Awan
Suatu siang, di trotoar kota yang ramai. Manusia saling sibuk dengan hal-hal yang digelutinya. Semua tampak. Ada yang berjualan, makan, nunggu jemputan, nongkrong, juga tukang parkir yang menghitung kricik receh di kantongnya. Tak apa, yang penting halal.
Tak mengecualikan pula, seorang lelaki dan perempuan
paruh baya; sepasang suami istri itu terus melangkah dengan erat genggaman
tangan dan senyum yang merekah. Tak pernah malu dengan banyak umur, juga pasang
mata yang melirik. Es degan malah malah menyegarkan. Kantong-kantong plastik
banyak bertumpuk, terkait disela jari-jari tangan.
“Tangan
Ibu kenapa dipegangin sih, Yah? Kan malu dilihatin.” Ucap Sang Istri.
“Biarin.
Soalnya kalau nggak dipegangin, Ibu bisa nyasar ke mana-mana! Seperti di mall
tadi, nggak dipegangin, nggak taunya malah nyasar ke toko baju, terus toko tas,
hijab, kosmetik. Untung Ayah temuin, kalau nggak semua toko rata diabsen.”
Keluh Suaminya.
“Hehe.
Ayahnya aja yang main hp terus. Sampai nggak lihat langkah istrinya.”
“Bisa
aja kalau nimpalin.”
Sang Istri hanya tersenyum. Langkah tetap tuju. Alir es
di sedotan itu kembali mengalir, lalu bermuara ke rongga mulut hingga akhirnya
benar-benar lenyap dirong-rong amandel.
“Eh,
Bu!” Tiba-tiba saja genggam tangan itu dilepas.
“Ibu
mau ke toko buku dulu, Yah! Tadi pas di mall sana nggak kepikiran.”
Pas Sang Istri mau belok ke toko dengan buku-bukunya
yang terhamppar menyapa, Sang Suami mencegah menarik tangan istrinya.
“Bu,
emang mau beli buku, apa? Nanti aja, ya? Ini udah jam berapa, kita belum makan
siang, loh!”
“Ibu
mau beli novel terbaru, yang lama udah tamat. Sekalian mau beli buku resep
masakan. Biar suami tercinta makin lahap makannya!” Genggaman itu kembali
dilepas.
“Bu!”
lagi-lagi langkah itu tertahan.
“Apalagi,
Yah?”
Sang Suami menghadapkan wajahnya pada wajah istrinya,
memegang kedua bahunya. Tatap itu bertemu.
“Aku
nggak bisa marah sama kamu! Nggak akan pernah bisa.” Seraya mencolek pucuk
hidung istrinya.
Komentar
Posting Komentar