Bara

“Dan, lu punya buku kajian alfiyah terjemah?”

“Buat, apa?”

“Ya, baca-baca.”

“Nggak ada. Gua mah anti. Lagian ngapain baca terjemah? Kan ada Ibnu Hamdun, Dahlan Alfiyah, dan kitab-kitab yang mu’tabaroh mutasil.”

“Kok bisa nggak mu’tabaroh mutasil? Kan, kajian terjemah juga dari kitab. Sama-sama dari Alfiyah dan keterangan tambahannya juga ngambil referensi dari kitab lain. Cuma penyajian bahasanya aja yang beda, bahasanya aja jadi terjemah.”

“Halah, mu’tabaroh mutasil itu ya yang dari kitab langsungnya lah. Belajar dari buku-buku terjemah kayak gitu tuh nggak buat otak berkembang. Nggak jadi mikir. Tinggal enaknya doang. Hsyfx!@#$^&*(+znj/,;l’;]=-0zhcnh*eq276b6!@#$@/;;.vdzmhndvxvgbjhsghbsx......”

Dorongan untuk mau belajar itu nggak mudah didapat. Nyatanya banyak orang yang malas belajar, meski ia tau tentang dalil wajib belajar dan keutamaan belajar. Meski ia adalah seorang pelajar yang memang masih tempuh masa belajar.

Tapi, sayangnya, mereka yang menang dalam progres belajar dengan lebih dulu mendapat paham ilmu itu, mungkin karena hanya sebentar transit sebagai orang dengan menyandang transit mubtadi’, ia jadi nggak sadar. Karena terlalu cepat untuk merangkak pada status orang cerdas, jadi kurang menghayati rasanya jadi orang yang mati-matian mencoba untuk cerdas. Begitu mudah dan cepatnya ia akan cerdas, jadi lupa rasanya dulu waktu jadi mubtadi’ remehan.

Maksud gua, kalau emang nggak cocok ya nggak usah nge-judge. Kan gua cuma nanya, ya kan tinggal dijawab. Kalau punya, ya jawab punya. Kalau nggak punya, ya jawab nggak punya.

Gua nggak terlalu masalah buat ia yang nggak cocok belajar dengan buku-buku terjemah, karena saking cerdasnya atau apa, bodo amat. Riya, ujub, dan takabur itu mah urusan ia sama malaikat atid.

Nah, terus, kan orang itu punya kognitif, afektif, dan promotorik dalam Intelligence Quotient dan Emotional Quotient yang berbeda. Oke lah kalau lu emang lebih mudah dan cepat dalam memahami pelajaran, lebih pintar. Tapi, kan ada orang yang sulit dan lama untuk dapat memahami pelajaran. Karena memang basic skill pengetahuan orang itu punya passionnya masing-masing. Bukan karena seseorang kurang kompeten dan kredibel dalam ilmu A, bukan berarti ia nggak kompeten dan kredibel dalam ilmu B.

Lagian lu nggak kuliah sih. Kasihan, nggak sempat belajar psikologi. Tau ilmu hanya sebatas lembar kuning tulis arab. Lu tau psikologi? Iya, di bumi dengan 510,1 Km2 ini ada yang namanya ilmu psikologi dan nggak harus pakai bahasa arab. Nanti kalau lu kuliah kayak gua, lu jadi tau tentang teori behavioristik atau sigmund freud dengan banyaknya cabang konsep lainnya. Ntar kalau gua jelasin, lu nggak paham. Susah emang buat ditangkap otak yang nggak ngenyam akademis bangku perkuliahan. Ntar malah nyari dalil.

Lagian apa sih yang mau dibanggain dari ilmu kalau nggak bermanfaat?

Ilmu itu titipan, bisa aja Allah ngambil ilmu segudang yang lu banggain itu.

Kalau sekedar pintar, iblis juga pintar, bos!

Ah elah lu.

Untuk sakit hati, untungnya gua cuma sekedar nulis. Nggak sampai nyantet orang.

Astagfirullah.

Wudhu, Bat.

Wudhu!

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Aneh

Dosa