajaran
atas. Tapi, lu yakin, lu bisa menjamin akan manfaat? Barokah? Ridho? Pintar
hanya salah satu dari empat itu. Dan itu hanya secuil dari ruang lingkup yang bernama
ilmu. Belum kehidupan.
Sadar! Katanya udah senior.
Otak cetek.
Komentar
Posting Komentar