Bogor
Nggak ada yang banyak bisa untuk dikatakan dari sumpek pondok dan mondar-mandirnya santri ke sana ke sini, senang aja bisa menepi dari itu semua; nyore di sawah sambil hafalan.
Serius,
mungkin ada beberapa santri yang ketika hafalan selain di dukung mood, juga
butuh adanya situasi tempat yang nyaman. Tentunya untuk maqbaroh masyayikh yang
dipercaya dapat memudahkan hafalan ketika mencoba memulai hafalan di sana, gua
menambahkan butuh adanya santri hafalan di sawah.
Dalam konsep
menghafal, tentunya dibutuhkan suasana tempat yang sepi dan sunyi, agar mudah
fokus, agar mudah konsen. Sekarang pertanyaannya, di mana tempat sepi dari
suatu tempat yang bernama pesantren ini? Toilet? Kan nggak mungkin! Akhirnya
mereka yang bermental pasrah tawakal harus menyerah untuk menjadi manusia
penganut sosialis. Dan gua tetap teguh pada junjung tinggi klandestin.
Akhirnya gua
memilih sawah. Bawa nazhom, bawa seperangkat rokok dan koreknya, secangkir kopi
susu, dan jajan-jajan kalau perlu. Eh, bocah bogor pemakan gorengan satu ini
malah pengen ikut. Sebut saja Bakwan. Ya udah.
Gua dan ia memilih
spot sawah yang recommended, yang sekiranya nyeni. Akhirnya terpilih, suatu
tempat di pematang sawah yang menjadi pembatas antara sawah dan kebun jagung.
Nggak begitu di dalam, hingga nggak begitu capek untuk kembali pulang. Nggak
begitu di luar, hingga nggak menimbulkan stigma buruk bagi orang yang melihat.
Pas lah. Di tengah.
Rokok,
korek, kopi, jajan sebagai penunjang hafalan itu akhirnya digelar. Sepasang
sendal dijadikan alas duduk. Mulut mulai berkomat-kamit dengan lembar nadzom
yang gleber-gleber diterpa angin sore. Sungguh nggak bisa diungkapkan dengan
kata-kata untuk merubah perasaan senang itu menjadi sebuah kalimat yang mudah dipaham;
hafalan di bawah biru langit sore, disapa sejuk udara, berteman kicau burung, mendengar
nyanyian gesek daun, dan jika capek, rehat sejenak seruput kopi dan nyalakan
batang rokok itu: hempas. Lepas. Fabiayyi
alairobbikuma tukadziban?
“Bang, jagung emang panennya, kapan?”
Gini nih
nggak enaknya hafalan ngajak orang; dikit-dikit ngajak ngobrol. Mau hafalan
sendiri, lama-lama boring juga. Mau hafalan ngajak orang, ya jadinya ngobrol.
Kalau bahasa orang jawanya mah, malah sidone rasan-rasan. Ah
elah. Taulah. Serba salah jadi manusia. Dirasa kurang mulu. Coba bisa syukur
dan husnudzon banyak-banyak, mencoba dan sesering mungkin.
“Lah nggak tau,
emang gua tukang kebonnya!”
Dengan
berhentinya nganggur nadzom dan seruput kopi juga hisap rokok lamat-lamat,
akhirnya udah nggak mood hafalan. Hafalan mah jangan lama-lama, ngebul kepala.
Yang penting udah ada bahan buat setoran. Aman.
Entah kenapa
tiba-tiba aja terlintas untuk menggali kisah percintaan manusia dengan muka
sedikit penyok ini. Dengan pecinya yang sedikit miring, entah otaknya. Haha.
Gimana sih sisi haru biru percintaan orang yang kerjaannya cengar-cengir bloon
setiap hari ini? Jiwa kejurnalisan gua terpanggil.
“Eh, tapi
SMA di sini mah abu-abu banget. Saking abu-abunya sampai kelam.” Gua mulai
improvisasi penerapan S3 komunikasi. Mencoba memasang kail.
“Nggak gua
mah, Bang. Indah-indah aja!” Balasnya dengan jeda hempas rokok 15 ribu
perbungkus itu. Lalu, bunyi srosot seruput kopi yang menusuk telinga. Belum
lagi ekspresinya; minta diruqyah.
“Indah
gimana? Tiga tahun sekolah tura-turu doang aja! Apalagi kalau dulu nggak ikut
ekstra apa-apa, yah udah bisa dipastikan percintaan lu memperihatinkan.” Nah,
mulai nih. Perangkap on target.
“Wih,
ngomong yang sopan. Masa harus gua ceritain?”
Akhirnya
dengan segala public speaking naratif dan persuasif kombinasi jurnalis dan
orator yang gua
lakukan, ia
akhirnya cerita. Dengan suka rela, meski tetap dengan embel-embel, “Tapi, lu
jangan bilang siapa-siapa ya, Bang?”
Gua iya-in
aja biar dia cerita. Haha.
