Bait
Di atas rooftop bangunan berlantai 5 itu, sepasang insan duduk di tepi, berselimut malam, menghadap hamparan gemerlap kota.
“Kamu suka
langit?”
“Aku suka
langit.” Jawabnya tetap pada luar lepas langit malam yang kebetulan bintang-gemintang
benderang terang. Bulat terlihat bulat.
“Kalau
kamu?” Ia balik bertanya.
“Aku hanya
suka kamu.” Jawabku jujur, apa adanya.
“Ih, apaan
sih!” Ia memukul bahuku pelan, “Kalau itu mah aku tau!”
“Haha.”
Bahagianya.
“Tau dari
mana?” Lanjutku.
“Kan, kamu
pernah bilang.”
“Kalau ternyata
aku bohong? Kalau ternyata aku nggak suka kamu?”
Ia terdiam.
Terlihat berpikir. Terlihat menggemaskan.
“Yah, jangan
dong. Kamu harus tetap suka aku.”
“Haha.”
Ya, Tuhan!
Jangan sampai ada yang menyakiti perempuan satu ini. Jagalah ia. Berilah
kebahagiaan. Aku titip. Aku mohon!
Redup.
Dingin udara
malam sesekali menggoda hangat kami. Saling bercerita, menatap bintang
gemintang, lalu harap-harap panjang. Martabak keju susu tampak putus asa
mencuri perhatian.
“Oh, iya.
Secara kamu kan suka menulis, terutama menulis puisi, kok kamu nggak pernah
membuatkan puisi untukku? Berpuisi tentangku?”
Aku menarik
nafas lembut, menghembuskannya perlahan, lalu menatap wajahnya yang sepertinya
menunggu jawaban.
“Entah, aku
pun nggak tau. Setiap kali kupaksa berpikir, tiba-tiba saja bayang itu sirna.
Kata-kataku hilang.”
“Kenapa?”
“Karena kamu
terlalu indah dari sekedar kata, percayalah!”
“…”
Komentar
Posting Komentar