Eh tapi ini
bukannya munafik atau buka aib. Bukan. Lagian lu juga nggak tau kan orangnya siapa. Dan ini juga bukan termasuk hal buruk.
Nggak ada unsur pencemaran nama baik. Sekali lagi dan tanpa menyimpang dari
tujuan awal; kita ambil sisi baik dari cerita ini. Ambil buat dijadiin pelajaran.
“Gua pernah
suka sama orang dan berlanjut, masih seangkatan.” Ucapnya memulai.
“Oh, yang di buku itu? Puisi-puisi itu?” Tembak gua tentang sebuah buku yang nggak sengaja gua
temu dengan ada kesengajaan untuk baca sampai tamat. Dan benar-benar gua baca
sampai tamat, berujung tawa-tawa dan sedikit gelay percintaan anak adam satu
ini.
“Ih, lu baca,
Bang?” Kejutnya.
“Dikit. Udah,
gimana ceritanya?”
Akhirnya dengan
sedikit tatapan mata yang nggak nyangka ia kembali menerawang jauh. Ia
bercerita bagaimana ia suka dengan salah seorang perempuan yang masih
seangkatannya, sewaktu masa putih abu. Perempuan itu anak pondok unit ngampel.
Jadi jelas ia harus LDR 3 desa, karena ia memang anak pusat.
Sejak chat
medsos sewaktu liburan, hubungan itu berlanjut hingga bangun komitmen. Jadian.
Punya tanggal. Tentu saat kelas 12, satu tahun di penghujung akhir masa SMA, ia
jalani dengan semangat dan optimis yang penuh. Kali ini belajarnya ditambah
semangat dari Ayang!
“Hal yang
membuat lu suka sama dia?” –Bagian ini disensor. Rada nggak enakan.
“Hal apa paling
berkesan sama dia?”
Ia tampak
cengar-cengir. Tetap pada bloonnya.
“Banyak, Bang.
Tapi mungkin ini sih menurut gua; kan karena dia di pondok ngampel dan gua di
pondok pusat, buat komunikasi kan susah. Jadi gua bela-belain buat nelpon di
setiap jum’at. Terus kartu hp wartel gua ganti dengan kartu yang gua beli, biar
dia bisa nelpon gua. Karena dia kan nggak tau nomer wartel dari sekian
banyaknya hp, biar gampang makanya gua beli kartu. Terus di setiap akhir mau
tutup telpon, gua sama dia janjian buat nelpon selanjutnya. Nentuin jadwal,
nanti pas harinya ya gua ke wartel. Nunggu dia nelpon.”
“Segitunya?”
“Iya,
segitunya, Bang. Tapi, itu belum seberapa. Gua pernah sekolah SMK sehari demi
dia.”
“Maksudnya?”
Tanya gua begitu, karena memang kalau pondok unit ngampel SMA sederajatnya kan
SMK, sedangkan ia kan di pusat MA. Kok bisa malah ikut jadi siswa SMK?
“Iya, waktu itu
kan gua ikut roan di pondok ngampel. Pas selesai roan gua main ke kamar temen
gua. Dia bilang, ‘udah nggak usah pulang, nginep aja. Mau ketemu dia nggak?’
terus gua pikir-pikir ia juga. Akhirnya gua nginep. Besoknya, hari sabtu, nggak
mungkin kan diam aja di kamar nggak sekolah, bisa-bisa ditangkap kesiswaan.
Akhirnya gua ikut sekolah SMK, seragamnya minjam. Di sekolah, gua tanya
kelasnya dan minta dipanggilin.”
Sebelum gua
lanjut, biar lebih gampang, ayangnya kita sebut saja Melati.
“Setelah
dipanggil, akhirnya gua sama Melati ketemu di
dekat kantin. Itu jam istirahat, Bang. Gua juga nggak ngomong banyak-banyak
sama dia. Rada ngeri juga. Katauan kesiswaan berabe.
Buat sebentar lamanya, nggak penting bagi gua. Bisa ketemu Melati aja gua udah
senang.”
Cinta seindah
itu? Haha.
“Berarti ini
sekarang lu sama Melati jalan satu tahun?”
“Ya, kurang
lebih. Tapi kemarin baru aja udahan.” Ucapnya sedikit parau.
“Lah, kok
bisa?”
“Baru kemarin
banget, Bang. Pas akhirussanah dia bilang udahan.”
“Lu punya salah
kali?”
“Kayaknya dia
cemburu sih, Bang.”
“Cemburu sama
siapa?”
Usut punya
usut, ternyata Si Bakwan ini, di pondok pusat, punya bestie dan perempuan. Sebut
saja Mawar.
“Cuma temanan
doang, Bang. Lagian Si Mawar juga udah punya cowok.”
Bakwan cerita,
lingkup temanannya dengan Mawar ya emang nggak aneh-aneh. Paling tegur sapa
kalau ketemu. Dan mentok-mentok ngobrol di chat kalau liburan.
“Tapi Si Mawar
nih seru, Bang. Sefrekuensi lah. Diajak ngobrol nyambung. Bercanda sama dia
juga asik, responnya seru. Sama-sama kocaknya.”
Bakwan juga
cerita kalau mereka juga pernah saling ngasih kado waktu ulang tahun. Ya memang
aman-aman aja masih dalam lingkup bestie. Tapi, kan Si Melatinya yang nggak
aman. Dia udah punya Melati kan? Maksud gua, bestie-an nggak gitu juga. Sebagai
bentuk menjaga perasaan pasangan. Ah, Bakwan!
“Kok bisa
Melati cemburu ke Mawar? Emang kenal? Kok tau?” Tanya gua beruntun.
“Kayaknya dia
di pusat punya teman juga. Teman cewek. Dan mungkin teman ceweknya itu sekamar
atau seasrama. Kan putri kalau apa-apa gampang berisik kan ya, Bang? Apalagi
ini masalah cowok. Dan mungkin aja temannya itu bilang ke Si Melati kalau gua
dekat sama Si Mawar. Padahalkan gua nggak ada apa-apa!”
“Menurut lu
gimana, Bang?” Lanjutnya diujung cerita.
“Tapi lu masih
suka sama Melati?”
“Ya gimana
nggak suka. Kan gua yang ngedekitin duluan sampai berjuang sejauh ini. Buat apa kalau nggak suka, Bang? Nggak bisa secepat, nggak
bisa segampang itu melupakan.”
Jawabannya
bikin gua takjub. Bukan hanya soal maknanya, pikiran gua malah melambung jauh, “orang
konyol juga bisa sad juga karena percintaan.” Haha. Ups.
“Ya, lu
perjuangin lah. Lu tanya, lu jelasin.” Jawab gua sekenanya.
“Udah, Bang.
Udah gua jelasin panjang lebar. Tentang semuanya. Tentang Mawar dan perasaan
gua ke dia. Ya, tapi gitu. Niat dia udah bulat. Nggak bisa
diperbaiki. Nggak bisa dilanjut.”
Entah kenapa
angin sore itu serasa mendadak nggak bertiup. Dinginnya hilang. Kicau burung
seolah menyampaikan kabar prihatin. Kopi itu kembali diseruput mengharap alir hangatnya. Rokok harus cepat-cepat dinyalakan,
hempas asap-asap sesak. Aduuh!
“Dia cuma bilang,
‘Makasih,’ dan ‘kamu orang baik, semoga kamu dapat orang yang baik pula.’”
Setelah itu
belum ada percakapan lagi antara gua sama Bakwan. Saling sibuk dengan
pandangannya masing-masing. Sesekali hirup dan hembus asap rokok. Sesekali
tinggi meninggi menatap langit. Menerawang awan.
Lagi-lagi,
terpaksa gua mendengar pernyataan basi, pernyataan sampah nggak objektif, “Kamu terlalu baik buat aku.” Fiuh. Sebau
pernyataan, “kita putus, aku mau fokus belajar.” Apa-apaan? Kenapa harus putus?
Kenapa nggak dari dulu untuk fokus belajar?
“Menurut lu gua
salah nggak, Bang?” Ia kembali angkat bicara setalah membisu yang cukup
panjang.
“Mau lu atau
dia, nggak ada yang bisa disalahin juga. Lu udah benar buat usaha ngejelasin
semuanya ke dia. Cuma salah lu terlalu over buat kata, ‘Cuma teman doang’
bukannya apa-apa berawal dari temanan? Dan Si Melati juga nggak bisa disalahin.
Udah sewajarnya dia marah. Mana bisa bilang baik-baik aja dengan perasaan yang
berusaha ia jaga dan kenyataan cowoknya lagi anteng-anteng aja sama cewek lain,
apalagi sampai dengar saling ngasih kado? Bisa lu bayangin sih. Cuma salahnya
dia, nggak begitu juga buat kata percaya. Harusnya cukup bilang, jauhin dan
jangan diulang lagi perbestie-an lu, dan kembali percaya. Berhenti bestie-bestieannya. Toh, lagi pula lu nggak ada apa-apa sama bestie lu. Toh, perasaan lu juga cuma buat dia
doang. Harusnya dengan semua perjuangan lu, Melati harusnya paham bahwa lu
nggak main-main. Buat jaga dan menahan gejolak perasaan, kan lu juga pastinya
ngerasain. Nggak cuma dia doang.”
“Ya, kalau udah
gini, harus gimana? Mungkin emang ini yang terbaik. Jadiin pelajaran.” Lanjut gua sok bijak.
Gimana? Gua udah berusaha menyederhanakan cerita rumit ini. Kalau emang masih dirasa rumit, kenyataannya, cinta memang
rumit.
Taulah Bakwan
ada-ada aja. Untung masih percintaan dan bunga, belum sampai merambah ke
lontong, risol, molen, tahu crispi, atau tempe mendoan sekalipun. Nggak peduli,
gua cuma mau hafalan.
Semoga hafalan
gua aman, setoran lancar, dan madin dengan tenang.
Aamiin.
Komentar
Posting Komentar